Friday, November 27, 2009

Tinjau Ulang Ujian Nasional

Kompas:Kamis, 26 November 2009 03:26 WIB

Oleh Anita Lie

Mahkamah Agung kembali memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen law suit terkait penyelenggaraan ujian nasional.

Kasasi yang diajukan pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan ujian nasional dinyatakan ditolak MA (Kompas, 25/11/2009). Keputusan MA ini menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang esensi pendidikan daripada yang ditunjukkan Depdiknas yang bersikukuh melaksanakan ujian nasional.


Berbagai argumentasi sudah dikemukakan para pakar, pemerhati, praktisi pendidikan, orangtua, dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan ujian nasional. Sementara pemerintah masih akan kembali melakukan upaya hukum terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali. Sebaiknya semua pihak yang terlibat proses hukum ini bersikap arif dan
mempertimbangkan realitas penyelenggaraan ujian nasional dan
prinsip-prinsip evaluasi pendidikan.

Indikator mutu

Hasil ujian nasional bukan indikator mutu pendidikan. Model assessment seperti dalam ujian nasional (mengambil bentuk pilihan ganda untuk kemudahan administrasi) menguji kemampuan menghafal fakta dan kemampuan berpikir konvergen. Sementara berbagai persoalan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan berpikir divergen, kreativitas, keterampilan memecahkan masalah, daya analisis, dan kemampuan mendesain.

Penetapan standar nasional pendidikan dan evaluasi berdasar ujian nasional dilandasi mitos, ketakutan, dan kelatahan.

Wednesday, November 25, 2009

PENGGUNAAN METODE TOPSIS

Didi Suhaedi

Jurusan Matematika, UNISBA, Jalan Tamansari No. 1 Bandung, 40116
e-mail : dsuhaedi@hotmail.com



Abstrak. Permasalahan pengambilan keputusan merupakan proses pencarian opsi terbaik dari seluruh alternative fisibel. Multiple criteria decision making merupakan bagian dari problem pengambilan keputusan yang relatif kompleks, yang mengikutsertakan beberapa orang pengambil keputusan, dengan sejumlah berhingga kriteria yang beragam yang harus dipertimbangkan, dan masing-masing kriteria itu memiliki nilai bobot tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan solusi optimal atas suatu permasalahan. Salah satu metode yang digunakan untuk menangani permasalahan ini, adalah Technique for Order Performance by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS). Konsep fundamental dari metode ini adalah penentukan jarak Euclide terpendek dari solusi ideal positif dan jarak
Euclide terjauh dari solusi ideal negatif. Di akhir makalah akan dilakukan studi kasus, yang dapat memperjelas penggunaan metode TOPSIS pada permasalahan multiple criteria decision making.


Kata kunci : pengambilan keputusan, multiple criteria decision making, TOPSIS, solusi ideal positif, solusi ideal negatif



1. Pendahuluan
Dalam kehidupan nyata terdapat bermacam-macam jenis keputusan. Ada keputusan yang mudah diambil, dan sudah tentu ada juga keputusan yang baru dapat diambil setelah dipertimbangkan segala macam aspek secara cermat. Ada keputusan yang hasilnya hanya membawa konsekuensi bagi fihak yang mengambil keputusan tersebut, ada juga keputusan yang menyangkut nasib orang banyak, seperti keputusan dalam bidang politik ekonomi yang diambil pemerintah suatu negara.
Manusia senantiasa dihadapkan pada kewajiban untuk pada waktu-waktu tertentu mengambil keputusan. Misalnya keputusan untuk bersekolah, keputusan untuk bekerja, keputusan untuk berlibur, keputusan untuk membeli barang-barang, keputusan untuk memilih pasangan hidup.
Dalam kenyataan bisa dilihat bahwa tidak semua keputusan yang diambil senantiasa membawa hasil seperti yang diinginkan. Berhasil dan tidaknya suatu keputusan tergantung dari berbagai faktor. Semakin banyak faktor yang harus dipertimbangkan, semakin relatif sulit juga untuk mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan. Apalagi jika upaya pengambilan keputusan dari suatu permasalahan tertentu, selain mempertimbangkan berbagai faktor/kriteria yang beragam, juga melibatkan beberapa orang pengambil keputusan (expert). Permasalahan yang demikian dikenal dengan permasalahan multiple criteria decision making. Pada makalah ini akan dicoba dibahas metode TOPSIS, sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan permasalahan multiple criteria decision making.


2. Pengambilan Keputusan
Sebelum mulai dengan mengemukakan definisi pengambilan keputusan, kiranya perlu disampaikan lebih dulu tentang apa pengertian keputusan itu. Menurut Ibnu Syam, keputusan sesungguhnya merupakan hasil pemikiran yang berupa pemilihan satu diantara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya [8].
Ada beberapa definisi tentang pengambilan keputusan (decision making), satu diantaranya, menurut Terry, pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih. Dapat pula dikatakan bahwa pengambilan keputusan adalah tindakan pimpinan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui pemilihan satu di antara alternatif-alternatif yang dimungkinkan. Memang pada hakikatnya pembuatan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi, dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat [8].
Pengambialan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah. Kerap kali masalah pengambilan keputusan merupakan satu segi saja, tetapi ada kemungkinan dapat saja terjadi masalah yang pemecahannya menghendaki dua hal kontradiksi terpecahkan.
Kesimpulan yang diperoleh mengenai pengambilan keputusan adalah : tujuan pengambilan keputusan itu bersifat tunggal, dalam arti bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain. Kemungkinan kedua adalah tujuan pengambilan keputusan dapat juga bersifat ganda (multiple objectives) dalam arti bahwa satu keputusan yang diambilnya itu sekaligus memecahkan dua masalah (atau lebih) yang sifatnya kontradiktif ataupun yang tidak kontradiktif.
Terry, mengemukakan bahwa dasar pengambilan keputusan adalah dengan menggunakan : intuisi, fakta, pengalaman, wewenang, sedangkan metode pengambilan keputusan adalah : operations research, linear programming, gaming, probability, ranking and statistical weighting.







3. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Fakta
Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya pengambilan keputusan itu didukung oleh sejumlah fakta yang memadai. Pendapat semacam ini banyak juga yang mendukungnya. Sebenarnya istilah fakta di sini perlu dikaitkan dengan istilah data dan informasi. Kumpulan fakta yang telah dikelompokan secara sistematis dinamakan data. Sedangkan data itu merupakan bahan mentahnya informasi. Dengan demikian maka data harus diolah lebih dulu menjadi informasi, kemudian informasi inilah yang dijadikan dasar pengambilan keputusan.
Keputusan yang berdasarkan sejumlah fakta, data atau informasi yang memadai dikatakan sebagai keputusan yang sehat, solid, dan baik. Namun untuk mendapatkan informasi yang memadai, terkadang sulit. Informasi yang terpercaya itu datanya lebih dulu harus diolah dengan cermat.
Pengambilan keputusan dapat dilakukan secara individual dan juga dapat dilakukan oleh sekelompok orang. Keputusan individual dibuat oleh seorang pengambil keputusan secara sendirian, sedangkan keputusan kelompok dibuat oleh sekelompok orang, yang biasanya merupakan satu tim atau panitia.

4. Multiple Criteria Decision Making dan Metode TOPSIS
Suatu permasalahan multiple criteria decision making dapat digambarkan sebagai berikut :
C1 C2 … Cn

(1)


dengan A1, A2, …, Am adalah alternatif-alternatif fisibel yang akan dipilih oleh pengambil keputusan, C1,C2, …, Cn menyatakan kriteria performanced yang diukur bagi alternatif A1, A2, …, Am, dan xij sebagai nilai dari alternatif Ai untuk kriteria Cj, serta wj adalah bobot kriteria dari Cj.
Salah satu metode yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan multiple criteria decision making adalah metode TOPSIS, dan berikut adalah prosedurnya :

 Langkah 1
Hitunglah nilai rata-rata untuk setiap alternatif Ai berdasarkan kriteria Cj (j = 1, 2, …, n) dengan menggunakan formula berikut :
(2)
dengan xLij adalah nilai yang diberikan oleh pengambil keputusan L untuk alternatif Ai berdasarkan kriteria Cj, dan N adalah jumlah pengambil keputusan.

Langkah 2
Hitung matriks keputusan normal, dengan nilai normalisasi rij dihitung dengan menggunakan formula berikut :
(3)
dengan i = 1, 2, 3, …, m dan j = 1, 2, 3, …, n

 Langkah 3
Hitung matriks keputusan bobot normalnya, dengan nilai normasilasi bobot vij dihitung dengan menggunakan formula berikut :
vij = rij . wj ; i = 1, 2, 3, …, m dan j = 1, 2, 3, …, n (4)
dengan wi adalah bobot ke-i dari suatu kriteria.

 Langkah 4
Tentukan solusi ideal positif dan solusi ideal negatifnya, berturut-turut sebagai berikut :

dan
(5)
dengan I adalah himpunan kriteria keuntungan (benefit) dan I’ adalah himpunan kriteria biaya.

 Langkah 5
Hitunglah jarak Euclide berdimensi-n untuk solusi ideal positif sebagai berikut :
; i = 1, 2, …, m (6)
dan jarak Euclide berdimensi-n untuk solusi idel negatif sebagai berikut :

; i = 1, 2, …, m (7)
 Langkah 6
Hitunglah hampiran relatif untuk solusi idealnya. Hampiran relatif alternatif ai terhadap A* didefinisikan sebagai berikut :
; i = 1, 2, …, m (8)
 Langkah 7
Rankinglah alternatif-alternatif tersebut berdasarkan nilai Ci* pada langkah 6.

5. Studi Kasus
Misalkan suatu universitas X ingin mengkontrak seorang profesor untuk memberikan work shop tentang teknologi informasi. Sebuah komite yang terdiri dari tiga orang pengambil keputusan (expert) masing-masing E1, E2, E3 telah melakukan evaluasi awal, dan didapat tiga orang profesor A1, A2, dan A3 untuk dimajukan pada tahap seleksi selanjutnya, guna dipilih satu diantara mereka yang akan ditetapkan sebagai pemateri work shop di universitas tersebut. Kriteria yang diajukan terhadap ketiga kandidat tersebut adalah :
a. Honor pemateri (C1)
b. Hasil penelitian dan publikasi (C2)
c. Keahlian dan pengalaman mengajar (C3)
d. Pengalaman praktis dalam industri teknologi informasi (C4)
e. Kedisiplinan dalam mengajar (C5)

Ketiga orang pengambil keputusan menetapkan nilai standar untuk masing-masing kriteria sebagai berikut :

Tabel 1. Nilai standar yang ditetapkan oleh tiga pengambil keputusan
Kriteria Pengambil Keputusan
E1 E2 E3
C1 0.87 0.97 0.97
C2 0.87 0.87 0.87
C3 0.7 0.87 0.7
C4 0.7 0.7 0.7
C5 0.87 0.87 0.87

Sedangkan dari hasil evaluasi tim pengambil keputusan terhadap ketiga kandidat A1, A2, dan A3 didapat data sebagai berikut

Tabel 2. Data nilai kandidat-kandidat untuk setiap kriterianya
Kriteria Kandidat pengambil keputusan
E1 E2 E3
C1 A1 6 juta 8 juta 7 juta
A2 3 juta 4 juta 5 juta
A3 4 juta 5 juta 6 juta
C2 A1 8.7 9.7 5
A2 9.7 9.7 9.7
A3 7 8.7 9.7
C3 A1 5 8.7 8.7
A2 8.7 8.7 8.7
A3 8.7 7 9.7
C4 A1 9.7 8.7 8.7
A2 8.7 8.7 8.7
A3 8.7 9.7 9.7
C5 A1 5 5 5
A2 8.7 5 8.7
A3 8.7 8.7 8.7
Dari ketiga kandidat tersebut, alternatif manakah yang sebaiknya diambil untuk ditetapkan menjadi pemateri work shop teknologi informasi di universitas tersebut?
Berikut, adalah langkah-langkah untuk menentukan jawaban atas permasalahan di atas. Berdasarkan Tabel 1, maka dapat ditentukan bobot untuk setiap kriteria, sebagai berikut :

Tabel 3. Bobot untuk setiap kriteria

C1 C2 C3 C4 C5
wj 0.937 0.87 0.757 0.7 0.87
dan berdasarkan tabel 2, dapat dikontruksi matriks keputusan berupa tabel berikut

Tabel 4. Matriks Keputusan
Kandidat Kriteria
C1 C2 C3 C4 C5
A1 7 7.8 7.467 9.033 5
A2 4 9.7 8.7 8.7 7.467
A3 5 8.467 8.467 9.367 8.7

Kemudian lakukan normalisasi matriks keputusan pada Tabel 4, dan didapat :

Tabel 5. Normalisasi Matriks Keputusan
Kandidat Kriteria
C1 C2 C3 C4 C5
A1 0.4244 0.4728 0.4526 0.5475 0.3031
A2 0.2246 0.5446 0.4885 0.4885 0.4192
A3 0.2745 0.4648 0.4648 0.5142 0.4776

Tabel 6. Matriks Keputusan Bobot Normal
C1 C2 C3 C4 C5
v1j 0.3977 0.4113 0.3426 0.3833 0.2637
v2j 0.2105 0.4738 0.3698 0.3420 0.3647
v3j 0.2572 0.4044 0.3519 0.3600 0.4155

Berdasarkan matriks keputusan bobot normal, maka didapatkan solusi ideal positifnya adalah = {0.4738, 0.3698, 0.3833, 0.4155, 0.2105}, dan solusi ideal negatifnya adalah = {0.4044, 0.3426, 0.3420, 0.2637, 0.3977}. Jarak Euclide untuk solusi ideal positif adalah :



0.1143
0.3309
0.307


dan jarak Euclide untuk solusi ideal negatifnya sebagai berikut : :



0.1924
0.2506
0.1875

serta hampiran relatif untuk solusi idealnya adalh :



0.6273
0.4310
0.3792

Sehingga didapat tingkat ranking dari ketiga alternatif adalah A1 > A2 > A3, sehingga dipilih A1 sebagai kandidat terbaik.



5. Penutup
Sebagai suatu usaha untuk mendapatkan solusi terbaik atas permasalahan multiple criteria decision making dapat digunakan Technique for Order Performance by Similarity to Ideal Solution, yang dalam implementasinya akan memunculkan beberapa alternatif solusi berdasarkan hasil ranking kumulatif, yang kemudian dapat dipilih satu solusi tertentu, berdasarkan kriteria tambahan dari pemegang kebijakan (pimpinan). Kemudian, beberapa alternatif solusi tersebut dapat dijadikan referensi tim pengambil keputusan untuk diajukan kepada pimpinan mereka, sehingga pimpinan mereka dapat memilih satu solusi dari beberapa alternatif solusi yang ada, dan diharapkan dapat diambil keputusan terbaik yang menguntungkan.


Daftar Pustaka

[1]. Cardoso, D. M., dan De Sousa, J. F. 2005. A Multi-Attribute Ranking Solutions Confirmation Procedure. Annals of Operations Research, 138 : 127–141.
[2]. Cook, W. D., dan Kress, M. 1994. A multiple-criteria composite index model for quantitative and qualitative data. European Journal of Operation Research, 78 : 367 – 379.
[3]. Janic, M. dan Reggiani, A. 2002. An Application of the Multiple Criteria Decision Making (MCDM) Analysis to the Selection of a New Hub Airport.. EJTIR, 2(2) : 113 – 141 Alamat web : ejtir.tudelft.nl/issues/2002_02/pdf/ 2002_02_03.pdf - 179k
[4]. Hwang, C.L., dan Masud., A. S. M.. 1979. Multiple Objective Decision Making : Methods and Its Applications. Springer Verlag. New York.
[5]. Opricovic, S., Chen, J.J., Teng, M.H., Tzeng, G.H., 2002. Multicriteria selection for a restaurant location in taipei. International Journal of Hospitality Management. 21 : 171 - 187
[6]. Tzeng, G.H., Lin, C.W., dan Opricovic, S. 2004. Multicriteria analysis of alternative-fuel buses for public transportation. Energy Policy : 1 - 11.
[7]. Suryadi, K., dan Ramdhani, A. 2000. Sistem Pendukung Keputusan. Rosdakarya. Bandung.
[8]. Syamsi, I. 2000. Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi. Bumi Aksara. Jakarta.
[9]. Winardi. 1981. Pengambilan Keputusan dalam Bidang Manjemen. Sinar Baru. Bandung
[10]. Zhang, J. D. D, Yan, H., dan Nagurney, A. 2005. Multitiered Supply Chain Networks: Multicriteria Decision—Making Under Uncertainty. Annals of Operations Research, 135 :155–178.



PENYELESAIAN SOAL CERITA DENGAN STRATEGI PEMODELAN MENGGUNAKAN DIAGRAM

Wiwik Ariyani,S.Pd
MTs Taqwal Ilah Semarang
W_ariyani_radya@yahoo.co.id

ABSTRAKSI

Membicarakan masalah mutu pendidikan di sekolah tidak dapat dilepaskan dengan proses pembelajaran di kelas. Berbagai macam masalah muncul dalam pembelajaran dikelas, diantaranya adalah kurang pahamnya siswa terhadap bahan ajar yang dipelajari siswa . terutama soal cerita yang membutuhkan pemahaman konsep tidak sekedar berhitung.Banyak siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika berupa soal cerita. Dan guru
juga mengalami kesulitan ketika mengajarkan pemecahan soal cerita kepada siswa. Ada beberapa strategi dalam memecahkan soal cerita, salah satunya adalah dengan strategi pemodelan menggunakan diagram.

Abstract
Discussing the problem of education quality in school cannot be discharged with studying process in class. Assorted problem emerge in studying off the class, such as less its understanding to the subject studied by students . Especially,story problem requiring the understanding of concept not simply account.Many students find difficulties in finishing mathematics problem-form of story. And teacher also find it when teaching them how to solve the problem . There are some strategies to solve story problem, one of them is modelling strategy by using diagram.

I. Pendahuluan
Soal cerita selalu dirasa sebagian siswa menjadi soal yang menyulitkan, karena soal cerita memuat berbagai unsur yang menyebabkan masalah. Dalam memecahkan masalah diperlukan strategi, oleh karena itu perlu pembiasaan memecahkan masalah dari unsur atau bagian masalahnya.Dalam soal cerita penyelesaian selalu dalam kalimat terbuka atau bentuk aljabar. Menurut Butler dan Wren,FL (1960), kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita yaitu :
1. Kurangnya kemampuan penalaran
2. Kesulitan dalam memilih proses yang akan digunakan
3. Kesalahan memahami maksud dari soal
4. Kurangnya penguasaan kosa kata
5. Kekurangcermatan membaca
Dan seringkali penyelesaian soal cerita diajarkan dengan menggunakan variable yang biasanya berupa huruf, sehingga siswa kesulitan memahaminya. Siswa rancu membedakan antara huruf yang merepresentasikan objek atau benda dengan huruf yang merepresentasikan satu bilangan tertentu.
Dalam memmecahkan masalah matematika yang terkait dengan soal cerita, penyusunan model matematika merupakan salah satu kunci keberhasilan. Untuk menyusun model matematika diperlukan langkah-langkah sistematis.Salah satu contoh pemodelan matematika adalah dengan menggunakan diagram. Dibanding pemodelan matematika dengan variable berupa huruf, maka pemodelan matematika dengan diagram lebih mudah dipahami siswa.

II. Pemodelan Matematika dengan symbol
Contoh soal :
Harga dua buah apel dan satu buah jeruk adalah Rp. 2.800,00
Harga satu apel dan dua jeruk adalah Rp. 3.200,00
Berapa harga satu buah apel dan satu buah jeruk ?

Jika diselesaikan dengan cara umum maka harga sebuah jeruk dimisalkan x dan harga sebuah apel dimisalkan y, maka akan didapat dua buah persamaan sbb:
2 x + y = 2.800
x + 2y = 3.200
Kedua persamaan dijumlah maka akan didapat :
3 x + 3 y = 6.000
3 (x + y) = 6.000
x + y = 2.000

Jika menggunakan simbol, maka disini dimisalkan harga satu buah jeruk dengan Δ dan harga satu buah apel dengan ♥ maka akan didapat :

Apel Jeruk Harga
Δ Δ + ♥ = 2.800
Δ + ♥♥ = 3.200
Jika dijumlahkan akan menjadi :

Δ Δ Δ + ♥♥♥ = 6.000

Ruas kiri pada bentuk paling akhir dapat diubah menjadi tiga grup sedemikian rupa sehingga pada setiap grup akan terdiri atas satu apel dan satu jeruk

Δ♥ + Δ♥ + Δ♥ = 6.000

Δ♥ = 2.000

Kira – Kira mana yang akan lebih mudah ditangkap siswa?

III. Pemodelan Matemátika dengan diagram garis
Contoh soal 1:
Jumlah kelereng Adi dan Iman 20 butir. Kelereng Adi lebih banyak 4 butir daripada Iman. Berapa kelereng Adi dan Iman ?

Penyelesaian :
Adi
(4 butir) 20 butir
Iman

Gambar yang diarsir adalah menunjukkan selisih kelereng Adi dan Iman.
20 – 4 = 16
16 : 2 = 8  Iman
Maka kelereng Adi adalah 8 + 4 = 12


Contoh soal 2
Rp. 2.000,00 akan dibagikan kepada Adan B. Jika A memperoleh Rp. 500,00 lebih banyak daripada B, berapa banyaknya uang yang diperoleh A dan B masing-masing ?

Penyelesaian :
Di sini selain diagram garis juga akan menggunakan simbol berupa tidak berupa variabel huruf supaya siswa mudah memahami

A 1 + Rp. 500,00
Rp. 2.000,00
B 1
+

2 + Rp. 500,00 = Rp. 2.000,00

2 = Rp.1.500,00

1 = Rp. 750,00  B

A = Rp. 750,00 + Rp. 500,00 = Rp. 1.250,00


Diagram garis


2
Rp. 500
Rp. 1.500

Rp. 2.000



Contoh soal 3
Ibu pergi ke pasar dan membelanjakan seperlima dari uangnya. Setelah itu membelanjakan lagi lima per delapan dari sisa uangnya. Sekarang sisa uangnya Rp. 12.000,00. Berapa uangnya mula-mula ?



1


1

12.000



Kita misalkan uang ibu mula – mula adalah 1 , dan 1 adalah sisa uang ibu setelah belanja pertama. Maka dari perhitungan diatas di dapat bahwa sisa uang ibu setelah belanja pertama adalah Rp. 32.000,00. Dan uang ibu mula-mula dalah Rp. 40.000,00

Contoh soal 4
Saya membeli 30 buah yang terdiri dari jeruk dan apel dengan harga RP. 40.000,00. Harga sebuah jeruk Rp. 1.000,00 dan harga sebuah apelRp. 1.500,00. Berapa buahjeruk dan apel masing-masing saya beli ?

Harga

150

100
Rp. 30.000

30
Jumlah buah

Di misalkan buah yang di beli adalah jeruk semua (daerah yang diarsir) maka harga seluruhnya :
30 x Rp. 1.000,00 = Rp. 30.000,00
Dan terdapat selisih harga
Rp. 40.000,00 – Rp. 30.000,00 = Rp. 10.000,00
Selisih harga sebuah apel dan sebuah jeruk
Rp. 1.500,00 – Rp. 1.000,00 = Rp. 500,00
Maka
Rp. 10.000,00 : Rp. 500,00 = 20 buah  apel
30 – 20 = 10 buah  jeruk




IV. PENUTUP
Demikian sedikit gambaran penggunaan strategi pemodelan dengan diagram pada proses pemecahan masalah dalam soal cerita. Cara seperti ini dapat digunakan pada siswa SD dan SMP.Dan pemecahan masalah dengan pemodelan diagram bisa dipergunakan untuk memecahkan soal yang bervariasi dari sederhana sampai soal rumit.


DAFTAR PUSTAKA

LIMAS, Edisi 17, Desember 2006
Butler,CH. Dan Wren,FL (1960). The teaching of secondary Mathematics. New York \; Mc Graw Hill – Book Company
Modul Comprehensive course, Sakamoto Methode








































































Classroom Action Research sebagai Learning Organization

Oleh
Drs. H. Karso, M. M.Pd.

ABSTRAK

Menyadari bahwa kondisi pendidikan di Indonesia nilai rapotnya makin kebakaran dan tidak kurang parahnya dibandingkan dengan parahnya kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Pendidikan di Indonesia, baik kualitas akademiknya, proses pembelajarannya, maupun sistemnya berada pada kelompok yang relatif rendah bila dibandingka dengan negara-negara tetangga. Demikian pula dunia pendidikan matematika prestasi dan kualitas pembelajarannya dalam komparasi internasional masih relatif rendah. Di lain pihak sebagai guru/ pendidik khususnya dalam bidang matematika perlu untuk berintrospeksi diri, sebab guru/ pendidik merupakan manajer dalam pembelajaran di kelas sekaligus sebagai ujung tombak dan turut bertanggungjawab.
Salah satu diantaranya adalah sejauh mana keberadaan karya ilmiah para guru/ pendidik yang dapat dijadikan rujukan dalam pembelajarannya. Misalnya dalam bidang penelitian (research) khususnya classroom action research (penelitian tindakan kelas) sebagai upaya para guru/ pendidik dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajarannya di kelas. Kondisi ini dipandang sangat strategis, mengingat permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik matematika yang deduktif, aksiomatik, formal, dan abstrak, sedangkan karakteristik siswa (SD, SMP, dan SMA) bukanlah bentuk mikro orang dewasa. Karena itulah melalui classroom action research sebagai learning organization (organisasi pembelajar) dalam pengembangan profesi guru matematika merupakan komponen yang strategis sebagai akuntabilitas professional. Tanpa kondisi seperti ini sangatlah sulit untuk melakukan upaya peningkatan kualitas yang sesungguhnya. Karenanya melalui iklim yang kondusif diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh kesadaran diri (self conssciousness) yang kemudian bergerak pada kesadaran kolektif (collective consciousness) dan kesadaran team work. Amin

A. Pendahuluan
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga kita diberi kesempatan untuk bersilaturahmi dalam Konferensi Nasional Pendidikan Matematika II sekaligus Kongres Guru Matematika Indonesia I. Gagasan yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan dan diskusi ini adalah tentang strategisnya Classroom Action Research (Penelitian Tindakan Kelas) sebagai Learning Organization (Organisasi Pembelajar) dalam Pengembangan Profesi Guru Matematika.
Tulisan ini sebagai wujud kepedulian dan sekaligus keprihatinan terhadap beberapa hal yang dipandang ada guna dan manfaatnya untuk didiskusikan oleh kita sebagai guru/ pendidik matematika yang merupakan bagian keluarga besar dari sistem pendidikan nasional untuk menuju guru matematika yang profesioal. Beberapa hal pokok tersebut meliputi
1. Menyadari bahwa kondisi pendidikan di Indonesia saat ini rapotnya semakin merah dan tidak kurang parahnya dibandingkan dengan parahnya kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Kondisi lingkungan eksternal dan internal ini diharapkan dapat memperkokoh peran kita sebagai pendidik/ guru matematika dalam menumbuhkan kesadaran diri (self consciousness), yang kemudian berlanjut ke kesadaran kolektif (collective consciousness).
2. Menyadari bahwa kualitas dan kuantitas karya ilmiah termasuk penelitian (research) yang dilakukan oleh kita sebagai pendidik/ guru matematika masih relatif rendah. Di lain pihak komponen ini merupakan salah satu pusat-pusat kekuatan yang strategis yang sifatnya sebagai perekat (magnetic forces) dan sebagai pendukung (driving forces) dalam organisasi pembelajar (learning organization) yang harus sudah menjadi milik guru/ pendidik matematika, dalam upaya pengembangan profesi sesuai tuntutan perubahan zaman (zeitgeist).
3. Menyadari bahwa banyak hal yang bisa dilakukan oleh guru/ pendidik matematika dalam memecahkan permasalahan pendidikan/ pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan profesionalisasi, sekaligus sebagai alternatif solusi dari kedua permasalahan di atas. Alternatif solusinya tentu saja harus dilakukan pada tataran makro, messo, atau mikro sesuai fungsi dan peran kita masing-masing.
Gagasan dan pemikiran yang dicoba disajikan dalam tulisan dan diskusi ini tidak hanya berdasarkan kajian teoritis saja, tetapi didasarkan pula pada realita dari berbagai temuan dan pengalaman dalam berinteraksi selama bertahun-tahun menjadi guru matematika di beberapa SMA dan PT. Namun tentu saja penyajian tulisan ini tidak bermaksud menggurui siapapun, tetapi hanyalah bersifat mengidentifikasi masalah-masalah yang mendasar dan alternatif solusinya yang dipandang strategis. Karena peningkatan kualitas pendidikan termasuk pendidikan matematika yang sesungguhnya ada di tangan para guru/ pendidik sebagai manajer kelas dan para kepala sekolah sebagai manajer sekolah.
Selain itu tentu saja melalui media silaturahmi dengan teman-teman sesama guru/ pendidik matematika ini akan menjadi pengalaman yang berharga bagi penulis dalam membangun profesionalisasi calon guru matematika melalui proses pembelajaran di Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA-UPI. Kondisi ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran tentang strategisnya posisi guru/ pendidik dalam membudayakan learning organization melalui penelitian tindakan kelas untuk membangun pengembangan profesi guru matematika. Amin.

B. Isu-isu Aktual yang Terkait dengan Pendidikan dan Pembelajaran Matematika
Jika kita sejenak merenung melakukan refleksi, mengkaji lingkungan kehidupan yang tak terpisahkan dengan dunia pendidikan termasuk pendidikan matematika, maka ada beberapa hal yang rasanya perlu dipahami dan disadari oleh kita, walaupun mungkin “menyesakan dada kita”, dan “kita harus berbuat apa?”, diantaranya
1. Secara makro, messo dan mikro banyak perbuatan-perbuatan pendidikan termasuk dalam pendidikan matematika yang inkonsisten di antara fakta, kebijakan, teori maupun filsafahnya. Sebagai akibatnya dalam memilih kebijakan yang dianggap tepat, terbaik, paling bermanfaat, dan kemungkinan keterlaksnaannya menjadi tidak serasi atau inkonsistensi dengan keberadaan fakta-faktanya, teori yang dianutnya, dan tidak pula dengan falsafah sebagai esensi tentang teori, kebijakan dan fakta. Sistem pengelolaan birokrasi khususnya tentang pendidikan sering dilakukan bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan justru menambah masalah baru, sehingga permasalahan pendidikan semakin menggunung. Bagaimana dengan keberadaan UN, sertifikasi, komite sekolah, dewan sekolah, LPTK, sekolah, sistem penerimaan siswa/ mahasiswa baru, rekrutmen guru dan kepala sekolah, dsb. Bagaimana solusinya, supaya kesemuanya bisa bergerak maju dalam satu spiral dynamic?
2. Dalam era informasi, perubahan dalam segala aspek kehidupan telah terjadi secara terus menerus dengan sangat cepat dan telah memasuki daerah kerumitan (complexity), kesemrawutan (chaos) dan gejolak (turbulences). Hari besok dan lusa sudah tidak lagi mengandung kepastian seperti kemarin di sebelumnya. Kadang muncul yang dikehendaki tapi kadang muncul pula yang tidak dikehendaki, kadang muncul keberaturan dan ketidakberaturan, kadang dapat diprediksi, tapi kadang tak dapat diprediksi, dsb., dsb. Kondisi ini termasuk pula krisis moral yang melanda masyarakat kita. Bagaimana posisi pendidikan khususnya posisi guru atau pendidik termasuk pendidik matematika?
3. Globalisasi yang didorong oleh hiruk pikuknya teknologi informasi, uang, dan manajemen telah menjadi power penggerak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga memaksa individu dan organisasi untuk berselancar (surving) secara signifikan agar dapat survive dan berkembang. Tuntutan perubahan sebagai gelombang yang dahsyat, tentu saja telah menerpa organisasi sistem pendidikan nasional di republik ini. Bagaimana posisi sistem pendidikan nasional kita, termasuk posisi pendidik/ guru dengan segudang permasalahannya?
4. Kualitas pendidikan kita yang masih rendah, atau mungkin “kualitas pendidikan terus menerus menurun”. Dalam Kompas 5 September 2001, diberitakan bahwa Mendiknas Abdul Malik Fajar mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia. (Hasil survey Political and Economic Risk Consultancy/ PERC). Kemudian dikemukakan oleh kepala BKKBN pusat, Syarif bahwa IPM (HDI) RI pada tahun 2007 ini ada pada urutan ke-108 dari 117 negara berdasarkan penilaian UNDP, posisi Indonesia jauh lebih rendah dari Vietnam, Kamboja, bahkan Laos. (Pikiran Rakyat, 3 Mei 2007). Kondisi ini menunjukkan bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia, dan tentu saja termasuk bagaimana kualitas pendidikan matematikanya ?.
5. Manusia sebagai makhluk yang berbudi dan berakal (animal rationale), dan makhluk sosial, harus bisa membedakan yang wajib, sunat, mubah, makruh dan haram, dalam menentukan relasi yang baik dengan Tuhan yang telah menciptakannya dan dengan alam atau lingkungan dimana ia hidup. Karenanya para pendidik termasuk pendidik matematika bukan hanya menekankan pada segi pengetahuan saja (kognitif) tetapi harus mengembangkan kesadaran, akal budi, spiritual, moralitas, sosialitas, keselarasan dengan alam, serta rasa dan emosinya. Pendidik yang hanya menekankan pada segi pengetahuan, apalagi hanya pada nilai UN akan mengakibatkan anak didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh, secara kaaffah. Bagaimana dengan keberadaan tim sukses UN, menyontek, tawuran, moral, etika, ketidakadilan? Menurut Tong-Keun Min (2007) bahwa “filosofi nilai-nilai pendidikan dan nilai-nilai pelajaran perlu terkait dengan nilai-nilai sosial, nilai-nilai politik, nilai-nilai moral dan budaya, nilai-nilai hidup, nilai-nilai bahasa, nilai-nilai teknis, dan nilai-nilai emosional”.
6. Kemampuan sumber daya alam, kemampuan material-finansial-budgeter kita makin terbatas. Demikian pula kemampuan SDM dalam arti kognitif, afektif, psikomotorik kinerja operasional secara individu dan kolektif dalam berorganisasi hingga bernegara apakah sudah menjadi aset dan problem solver atau justru sebaliknya? Bagaimana dengan keberadaan komite sekolah, dewan sekolah, PGRI, LSM, DPR/DPRD, dan organisasi-organisasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak?
7. Apakah kita harus kembali pada pola strategi orde yang lalu? Tentu saja tidak, karena strategi itu berbasis kekuasaan manunggal, sangat sentralistik, sangat mono politik, “keberhasilannya“ ternyata harus dibayar terlalu mahal dengan menurunnya nilai kejujuran, moral, menurunnya kecerdasan mental, yang dihiasi kecanggihan-kecanggihan praktek KKN serta kepura-puraan.
8. Secara internal atau secara khusus sudah kita ketahui bersama bahwa karakteristik matematika adalah deduktif, aksiomatik, formal, dan abstrak. Sedangkan keberadaan siswa di SD, SMP, dan sebagian besar di SMA tetap masih dipandang sebagai anak, bukan bentuk mikro orang dewasa. Namun mereka adalah individu yang potensial, sehingga dapat ditumbuhkembangkan secara optimal oleh pendidik atau guru sebagai manajer dalam pembelajaran matematika di kelas. Keberadaan kutub anak didik dan kutub matematika yang relatif berbeda merupakan peran dan tanggungjawab guru/ pendidik sebagai fasilitator dan motivator. Dalam kondisi demikian sangatlah memungkinkan untuk menumbuhkan dan memperkokoh pengembangan profesi guru melalui organisasi pembelajar (learning organization) sehingga melahirkan paradigma kesadaran diri (self consciousness) yang berlanjut pada kesadaran kolektif (collective consciousness). Bagaimana dengan pembelajaran matematika melalui CTL, open-ended, RME, berpikir kritis, konstruktivis, lesson study, PTK (classroom action research) dsb.?
9. Sedikit informasi yang berkaitan dengan pengembangan profesi yang diwajibkan kepada para guru yang akan naik pangkat/ jabatan dari golongan IVa ke IV b dan seterusnya, ternyata banyak mengalami kesulitan. Hal ini terbukti dari tahun ke tahun banyak teman-teman guru yang gagal dalam mengajukan kenaikan pangkatnya, disebabkan kesalahan dalam menyusun karya tulis ilmiah untuk hasil-hasil penelitiannya. Dari sekian ratus yang mengusulkan ternyata rata-rata kelulusannya hanya belasan saja. Kondisi ini terjadi pada setiap saat penilaian dilakukan di tingkat nasional. Kenapa hal ini terjadi, dan dimanakah letak kekeliruannya?
Masih banyak permasalahan dan rasa keprihatinan akan kondisi pendidikan yang menerpa bangsa ini. Dalam silaturahmi ini tentunya kita menyadari bahwa keberhasilan mempersiapkan generasi muda dalam memasuki masyarakat, bangsa, dunia masa kini dan masa depan banyak ditentukan oleh pemikiran dan kerja keras kita bersama.

C. Organisasi Pembelajar (Learning Organization) dalam Pengembangan Profesi Guru Matematika
Perlu kita sadari bahwa pada era kerumitan, kesemrawutan, dan perubahan sekarang ini, komitmennya haruslah difokuskan pada budaya mutu dengan keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya menuntut setiap komponen organisasi sistem pendidikan nasional untuk melakukan pembaharuan yang terus menerus (continous improvement) sehingga mempunyai daya saing yang optimal. Oleh karena itu diperlukan individu-individu yang mau belajar untuk terus meningkatkan kemampuan dirinya sehingga tangguh dalam menghadapi perubahan dan persaingan yang makin kompetitif. Dalam hal ini tentu saja titik berangkat awalnya adalah penyadaran diri yang penuh makna kepada Allah WST. Kesadaran diri itu (self consciousness) tentu pula harus berlanjut ke kesadaran kolektif (collective consciousness) dan kesadaran team- work.
Perubahan yang terjadi bukanlah sekedar produk, aktivitas, dan struktur eksternal yang dapat diamati sehari-hari, tetapi juga perubahan internal yang terjadi dalam organisasi sistem pendidikan nasional secara integral. Menurut M. J. Marquardt dalam Moedjadi (2006: 4), “Perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi termasuk dalam organisasi pendidikan adalah mengenai nilai-nilai, cara berpikir, mind-set, strategi dan bahkan tujuan-tujuan yang dicapai”. Dalam kaitan inilah semua komponen organisasi pendidikan perlu memperhatikan kondisi-kondisi lingkungan yang ada dan belajar daripadanya agar dapat berselancar secara signifikan dalam dahsyatnya perubahan yang ada. Semua komponen organisasi itu harus menjadi organisasi pembelajar (learning organization), yaitu suatu organisasi yang terus menerus mengembangkan kemampuanya untuk menciptakan masa depan ke arah yang lebih baik.
Organisasi pembelajar ini harus benar-benar dihidupkan dalam berbagai jalur, jenjang, jenis dan satuan pendidikan serta komponen-komponen pendidikan sebagai pilar-pilar pendidikan nasional. Budaya learning organization di lingkungan pendidikan haruslah berkembang dan menjadi teladan bagi organisasi-organisasi lainnya. Iklim yang kondusif itu diharapkan menjadi magnetic forces dan driving forces bagi konsistensi fakta, kebijakan, teori, dan filsafah pendidikan, sehingga learning organization menjadi budaya dalam membangun pendidikan.
Jika titik berangkat untuk paradigma baru sudah diperbaiki atau disesuaikan dengan visi di atas, maka belajar termasuk belajar matematika akan menjadi kewajiban dan kebutuhan bagi setiap orang, any where any time. Masalahnya apakah organisasi dalam sistem pendidikan, khususnya sekolah-sekolah sudah memasuki learning organization? Apakah para pemimpin pendidikan, seperti para birokrat, pengawas, penilik, kepala sekolah, dan juga guru-guru termasuk kita para pendidik matematika, telah cukup tangguh dan memiliki kesiapan untuk menjadi “pemimpin pembelajar” dan “karyawan pembelajar”? Apakah kita siap menjadikan visi learning organization sebagai budaya bangsa?
Dalam kaitan itulah tentunya kita harus mampu mereposisi diri supaya besok lebih baik dari hari ini, juga dengan meluruskan niat awal untuk memulai dari diri sendiri (ibda binafsi) dalam memperbaiki diri. Dalam hal ini dituntut untuk mampu berpikir aqliyah dan naqliyah yang cerdas dan berijtihad berdasarkan pada keyakinan yang benar yang bisa dipertanggungjawabkan (justified true belief).
Sejalan dengan justified true belief, maka dalam mempelajari, menganalisis, dan berprilaku haruslah memperhatikan faktanya, statistiknya, teorinya, panca indranya, dan kalamullahnya. Karenanya dalam budaya learning organization pengembangan sumber daya manusia (SDM) itu tentu saja salah satu sisinya harus difokuskan pada pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman untuk menguasai, mengendalikan dalam berbagai aspek teknologi canggih (high tech approach). Namun demikian perlu pula diimbangi high touch approach, yaitu proses membangun SDM untuk mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan melalui pengembangan potensi kepribadian yang dapat menangkal pengaruh-pengaruh negatif terhadap hakekat martabat kemanusiaan yang paling mendasar. Bagaimana dengan pembelajaran matematika di sekolah sebagai wujud profesionalisasi dalam membangun SDM yang berkualitas?

D. Penelitian Tindakan Kelas atau PTK (Classroom Action Research) dalam Pengembangan Profesi Guru Matematika
1. Pengembangan Profesi
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 84/1993 tentang Penetapan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993, No. 25/1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pada prinsipnya bertujuan untuk membina karier kepangkatan dan profesionalisme guru. (diberlakukan pula bagi para dosen, pengawas, dan widyaiswara). Selanjutnya dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa: “Untuk kenaikan jabatan/ pangkat setingkat lebih tinggi menjadi Guru Pembina golongan ruang IVb sampai dengan Guru Utama golongan ruang IVe, guru diwajibkan mengumpulkan sekurang-kurangnya 12 angka kredit dari unsur pengembangan profesi”. Dari peraturan ini jelas, bahwa kenaikan pangkat/ jabatan guru pembina IVa ke atas mewajibkan adanya angka kredit untuk kegiatan unsur pengembangan profesi. Pengembangan profesi adalah kegiatan guru dalam rangka pengamalan ilmu dan pengetahuan, teknologi dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran maupun dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan.
Melalui sistem angka kredit ini diharapkan dapat diberikan penghargaan secara adil dan lebih profesional terhadap pangkat guru yang merupakan pengakuan profesi dan kemudian akan meningkatkan pula tingkat kesejahterannya. Pengembangan profesi ini terdiri dari lima macam kegiatan, yaitu: (1) menyusun karya tulis ilmiah/ KTI (< 12,5), (2) menemukan teknologi tepat guna (5), (3) membuat alat peraga/ bimbingan (0,5 – 0,2), (4) menciptakan karya seni (5-2), dan (5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum (4,5-2).
Membuat KTI merupakan salah satu macam kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh guru dalam pengembangan profesinya. KTI adalah laporan tertulis tentang hasil kegiatan ilmiah yang banyak macamnya, sehingga laporan KTI juga beragam bentuknya, diantaranya: (1) KTI hasil penelitian, pengkajian, survey, dan atau evaluasi (12,5-4), (2) KTi yang merupakan tinjauan atau gagasan sendiri dalam bidang pendidikan (8-3,5), (3) KTI yang berupa tulisan ilmiah popular yang disebarkan melalui media masa (2,0), (4) KTI yang berupa tinjauan, gagasan atau ulasan ilmiah yang disampaikan sebagai prasaran dalam pertemuan ilmiah (2,5), (5) KTi yang berupa buku pelajaran (5-3), (6) KTI berupa diktat pelajaran (1), dan (7) KTI yang berupa karya terjemahan (2,5).
Namun pada umumnya KTI yang cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan (mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk laporan penelitian (makalah) dengan angka kredit empat (4). Malahan lebih dari 90% KTI hasil penelitian ini berbentuk laporan hasil penelitian tindakan kelas (classroom action research atau TPK). Pembuatan PTK ini tentu saja harus sesuai dengan permasalahan mata pelajaran yang dibinanya, untuk guru matematika haruslah masalah pembelajaran matematika di kelasnya/ sekolahnya, kecuali untuk kepala sekolah.
Dalam melaksanakan penelitian ini boleh saja dilakukan secara berkolaborasi baik dengan sesama guru matematika atau dengan pengajar di PT, pengawas, widyaiswara, atau kepala sekolah. Malahan sangatlah dimungkinkan laporan PTK adalah hasil implementasi Lesson Study yang berbasisi MGMP atau yang berbasis sekolah. Khusus untuk karya tulis yang dilakukan oleh lebih dari seorang, maka angka kreditnya 60% diberikan kepada penulis utama dan sisanya dibagi untuk semua penulis pembantu dengan sebanyak-banyaknya lima (5) orang.
2. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)
Tentunya kita telah mengetahui, bahwa penelitian tindakan kelas atau PTK (Classroom Action Research) adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sehingga hasil belajar siswa meningkat. Ada beberapa kriteria pokok dari PTK, yaitu:
1. An inquiry of practice from within (penelitian berawal dari kerisauan guru akan kinerjanya)
2. Self reflective inquiry (metode utama adalah refleksi diri, bersifat agak longgar, tetapi tetap mengikuti kaidah-kaidah penelitian).
3. Fokus penelitian berupa kegiatan pembelajaran.
4. Tujuannya memperbaiki pembelajaran.
Dari karakteristik tersebut tentunya dapat dibandingkan ciri-ciri PTK dengan penelitian kelas non-PTK. Guru dianggap paling tepat melakukan PTK yang sesuai dengan bidang studi keahlianya, karena (1) guru mempunyai otonomi untuk menilai kinerjanya, (2) temuan penelitian formal sering sukar diterapkan untuk memperbaiki pembelajaran, (3) guru merupakan orang yang paling akrab dengan kelasnya, (4) interaksi guru siswa berlangsung secara unik, dan (5) keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan inovatif yang bersifat pengembangan mempersyaratkan guru mampu melakukan penelitian di kelasnya.

E. Penutup
Demikianlah sajian bahasan diskusi sebagai proses pembelajaran dalam upaya membangun guru/ pendidik matematika yang professional melalui Classroom Action Research sebagai learning organization dalam pengembangan profesi guru matematika. Mudah-mudahan pembelajaran dan silaturahmi melalui Kongres Guru Matematika Indonesia I dan Konferensi Nasional pendidikan Matematika II ini ada guna dan manfaatnya bagi kita semua sebagai wujud amal ibadah kepadaNya. Amin.

F. Referensi
Depdiknas. (1993). Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Tenaga Kependidikan.

------------. (1993). Keputusan Bersama menteri Pendidikan dan kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993, No. 25/1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Tenaga Kependidikan.

Hopkins, D. (1993). A Teacher’s Guide to Classroom Research, Open Iniversity Press: Philadelphia.

Karso. (2007). “Membangun Kecakapan Proses dalam Pembelajaran Matematika melalui Lesson Study Berbasis MGMP sebagai Learning Organization di Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang”. Makalah dalam Seminar Nasional Exchange of Experiences on Best Pratices of Leson Study, Bandung.

Moedjadi. (2006). “Pengaruh Persaingan dan Organisasi Belajar terhadap Proses Transformasi Kompetensi Intelektual Individu Menjadi modal Intelektual Organisasi”. Mimbar Pendidikan No. 3 Th. XXVI(2006). Bandung: University Press IKIP Bandung.

Syarif, S. (200). “IPM Indonesi Urutan ke-108”. Pikiran Rakyat (3 Mei 2008).

Tong Keun-Min. (2007). A Study on the Hierarchy of values. {online]. Tersedia: http://www.bu.edu/wcp/Papers/ValuMin.html.

Wardani, I. G. A.K, dkk. (2006). Penelitian Tindakan Kelas Jakarta: Universitas Terbuka.






PERAN INTUISI DALAM PEMECAHAN MASALAH

Oleh:Budi Usodo2)


ABSTRAK

Makalah ini menguraikan peran intuisi dalam memecahkan masalah matematika dan bagaimana implikasinya dalam pembelajaran di kelas. Dalam memecahkan masalah matematika diperlukan proses berpikir analitik dan logika. Hal ini menunjukkan bahwa memecahkan masalah matematika merupakan kegiatan formalisme dalam matematika. Namun demikian formalisme hanyalah hasil akhir dari aktivitas matematika. Pada kenyataannya bahwa proses memformulasi pengetahuan matematika termasuk membangun gagasan untuk

memecahkan masalah memerlukan aktivitas kognisi lain yang bebrbeda dengan aktivitas mental yang bersifat analitik dan logis. Karena itu diasumsikan bahwa aktivitas mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan kognisi intuitif (intuitive cognition). Bruner (1974) dan Hart (1993) mengungkapkan bahwa dalam memecahkan masalah matematika, ada dua pendekatan yaitu secara analitik dan intuisi. Intuisi didefinisikan sebagai kognisi yang secara subyektif kebenarannya terkandung di dalamnya, dapat diterima langsung, holistik, bersifat memaksa, ekstrapolatif, tidak analitis, tanpa suatu proses penalaran secara logis.
Disadari, bahwa pembelajaran matematika saat ini masih didominasi pada pengembangan kognisi formal, akibatnya matematika menjadi tampak sebagai barang asing yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan informal anak. Anak tidak diberi kesempatan yang cukup untuk berpikir sendiri mengenai gagasan matematika. Anak menjadi kurang percaya diri akan kemampuannya melakukan proses bermatematika, dan yang paling buruk, pembelajaran matematika tersebut tidak memberi tempat bagi intuisi anak, yang sebenarnya berkaitan erat dengan cara alamiah anak dalam belajar dan berpikir matematika. Oleh sebab itu pembelajaran matematika secara utuh, yaitu mengembangkan kogisi formal dan kognisi intuitif perlu diupayakan. Langkah yang dapat dilakukan adalah selalu membelajarkan siswa untuk mengembangkan gagasan sendiri dalam memahami pengetahuan matematika dan memecahkan masalah-masalah matematika.

Kata kunci: Pembelajaran matematika, kognisi formal, kognisi intuitif, intuisi, masalah matematika,




1)Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Matematika II Di UPI Bandung Tanggal 25 ? 27 Agustus 2007
2)Dosen Pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS




IMPLEMENTASI PENDEKATAN PAKEM (PEMBELAJARAN AKTIF, EFEKTIF DAN MENYENANGKAN) DALAM PEMBELAJARAN

Oleh : Drs. Bainuddin Yani, M.Pd **)


ABSTRAK

Salah satu inovasi dalam pembelajaran matematika SD yang ditawarkan sekarang adalah dari pembelajaran yang mekanistik atau strukturalistik ke pembelajaran matematika yang PAKEM. Operasi bilangan bulat dalam pembelajaran Matematika SD/MI terdiri dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Dalam pelaksaannya, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan (re-invent) konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan bulat melalui praktek dengan menggunakan benda-benda kongkret yang skenarionya didisain sesuai dengan karakteristik PAKEM. Dengan demikian siswa diharapkan dapat menemukan sendiri
konsep operasi bilangan bulat dengan cara yang PAKEM.

Kata Kunci: PAKEM, pembelajaran, operasi bilangan bulat, penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, benda kongkret.

I. PENDAHULUAN

Beriringan dengan temuan-temuan baru dalam psikologi pendidikan, pendekatan dan strategi pembelajaran matematika di sekolah juga turut berubah. Mengajar tidak lagi dipandang sebagai penyampaian sejumlah informasi kepada peserta didik, tetapi harus mampu mendorong dan membimbing siswa untuk aktif mengkonstruksi sendiri pemahamannya. Selama proses pengkonstruksian konsep dan keterampilan matematika, kreativitas guru juga sangat penting bukan saja yang mengarah pada penemuan konsep, tetapi juga kemampuan guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, peningkatan kualitas pembelajaran merupakan aspek penting yang harus mendapat perhatian dari guru dan lembaga-lembaga terkait, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pengembangan profesionalisme guru dan kegiatan belajar siswa di sekolah.
Salah satu program yang bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran di SD adalah CLCC (The Creating Learning Communities for Children). Program ini, yang merupakan program kerjasama dengan UNESCO dan UNICEF, memuat tiga komponen, yaitu (1) Community Participant (CP), School Based Management (SBM), dan Active, Joyful and Effective Learning (AJEL). Ketiga komponen tersebut dikembangkan dalam satu program yang saling berkaitan. Di Indonesia, AJEL dikenal dengan istilah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Dalam makalah ini akan dibahas pembelajaran Operasi Bilangan Bulat (Penjumlahan, Pengurangan, Perkalian, dan Pembagian) di SD/MI dengan cara yang PAKEM.
Sebagaimana diketahui, bahwa konsep operasi bilangan bulat (interger) merupakan konsep yang paling dasar dan penting untuk memahami konsep matematika lebih lanjut di SMP dan SMA. Kegagalan dalam menanam konsep tersebut akan berakibat fatal bagi guru dan siswa. Fatal bagi guru antara lain berupa terhambatnya dalam penanaman konsep matematika lebih lanjut, dan fatal bagi siswa antara lain mereka sulit memahami konsep matematika yang lebih tinggi, bosan mempelajari matematika, tidak ingin mengikuti pelajaran matematika, dan bahkan membenci matematika.

II. PEMBAHASAN

Untuk beradaptasi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan teknologi, pembelajaran matematika di SD/MI perlu terus ditingkatkan kualitasnya. Kita melihat dan merasakan bahwa informasi yang harus diketahui oleh manusia setiap hari begitu beraneka, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, sehingga tidak mungkin kita memilih dan memahami sebagian kecilpun dari informasi tersebut tanpa memanfaatkan cara atau strategi tertentu untuk memperolehnya. Implikasinya di sekolah adalah, bahwa pembelajaran yang mekanistik yang didominasi dengan menghafal fakta-fakta dan rumus-rumus matematika harus segera ditinggalkan, karena di samping tidak menyenangkan siswa, juga akan menyebabkan lulusan "miskin" dalam menyerap informasi dan dalam pemecahan masalah. Demikian juga pembelajaran yang bersifat strukturalistik yang menekankan pada algoritma yang kaku, akan menyebabkan siswa tidak memiliki kreativitas dalam menghadapi masalah sehari-hari yang menantang. Salah satu cara pembelajaran yang mampu mengubah fenomena di atas adalah pembelajaran matematika di SD/MI dengan tingkat ke-PAKEM-an yang tinggi.

A. HAKEKAT PEMBELAJARAN PAKEM

Inti dari PAKEM adalah siswa bekerja dan mengalami. Siswa 'bekerja', menekankan pada belajar dengan berbuat (learning by doing). Semua siswa harus bekerja secara aktif mempraktekkan matematika dengan menggunakan benda-benda kongkret yang mudah diperoleh di sekitar sekolah. Perlunya benda-benda kongkret dalam belajar konsep matematika SD, antara lain dapat dikaji dari teori yang dikemukakan oleh William Brownell, Zoltan P. Dienes, Richard Skemp, dan Jerome S. Brunner (Karim, dkk., 1997:18 – 26).
Menurut Brownell, untuk mengembangkan pemahaman siswa tentang matematika adalah mempraktekkan matematika dengan menggunakan benda-benda kongkret yang mereka kenal, dan mempelajari matematika harus secara permanen atau terus menerus dalam waktu yang lama. Dienes mengemukakan, benda-benda kongkret yang digunakan siswa dalam praktek untuk mempelajari suatu konsep matematika sebaiknya bervariasi. Misalnya, bila guru mengenalkan konsep bilangan dua, guru hendaknya dapat menunjukkan dua pensil, dua sentul, dua kerikil, dua lidi, dan sejenisnya. Karena belajar secara PAKEM, semua siswa secara serentak juga harus menunjukkan benda-benda kongkret tersebut. Untuk menanamkan konsep operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, semua siswa hendaknya mempraktekkannya dengan bermacam benda kongkret, seperti karton persegi dengan ukuran sisi 2 cm (atau boleh ukuran lainnya), kancing baju, atau tutup botol masing-masing dengan dua warna, misalnya merah dan putih.

karton persegi putih karton persegi merah
mewakili bilangan bulat mewakili bilangan bulat
positif negatif

Gambar 1

Pakar matematika dan psikolog Inggris Richard Skemp juga mendukung interaksi siswa dengan obyek-obyek fisik pada tahap awal mempelajari konsep matematika. Ia yakin bahwa pengalaman awal tersebut dapat menjadi dasar yang berharga untuk mempelajari matematika pada tingkat yang abstrak. Misalnya bilangan nol pada bilangan bulat, ditunjukkan dengan menindih karton persegi positif dengan karton persegi negatif (Gambar 2). Sifat komutatif perkalian dapat dipraktekkan oleh semua siswa dengan menyusun karton persegi, misalnya karton persegi yang menunjukan 2 x 3 dan 3 x 2 (Gambar 3).

Bilangan nol diperoleh dengan menindih satu lembar karton
persegi positif dengan satu lembar karton persegi negatif


Gambar 2


Susunan karton ini
menunjukkan 3 x 2


Susunan karton ini
menunjukkan 2 x 3

Gambar 3. Sifat komutatif 2 x 3 = 3 x 2 = 6

Identik dengan cara di atas, siswa dapat menyusun karton persegi untuk menunjukkan bahwa sifat komutatif tersebut juga berlaku pada operasi bilangan bulat negatif, sebagai berikut.


Susunan karton ini menunjukkan -3 x 2

(caranya memperolehnya,
lihat pada bagian B.3)

Susunan karton ini
menunjukkan 2 x (-3)

Gambar 4. Sifat komutatif 2 x (-3) = -3 x 2 = - 6

Psikolog kognitif Jerome S. Brunner, yakin bahwa siswa yang mempelajari matematika perlu secara langsung menggunakan bahan-bahan manipulatif berupa benda-benda kongkret yang dirancang khusus untuk diotak-atik oleh mereka dalam memahami konsep matematika. Melalui interaksi dengan benda fisik (benda kongkret) inilah siswa menemukan prosedur pemecahan masalah matematika yang pada gilirannya akan memperdalam pemahaman konsep yang sedang dipelajari. Brunner, yang dianggap sebagai tokoh metode pembelajaran penemuan (discovery method) itu, menyarankan agar pembelajaran matematika di SD dilaksanakan melalui tiga tahap sajian, yaitu enactive, iconic, dan symbolic. Ketiga tahapan ini harus dilaksanakan secara simultan dan kontinu.
Tahap-1 enactive : yaitu guru menggunakan benda-benda kongkret ketika melaksanakan modeling pembelajaran untuk menjelaskan konsep dan prosedur pemecahan masalah, dan semua siswa (dengan bimbingan guru) juga menggunakan benda-benda kongkret untuk mempraktekkan pengetahuan matematika yang sedang dipelajarinya. Untuk operasi bilangan bulat, dapat digunakan benda kongkret seperti disebutkan di atas, yaitu karton persegi dengan dua warna.
Tahap- 2 iconic : Pada tahap ini, guru melanjutkan sajian secara grafis atau gambar. Misal-nya, untuk operasi penjumlahan – 5 + 3, guru menggambarkan di papan tulis sebagai berikut.






Gambar 5. – 5 + 3. (Kongkretisasi perhitungannya akan dijelaskan pada bagian berikut).

Seperti yang telah disebutkan di atas, grafis atau gambar dapat juga berupa dot seperti yang dianjurkan oleh Reys et.al.(1998:163). Misalnya, 4 x 7 dapat digambarkan sebagai berikut.
●●●●●●●
●●●●●●●
●●●●●●●
●●●●●●●

Tahap-3 symbolic : Pada tahap ini, guru memperjelas hasil praktek di atas dengan mengguna-kan simbol. Pada contoh di atas, simbol yang digunakan adalah dengan menulis temuan dari praktek – 5 + 3 = – 2.

Siswa 'mengalami' menekankan bahwa untuk memahami konsep matematika secara sempurna, siswa harus mengkonstruksi sendiri pemahamannya melalui kolaborasi dalam kelompok belajar dan sharing dengan teman sebaya atau teman sekelasnya. Pentingnya kolaborasi (kerjasama dalam kelompok), dijelaskan oleh Johnson (2006:72) "Dengan bekerja sama, para siswa terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah". Pada bagian lain Johnson (2006:164) menjelaskan "Kerja sama dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit"
Uraian di atas menunjukkan suatu cara atau strategi dalam aktivitas pembelajaran agar siswa aktif fisik dan mentalnya dan sekaligus menyenangkan. Selanjutnya As'ari (2006:21) menjelaskan, agar siswa aktif, hendaknya (a) guru bersahabat dan bersikap terbuka, (b) guru mengajukan pertanyaan yang mengundang banyak jawaban siswa (c) guru memberikan umpan balik yang meningkatkan harga diri positif siswa, (d) guru merespon dan menghargai semua pendapat siswa, dan (e) guru secara aktif memfasilitasi siswa. Agar siswa kreatif, maka (a) guru menciptakan lingkungan belajar yang kreatif, (b) guru meminta siswa untuk menghasilkan karya atau menuangkan kreativitas, dan (c) guru menghargai dan memamerkan hasil karya semua siswa. Agar pembelajaran efektif, hendaknya (a) guru memperhatikan efisiensi waktu, (b) guru mengakomodasi gaya belajar audio, visual dan kinestetik, (c) guru memberikan tugas-tugas dengan panduan yang jelas, (d) guru memanfaatkan sumber belajar dan media pembelajaran dengan tepat, (e) guru mengelola kelas dengan baik, dan (f) kelas memiliki aturan main dan kesepakatan. Agar pembelajaran menyenangkan, maka (a) guru tampil dengan semangat, antusias dan gembira, (b) guru menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, dan (c) pembelajaran menyertakan humor.
Khusus mengenai berfikir kreatif, menurut Johnson (2006: 214 – 215) adalah sebuah kebiasaan dari fikiran yang dilatih dengan mengikut sertakan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Berfikir kreatif merupakan aktifitas mental yang mencakup :
(1) Mengajukan pertanyaan,
(2) Mempertimbangkan informasi dan ide baru dengan cara yang luwes,
(3) Menemukan keterkaitan khususnya antara pendapat-pendapat yang berbeda,
(4) Mengaitkan berbagai hal dengan bebas,
(5) Menerapkan imaginasi pada semua situasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda, dan
(6) Mendengarkan instuisi.

Dalam pelaksanaan pembelajaran yang PAKEM, guru perlu memperhatikan hal-hal berikut (Depdiknas, 2004: 15) :
(1) Memahami sifat siswa,
(2) Mengenal siswa secara individual,
(3) Memanfaatkan prilaku siswa dalam pengorganisasian belajar,
(4) Mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah,
(5) Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik,
(6) Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber balajar,
(7) Memberikan feedback yang adil, dan
(8) Membedakan antara keaktifan fisik dan mental.




B. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARANNYA
Kurikulum KTSP menempatkan materi operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat di SD kelas IV semester 2, dan pengembangannya dilanjutkan di kelas V dan VI, dengan Standar Kompetensi (SK) nya sebagai berikut.
(1) Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat
(2) Melakukan operasi hitung bilangan bulat dalam pemecahan masalah
Berikut ini disajikan contoh langkah kegiatan inti***) pembelajaran bilangan bulat yang prakteknya dilaksanakan oleh siswa dengan bimbingan guru.

1. Penjumlahan

(a) Andaikan yang akan dijumlahkan adalah 7 + (- 9) = . . .
Semua siswa secara individual atau kelompok mempraktekkan seperti yang dilakukan (diperagakan) guru di depan kelas.

 Semua siswa meletakkan 7 lembar karton persegi putih di atas mejanya masing-masing, dilanjutkan dengan meletakkan 9 lembar karton merah di sampingnya.







 Semua siswa menindih karton persegi positif dengan karton persegi negatif sebagai berikut.





Gambar 6


Kepada siswa sudah dijelaskan sebelumnya bahwa yang ditindih nilainya nol. Ternyata yang tidak tertindih ada dua karton merah, sehingga nilainya – 2. Dengan demikian 7+(- 9) = -2.
(b) Hitunglah - 3 + 8 = . . .
Semua siswa secara individual atau kelompok mempraktekkan seperti yang dilakukan (diperagakan) guru di depan kelas.

 Semua siswa meletakkan 3 lembar karton persegi merah di atas mejanya masing-masing, dilanjutkan dengan meletakkan 8 lembar karton putih di sampingnya.







Gambar 7
 Semua siswa menindih karton persegi positif dengan karton persegi negatif sebagai berikut.





Gambar 8

Kepada siswa sudah dijelaskan sebelumnya bahwa yang ditindih nilainya nol. Ternyata yang tidak tertindih ada lima karton persegi putih, sehingga nilainya 5. Dengan demikian -3+8 = 5.

2. Pengurangan

Pengurangan dijelaskan dengan dua cara. Cara pertama dengan cara mengambil karton persegi (positif atau negatif, sesuai dengan soal), dan cara kedua dengan cara menambah dengan lawan (invers aditif) bilangan yang dikurangi. Invers aditif bilangan bulat harus sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu :
1 inversnya – 1, dan 1 + (– 1) = 0
10 inversnya – 10, dan 10 + (– 10) = 0
– 20 inversnya 20, dan – 20 + 20 = 0
0 tidak mempunyai invers.

Contoh.
(a) Hitunglah – 5 – (– 4) = . . .
Semua siswa secara individual atau kelompok mempraktekkan seperti yang dilakukan (diperagakan) guru di depan kelas.

 Semua siswa meletakkan 5 lembar karton persegi merah di atas mejanya masing-masing.




Gambar 9




 Semua siswa mengambil empat lembar karton persegi negatif (karena dikurang dengan –4) sebagai berikut.





Yang di bawah ini karton yang diambil di atas dan dipindahkan ketempat lain.





Gambar 10

Ternyata yang tinggal (sisa) satu karton merah. Sehingga – 5 – (– 4) = – 1.

(b) Hitunglah 3 – (– 6) = . . .

 Semua siswa meletakkan 3 lembar karton persegi putih di atas mejanya masing-masing, kemudian siswa diminta mengambil 6 karton negatif.




Gambar 11

 Karena tidak ada karton negatif yang akan diambil, harus disediakan 6 pasangan karton (karton positif dan negatif yang ditindih, sebanyak yang akan diambil/dalam kurung), sebagai berikut.









Gambar 12

 Semua siswa mengambil 6 lembar karton persegi negatif, sehingga yang tertinggal (sisanya) sebagai berikut.











Gambar 13

Ternyata yang tinggal (sisa) sembilan karton putih. Sehingga 3 – (– 6) = 9.

(c) Hitunglah – 2 – (– 7) = . . .

 Semua siswa meletakkan 2 lembar karton persegi merah di atas mejanya masing-masing, kemudian siswa diminta mengambil 7 karton merah.



Gambar 14

 Karena tidak cukup karton merah yang akan diambil, harus disediakan 7 pasangan karton (karton positif dan negatif yang ditindih, sebanyak yang akan diambil/dalam kurung), sebagai berikut.








Gambar 15

 Semua siswa mengambil 7 lembar karton persegi negatif, sehingga yang tertinggal (sisanya) sebagai berikut.





Gambar 16

Ternyata yang tinggal (sisa) nya 5 lembar karton putih, dan dua pasangan yang tertindih. Karena yang tertindih nilainya nol, maka nilai setelah proses pengambilan adalah 5. Sehingga – 2 – (– 7) = 5.




3. Perkalian
Siswa dapat menemukan sendiri melalui praktek hasil perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif (semua siswa mempraktekkannya dengan bimbingan guru).






(a) (b) (c)




(d)
Gambar 17
Susunan karton pada gambar 17(a) menunjukkan 2 x (– 1) dan ternyata nilainya – 2; susunan karton pada gambar 17(b) menunjukkan 2 x (– 2) dan ternyata nilainya – 4; susunan karton pada gambar 17(c) menunjukkan 2 x (– 3) dan ternyata nilainya – 6; dan susunan karton pada gambar 17(d) menunjukkan 2 x (– 4) dan ternyata nilainya – 8. Dari percobaan di atas diperoleh sebagai berikut.
2 x (– 1) = – 2
2 x (– 2) = – 4
2 x (– 3) = – 6
2 x (– 4) = – 8
Jadi, bilangan bulat positif dikali dengan bilangan bulat negatif, hasilnya bilangan bulat negatif.
De Walle (1990 : 350) memberi makna tentang perkalian bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat positif dengan istilah "mengambil yang positif dari nol". -2 x 2 berarti ambil 2 duaan yang positif dari nol; -2 x 3 berarti ambil 2 tigaan yang positif dari nol.










(a)



(b)
Gambar 18

Susunan karton di atas keduanya bernilai nol. Pada gambar 18(a), ambil 2 duaan yang positif sehingga hasilnya seperti gambar 19(a) yaitu – 4; dan pada gambar 19(b) ambil 3 duaan yang positif sehingga hasilnya seperti ganbar 19(b) yaitu – 6.







(a)


(b)
Gambar 19

Dengan cara yang sama untuk - 3 x 4, ambillah 3 buah empatan yang positif, sehingga hasilnya – 12, seperti pada gambar 20









Hasil -3 x 4 setelah diambil
3 buah empatan yang positif.


Gambar 20

Percobaan di atas yang dilaksanakan oleh siswa dengan bimbingan guru, dapat ditulis kembali sebagai berikut.
- 2 x 2 = - 4
- 2 x 3 = - 6
- 3 x 4 = - 12, dst
Nampak bahwa bilangan bulat negatif dikali dengan bilangan bulat positif hasilnya bilangan bulat negatif.
Makna perkalian bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif adalah "mengambil yang negatif dari nol". -2 x -2 berarti ambil 2 duaan yang negatif dari nol; -2 x -3 berarti ambil 2 tigaan yang negatif dari nol.












(a)



(b)
Gambar 21

Pada gambar 21(a), ambil 2 duaan yang negatif sehingga hasilnya seperti gambar 22(a) yaitu 4; dan pada gambar 21(b) ambil 3 duaan yang negatif sehingga hasilnya seperti ganbar 22(b) yaitu 6.






(a)


(b)
Gambar 22

Dengan cara yang sama untuk - 3 x -4, ambillah 3 buah empatan yang negatif, sehingga hasilnya 12, seperti pada gambar 23.









Hasil -3 x -4 setelah diambil 3 buah empatan yang negatif.
Gambar 23
Percobaan di atas yang dilaksanakan oleh siswa dengan bimbingan guru, dapat ditulis kembali sebagai berikut.
- 2 x -2 = 4
- 2 x -3 = 6
- 3 x -4 = 12, dst
Nampak bahwa bilangan bulat negatif dikali dengan bilangan bulat negatif hasilnya bilangan bulat positif.
Sekarang perhatikan pola perkalian berikut.
4 x –2 = – 8
3 x –2 = – 6
2 x –2 = – 4
1 x –2 = – 2
Hasilnya selalu ditambah dengan –2, sehingga kalau polanya diteruskan lagi diperoleh :
4 x –2 = – 8
3 x –2 = – 6
2 x –2 = – 4
1 x –2 = – 2
0 x –2 = 0
–1 x –2 = 2
–2 x –2 = 4
–3 x –2 = 6
......................
......................
Pola di atas menunjukkan juga bahwa bilangan bulat negatif dikali dengan bilangan bulat negatif hasilnya bilangan bulat positif.

4. Pembagian
Pembagian dapat dipandang sebagi kebalikan dari perkalian. Misalnya :
4 x 2 = 8, dapat ditulis 8 : 2 = 4.
- 4 x 2 = - 8, dapat ditulis (-8) : 2 = - 4.
4 x (-2) = - 8, dapat ditulis (-8) : (-2) = 4.
- 4 x (-2) = 8, dapat ditulis 8 : (-2) = - 4.
Dari contoh-contoh tersebut dan pola perkalian di atas, diharapkan siswa dapat mengambil kesimpulan tentang pembagian dua bilangan bulat.
Untuk mendisain pembelajaran yang PAKEM yang memenuhi hakekat PAKEM seperti disebutkan di atas, perlu persiapan media dan sumber belajar serta asesmennya.
Ada beberapa hal yang perlu diperiksa pencapaiannya, yaitu:
1. Cara menggunakan benda kongkret dalam proses operasi bilangan bulat.
2. Kreativitas dalam aktivitas dalam penggunaan benda kongkret, dan
3. Strategi menggunakan benda kongkret untuk menerapkan sifat operasi bilangan bulat dalam komputasi mental.

III. PENUTUP

A. Simpulan
Dengan mengimplementasikan pendekatan PAKEM, guru memberikan kesempatan kepada siswa dengan pelaksanaannya berbentuk acted-out mathematics yang memungkinkan siswa berpartisipasi dan bekerja sehingga dapat mengembangkan ide-ide matematika, dan akhirnya diharapkan mereka menemukan konsep perkalian bilangan bulat.

B. Saran
Berdasarkan uraian dan simpulan di atas, diajukan beberapa saran berikut.
(1) Pendekatan pembelajaran matematika secara konvensional yang menuntut siswa menghafal aksioma, definisi, teorema, serta prosedur penggunaan teorema tersebut, sudah saatnya diminimalkan, dan diganti dengan strategi dan pendekatan yang dapat mengarahkan siswa menjadi aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
(2) Pembelajaran operasi bilangan bulat dapat dilaksanakan dalam bentuk acted-out mathematics dengan menggunakan benda kongkret (misalnya karton persegi dengan dua warna merah dan putih), sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan (re-invent) konsepnya melalui praktek (do-it). Untuk ini, diharapkan para guru SD dapat melaksanakan pembelajarannya melalui pendekatan PAKEM.



DAFTAR RUJUKAN

As'ari, A. R. 2006. Hand Out Workshop PAKEM (tidak diterbitkan)

Depdiknas. 2004. "Hakekat Kurikulum, Pengembangan Silabi, dan Rencana Pembelajaran", dalam Materi Pelatihan Terintegrasi, Buku Matematika 3. Jakarta

Depdiknas. 2004. "Model-Model Pembelajaran Matematika", dalam Materi Pelatihan Terintegrasi, Buku Matematika 3. Jakarta

De Walle, John A. Van. Elementary School Mathematics : Teaching Developmentally. New York: Longman

Johnson, Elaine B. 2006. Contextual Teaching and Learning : What It Is and Why It's Here to Stay. California : Corwin Press, Inc.

Reys, Robert E., et. al. 1998. Helping Children Learn Mathematics. Boston, dll : Allyn and Bacon






PENGGUNAAN METAFORA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh:
Asep Sapa’at*
Maulana*
*Trainer Pendidikan Makmal
Lembaga Pengembangan Insani
Dompet Dhuafa Republika
*Dosen Matematika UPI Bandung

Abstrak
Kecenderungan yang selama ini terjadi dalam pembelajaran matematika, yaitu komunikasi satu arah, fokus kegiatan hanya pada pemberian materi dan latihan, dapat menyebabkan pembelajaran matematika menjadi kurang bermakna dan kurang pula dimaknai. Oleh karena itu, perlu adanya upaya strategis untuk menyikapi pelaksanaan pembelajaran matematika yang “kurang sehat” tersebut, agar lebih bermakna, lebih menyenangkan, dan
adanya kesempatan yang sangat luas bagi siswa dalam memaknai konten matematika itu sendiri. Metafora adalah salah satu alternatif solusi pembelajaran matematika untuk meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam belajar matematika, sehingga diharapkan pemaknaan siswa terhadap proses pembelajaran matematika pun terjadi dengan lebih baik.
Penelitian yang dipaparkan dalam makalah ini, bertujuan untuk menganalisis penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika, dan untuk mengetahui respons siswa terhadap penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika. 122 orang siswa dijadikan subjek dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah meningkatnya minat dan motivasi siswa dalam belajar matematika dengan menggunakan metafora, serta siswa mendapatkan ilmu baru mengenai makna dari hakikat kehidupan yang sama penting atau bahkan lebih penting dari konten matematika itu sendiri.
Kata kunci: Metafora

Pendahuluan
Tampaknya kita tidak bisa memungkiri sebuah ungkapan “Matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan seseorang”. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut Ruseffendi (1991), sehingga salah satu tugas pengajar adalah mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Ironisnya, matematika masih merupakan salah satu bidang studi yang sulit dan anggapan bahwa matematika tidak disenangi atau bahkan paling dibenci, masih saja melekat pada kebanyakan siswa yang mempelajarinya (Ruseffendi, 1984). Hal seperti ini tentu saja menjadi masalah yang perlu dibenahi.
Guru sebagai pengajar mata pelajaran matematika di sekolah, tentu saja tidak bisa dipersalahkan secara sepihak jika masih ada siswa yang bersikap negatif terhadap matematika. Karena pada dasarnya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, baik dari dalam diri siswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor dari luar. Ruseffendi (1991: 9) mengemukakan bahwa sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar antara lain sebagai berikut: (1) kecerdasan, (2) kesiapan belajar, (3) bakat, (4) kemauan belajar, (5) minat, (6) cara penyajian materi pembelajaran, (7) pribadi dan sikap pengajar, (8) suasana pengajaran, (9) kompetensi pengajar, dan (10) kondisi masyarakat luas.
Kesepuluh poin tersebut menjelaskan bahwa cara penyajian materi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus menjadi penentu keberhasilan belajar siswa. Apakah materi yang disajikan membuat siswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi tersebut. Ataukah justru cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap matematika? Sejalan dengan pemikiran Syah (1995) bahwa kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Mari kita tengok sejenak mengenai pembelajaran matematika yang selama ini biasa terjadi. Sudah menjadi hal yang lazim, jika seorang guru dalam memberi materi pelajaran tanpa banyak basa-basi. Sepanjang waktu yang digunakan dalam kelas, semuanya dipenuhi dengan pemberian materi dan latihan saja. Sejak jam pembelajaran dimulai, siswa diharuskan untuk mengkonsumsi materi pembelajaran matematika tanpa adanya kesempatan mengelak. Tak ada kesempatan untuk mempelajari hal-hal lain yang sama penting, atau bahkan jauh lebih penting daripada konten matematika itu sendiri. Bisa jadi, inilah yang menyebabkan munculnya persepsi bahwa matematika itu ‘menyeramkan’. Terlebih lagi jika penyampaian materinya sangat kaku dan membosankan.
Masalah di atas itu perlu kiranya dicarikan solusinya. Bagaimana seorang pengajar mampu menghilangkan citra buruk matematika di benak siswanya, dan tentu akan lebih baik lagi jika akhirnya nanti, perasaan cinta dan butuh terhadap matematika/pembelajaran matematika benar-benar telah tumbuh berkembang dalam jiwa setiap siswanya.
Salah satu alternatif penyajian materi pembelajaran adalah dengan menggunakan metafora. Baik di awal, pertengahan, ataupun di akhir pembelajaran, dengan tujuan untuk mendongkrak minat dan motivasi siswa sebagai pembelajar. Metafora yang dimaksud adalah memaparkan cerita tentang hakikat kesuksesan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, simulasi, ataupun kisah-kisah berbagai orang sukses dalam hidupnya, serta legenda-legenda lainnya. Diharapkan nantinya, setelah pembelajaran selesai, setiap siswa sebagai pembelajar memiliki wawasan lebih tentang kehidupan nyata yang akan mereka songsong, sehingga motivasi mereka untuk lebih sungguh-sungguh belajar dapat ditingkatkan.
Dari uraian di atas, sangat menarik dan perlu untuk dilakukan suatu studi mengenai penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika, sehingga nantinya dapat pula dilihat sejauh mana pengaruh penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika terhadap peningkatan kualitas pembelajaran sehingga motivasi belajar siswa dapat ditingkatkan.

Motivasi Belajar
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme – baik manusia ataupun hewan – yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988, dalam Syah, 1995: 136).
Nasution (1992) mengungkapkan pengertian motivasi belajar, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Sedangkan Nurhayati (1999, dalam Maulana, 2002a) berpendapat bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan atau usaha untuk menciptakan situasi, kondisi, dan aktivitas belajar, karena didorong adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan belajar.
Dari beberapa pendapat di muka, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi dapat dijadikan sebagai dasar penafsiran, penjelasan, dan penaksiran perilaku. Adanya motivasi karena seseorang merasakan adanya dorongan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu.
Motivasi menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Motivasi menjadi salah satu faktor yang turut menentukan belajar yang efektif dan menentukan hasil belajar yang lebih baik. Motivasi tidak dapat diabaikan di dalam kegiatan belajar mengajar, karena tanpa adanya motivasi suatu kegiatan belajar mengajar kurang berhasil. Sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan memberi rangsangan atau dorongan kepada siswa. Motivasi yang diberikan oleh guru merupakan faktor yang dapat menumbuhkan semangat siswa dalam mencapai tujuan belajarnya.

Metafora dalam Proses Pembelajaran
Penggunaan metafora dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu kemampuan menciptakan minat dan meningkatkan motivasi belajar para siswa. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa ahli yang telah lama berkecimpung dalam penelitian tentang kinerja otak.
Penyajian materi dengan metafora dalam pembelajaran memiliki peranan penting untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa, karena penyajian metafora membawa siswa ke dalam suasana yang penuh kegembiraan dan keharuan, sehingga menciptakan kegembiraan serta pemaknaan dalam proses belajar selanjutnya (DePorter, Reardon, dan Nourie, 2000: 14). Seperti pernyataan Caine dan Caine (1997: 124, dalam DePorter, dkk, 2000: 21), “Perasaan dan sikap siswa akan berpengaruh sangat kuat terhadap proses belajarnya”. Hal ini senada dengan ungkapan Goleman (1995: 28) seperti yang dikutip oleh DePorter dkk (2000: 22), “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Sedangkan seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya (Howard Gardner, 1995, dalam DePorter, dkk, 2000: 23).
Sebenarnya sangat banyak metafora yang dapat digunakan atau disampaikan dalam setiap pembelajaran. Misalnya: (1) bercerita dengan menggunakan perumpamaan untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya pembelajaran tersebut, (2) bercerita dengan perumpamaan, bahwa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan pada hakikatnya adalah diri sendiri, (3) memberikan penjelasan bagaimana kiat meraih sukses dalam pembelajaran dan kehidupan, (4) menyajikan paparan bahwa orang belajar harus siap keluar dari zona nyaman, (5) mendiskusikan mengapa hingga saat ini kualitas pendidikan Indonesia masih terpuruk, (6) mengisahkan tentang beberapa tokoh terkenal seperti Albert Einstein, J.K. Rowling, Syaikh Ahmad Yassin, Jacky Chan, David Beckham, Michael Jordan, Thomas Alva Edison, Jalaluddin Rumy, Umar Khayyam, Iwan Fals, dan sebagainya, atau (7) memberikan beberapa nasihat dan tips-tips untuk meraih keberhasilan.

Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan (Desember-Januari 2005) dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan belajar di Sekolah Menengah Pertama di wilayah Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak Propinsi Kepulauan Riau, yang meliputi SMP Negeri 1 Kerinci Kanan, SMP Swadaya, dan SMP Islam Al-Muhajirin. Instrumen yang dikembangkan terdiri dari angket, wawancara, dan jurnal. Instrumen-instrumen tersebut digunakan setelah memperoleh judgement dari pakarnya. Angket yang terdiri dari 20 nomor beserta instrumen lainnya digunakan untuk mengetahui pendapat atau respons siswa mengenai: pembelajaran matematika, tugas-tugas dalam pembelajaran, peran pengajar, keunggulan dan kelemahan penggunaan metafora, serta perubahan tingkat motivasi belajar siswa.
Untuk memudahkan dalam melakukan interpretasi, digunakan kategori persentase berdasarkan Kuntjaraningrat (Maulana, 2002b) sebagai berikut:

Tabel: Klasifikasi Interpretasi
Besar Persentase Interpretasi
0% Tidak ada
1% - 25% Sebagian kecil
26% - 49% Hampir setengahnya
50% Setengahnya
51% - 75% Sebagian besar
76% - 99% Hampir seluruhnya
100% Seluruhnya

Hasil dan Diskusi
Hasil yang diperoleh dari angket, menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa (94,3%) tertarik dengan pembelajaran matematika yang di dalamnya disajikan metafora, sehingga pembelajarannya lebih menyenangkan, tidak membosankan, membuat siswa lebih rileks dalam mengikuti pembelajaran, dan siswa mendapat ilmu baru serta inspirasi untuk lebih giat lagi belajar agar menjadi orang sukses. Sebagian kecil (5,7%) menyatakan pembelajarannya biasa saja, karena mereka beranggapan bahwa dalam pembelajaran tidak perlu ada cerita atau kisah sukses, cukup hanya dengan pemberian materi pelajaran saja.
Hampir seluruh siswa (95,9%) menyatakan persetujuannya bahwa pemberian metafora bermanfaat bagi mereka (31,1% sangat setuju, dan 64,8% setuju). Dari semua alasan yang terangkum, intinya adalah bahwa metafora mampu memberikan inspirasi untuk melakukan berbagai hal positif, menjadi cerminan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, membuat situasi pembelajaran menjadi lebih rileks, serta dapat meneladani perjuangan orang-orang yang telah meraih kesuksesan dengan gemilang. Sedangkan 2,5% menyatakan tidak tahu serta 1,6% menyatakan bahwa pemberian metafora tidak bermanfaat bagi mereka.
Dari seluruh siswa yang dijadikan subjek penelitian, terdapat hampir seluruhnya (27,1%) sangat setuju dan (68,9%) setuju bahwa dalam setiap pembelajaran matematika perlu disajikan metafora. Pendapat mereka tentang hal ini didasarkan pada alasan, metafora mambantu membangun pola pikir yang baik, menggantikan ide-ide usang dengan gagasan-gagasan baru; metafora lebih dirasakan manfaatnya secara langsung, karena lebih nyata, dan diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari; dan metafora dapat menghilangkan ketegangan dan kejenuhan.
Hampir seluruh siswa (87,7%) menyatakan bahwa pemberian metafora telah mampu meningkatkan motivasi belajarnya. Mereka beralasan bahwa metafora dapat dijadikan teladan, membangkitkan keinginan untuk belajar lebih giat, serta penyampaian kisah beberapa tokoh yang sukses dalam hidupnya telah menginspirasi siswa untuk bisa seperti tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan 12,3% siswa menyatakan biasa saja dalam hal pemberian metafora oleh guru dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar.
Sebanyak 69,7% (sebagian besar) siswa mengungkapkan bahwa pemberian metafora sangat memperkaya wawasan, karena sedikit demi sedikit siswa dibantu untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, terlebih lagi metafora menyediakan berbagai pengalaman baru yang kaya manfaat. Sedangkan sebagian kecilnya (25,4%) menyatakan metafora cukup memperkaya wawasannya.
Sangat banyak pesan moral yang terkandung dalam metafora yang telah memotivasi siswa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, diungkapkan oleh hampir seluruh siswa (88,5%). Sedangkan sebagian kecilnya (10,7%) merasa pesan moral yang terkandung dalam metafora masih sedikit, karena waktu penyampaian metafora pun masih sangat singkat. Hal ini menandakan bahwa siswa memiliki harapan untuk memperoleh metafora dalam waktu yang lebih banyak.
Terdapat 56,6% siswa yang sangat setuju dan 37,7% setuju, bahwa metafora mampu membuat mereka semakin menyadari hakikat dan kegunaan belajar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat lebih memahami bahwa untuk meraih sukses diperlukan kerja yang ekstra keras, serta tidak mudah menyerah.
Hampir seluruh siswa (95,1%) memaparkan bahwa pemberian metafora tidak mengganggu proses pembelajaran. Justru dengan metafora-lah kejenuhan mereka bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. Adanya metafora tidak banyak menyita waktu belajar, karena disampaikan dalam waktu yang singkat, sekitar 5-10 menit saja. Siswa berpendapat bahwa metafora merupakan penyegar dan penyemangat dalam belajar, serta ilmu yang penting untuk diketahui dan diajarkan.
Pemberian metafora secara tidak langsung telah menumbuhkan sikap kreatif dan kritis sebagian besar siswa (93,5%). Menurut mereka, metafora membantu mereka untuk selalu berpikiran positif, optimis. Siswa tertarik untuk ikut memikirkan solusi dari permasalahan yang dimunculkan lewat metafora. Metafora meningkatkan rasa ingin tahu, terutama tips yang disajikan membuatnya merasa penasaran untuk ikut mencoba. Namun masih terdapat sebagian kecil (3,3%) yang ragu-ragu mengenai apakah metafora mampu menumbuhkan sikap kreatif dan kritis, dengan alasan bahwa bagi mereka memang sulit untuk berubah menjadi kreatif dan kiritis. Dalam hal ini terdapat pula 3,2% siswa yang tidak setuju, karena mereka lebih suka ‘menunggu untuk diberitahu’, dan bukannya mencoba ‘menemukan sesuatu’.
Sebanyak 97,6% (hampir seluruh) siswa menyatakan persetujuannya—48,4% sangat setuju dan 49,2% setuju—agar selalu disisipi metafora di dalam setiap pembelajaran, baik mata pelajaran matematika maupun bukan matematika. Sisanya sebanyak 0,8% menyatakan tidak tahu dan 1,6% menyatakan tidak perlu semua mata pelajaran lain selain matematika disisipkan metafora.
Beralih pada penampilan pengajar, hampir seluruh siswa (98,4%) menyebutkan bahwa penampilan pengajar dalam memberikan metafora akan membuatnya lebih menarik untuk disimak, karena dengan cara seperti itu si pengajar terkesan lebih terbuka dan bersahabat. Di samping itu, sebagian kecilnya (1,6%) mengungkapkan bahwa pengajar telah cukup memfasilitasi siswa untuk lebih mudah memahami materi pembelajaran. Dengan disajikannya metafora oleh pengajar pada setiap pembelajaran matematika, hampir seluruh siswa (87,7%) merasakan bahwa pembelajaran seperti itu sangat menarik karena pengajarnya komunikatif. Suasana pembelajaran tidak monoton, lebih terbuka, dan lebih bersifat diskursif.
Hampir seluruh siswa (91,8%) menyatakan bahwa dengan diberikannya metafora dalam pembelajaran, pengajar telah melakukan perannya sebagai pembimbing dengan sangat baik. Metafora yang diberikan membantu siswa untuk lebih memahami dan memaknai hakikat kehidupan, tidak hanya sekadar bergumul dengan materi pembelajaran. Metafora dirasakan siswa sebagai nasihat dan dorongan untuk belajar, kiat-kiat untuk sukses dalam menjalani pembelajaran, terlebih lagi untuk sukses dalam kehidupan secara umum. Metafora pun bagi siswa dirasakan sebagai pedoman, kompas, atau pemandu arah dalam menjalani keseharian.
Dari hasil wawancara dan jurnal yang dibuat siswa di akhir pembelajaran, diperoleh gambaran bahwa matematika merupakan hal yang menakutkan bagi siswa pada umumnya. Akan tetapi, karena penyampaian materi pembelajarannya begitu menarik dan menyenangkan, yang di dalamnya selalu disisipkan metafora, membuat siswa sangat tertarik pada mata pelajaran matematika. Metafora yang disajikan memberikan banyak nilai tambah dalam pembelajaran matematika. Tidak hanya lebih memahami materi, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bisa lebih memaknai kehidupan.
Pemicu kebosanan dalam pembelajaran biasanya karena siswa hanya duduk, mendengar, mencatat, yang melulu memuat materi yang sulit dipahami. Terlebih lagi jika pengajar menyampaikan materi tersebut dengan gaya tidak menyenangkan. Perilaku guru di kelas, baik itu ekspresi wajah, gaya bicara, maupun bahasa tubuh lainnya, memiliki pengaruh terhadap perasaan siswa yang berada di hadapannya. Menghadapi guru yang demikian, siswa menjadi tertekan, mood untuk belajar berkurang, dan muncullah kejenuhan. Padahal yang diinginkan siswa adalah bentuk pembelajaran yang segar, santai tetapi serius.
Dengan adanya metafora, siswa berpendapat bahwa suasana pembelajaran menjadi lebih rileks-siaga, tidak menjenuhkan, sehingga minat untuk belajar semakin meningkat. Siswa berpandangan bahwa metafora dapat menjadi pemicu pengembangan diri, dan itulah yang mereka anggap lebih penting daripada sekadar materi pembelajaran matematika. Metafora menjadi sesuatu yang sangat membuat mereka penasaran dan selalu ditunggu-tunggu keberadaannya. Bagi siswa, metafora telah menjadi pedoman, inspirasi, dorongan, dan penyemangat dalam menjalani hidup.

Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis data dan pembahasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa matematika memang masih merupakan hal yang menakutkan, yang pada umumnya tidak disukai oleh siswa SMP Negeri 1 Kerinci Kanan, SMP Swadaya, dan SMP Islam Al-Muhajirin. Dan salah satu pemicu munculnya anggapan buruk tentang matematika ini adalah penyajian materinya yang memang membosankan. Sejak awal jam pembelajaran, siswa hanya dijejali materi dan latihan tanpa sisipan lain yang menyenangkan. Padahal yang diinginkan siswa adalah pembelajaran yang rileks-siaga, penuh makna, penuh penyegaran, suasana yang menyenangkan, dan tentu saja memudahkan untuk memahami materi pembelajaran.
Dari hasil yang diperoleh dalam studi ini, dipandang perlu adanya pemikiran ulang mengenai kebiasaan para pengajar—khususnya guru matematika—dalam menyampaikan materi pembelajarannya. Apakah selama ini melupakan betapa pentingnya metafora, atau sengaja tidak memberikan metafora karena merasa tidak perlu, atau memang karena tidak punya bahan untuk diceritakan di depan kelas?
Dengan memperhatikan hasil studi di atas, diharapkan ke depannya para pengajar matematika menjadikan metafora sebagai alternatif untuk menggugah semangat siswa untuk lebih giat belajar matematika, sehingga pada gilirannya nanti citra buruk matematika yang melekat di benak siswa dapat berubah ke arah yang jauh lebih baik. Dari perasaan benci, berganti menjadi suka. Dari perasaan bosan, berubah menjadi berminat. Dari menjenuhkan, menjadi menyenangkan. Dari perasaan tak butuh, setahap demi setahap menjadi penasaran, berkeinginan, membutuhkan. Seorang pengajar yang baik tidak hanya bisa menjelaskan dan mendemonstrasikan materi pembelajaran, akan tetapi dia mampu menginspirasi para siswanya. Good teacher explains, superior teacher demonstrates, excellent teacher inspires.

Daftar Pustaka

DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; dan Nourie, Sarah Singer. 2000. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligences. New York: Bantam Books.
Maulana. 2002a. Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Media Komik untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Tidak dipublikasikan.
Maulana. 2002b. Peranan Lembar Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Aritmetika Sosial Berdasarkan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peranan Matematika dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Menghadapi Era Industri dan Informasi, ISSN: 1693-0800, UPI Bandung, 23 Januari 2002.
Nasution, N. 1992. Psikologi Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
Ruseffendi, E.T. 1984. Dasar-dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada Guru: Membantu Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.




TAKSONOMI BLOOM DAN SOLO UNTUK MENENTUKAN KUALITAS RESPON SISWA TERHADAP MASALAH MATEMATIKA

Oleh,
Drs. ASEP SAEPUL HAMDANI, M.Pd.
(Dosen Program Studi Pendidikan Matematika IAIN Sunan Ampel Surabaya)


ABSTRAK

Panduan untuk merumuskan tujuan pembelajaran yang tepat merupakan hal penting yang diperlukan para praktisi pendidikan. Untuk keperluan tersebut beberapa pakar mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam suatu model yang disebut taksonomi. Beberapa model taksonomi tujuan pendidikan diantaranya adalah, taksonomi Bloom, taksonomi Bloom Berdimensi Dua (Anderson, et al., 2001), dan Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes). Taksonomi Bloom merupakan
satu-satunya model taksonomi yang dipakai dalam sistem pendidikan di Indonesia. Taksonomi Bloom mengklasifikasikan tujuan pendidikan pada ranah kognitif menjadi enam kategori, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Taksonomi SOLO mengklasifikasikan kemampuan respon siswa terhadap masalah menjadi lima level berbeda dan bersifat hirarkis yaitu, prastruktural, unistruktural, multistruktural, relasional, dan extended abstract. Kedua model taksonomi tersebut dapat digabungkan menjadi satu model taksonomi baru berdimensi dua. Dimensi pertama adalah “masalah matematika” yang disusun berdasar pada tekasonomi Bloom, sedangkan dimensi kedua adalah “kualitas respon siswa terhadap masalah matematika”. Sehingga dapat ditentukan karakteristik respon siswa pada setiap level taksonomi SOLO terhadap masalah matematika yang disusun berdasarkan setiap level taksonomi Bloom. Penggabungan dua taksonomi tersebut bermanfaat untuk menentukan kualitas jawaban siswa terhadap soal matematika yang berbentuk uraian.

Kata Kunci: Taksonomi Bloom, Taksonomi SOLO, Kualitas Respon Terhadap Masalah Matematika.


LATAR BELAKANG
Panduan untuk merumuskan tujuan pembelajaran merupakan hal penting yang diperlukan para praktisi pendidikan. Untuk keperluan tersebut beberapa pakar mengklasifikasikan tujuan-tujuan pembelajaran dalam suatu model yang disebut taksonomi. Taksonomi berguna sebagai alat untuk menjamin ketelitian dalam komunikasi berkenaan dengan pengorganisasian dan interrelasi, dalam hal ini taksonomi tujuan pendidikan (Bloom et. al, 1979; Tjokrodihardjo, 2001). Beberapa model taksonomi tujuan pendidikan diantaranya adalah, Taksonomi Bloom, Taksonomi Bloom Berdimensi Dua (Anderson, et al., 2001), dan Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) (Biggs & Collis, 1982).
Bloom, Engelhart, Furst, Hill, dan Krathwohl mengklasifikasi tujuan pendidikan pada ranah kognitif menjadi enam kategori, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Bloom et. al., 1979; Arikunto, 2002; Winkel, 1996). Taksonomi ini sering disebut dengan taksonomi Bloom dan menjadi satu-satunya model taksonomi tujuan pembelajaran yang digunakan sebagai acuan mengembangkan tujuan kurikulum dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Selain taksonomi Bloom, terdapat model taksonomi tujuan pembelajaran lain, seperti Taksonomi SOLO. Biggs dan Collis pada tahun 1982 mengembang-kan model taksonomi tujuan pembelajaran yang kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO. Taksonomi SOLO mengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda dan bersifat hirarkis, yaitu level 0: prastruktural (pre-structural), level 1: unistruktural (uni-structural), level 2: multistruktural (multy-structural), level 3: relasional (relational), dan level 4: extended abstract (Biggs dan Collis, 1982). Selanjutnya taksonomi SOLO ini dikembangkan oleh Hartanto (2006) menjadi taksonomi SOLO Plus (TSP) yang levelnya menjadi 7 level yaitu, prastruktural, unistruktural, multistruktural, semirelasional, relasional, abstrak, dan extended abstract.
Berdasarkan uraian di atas, perbedaan model-model taksonomi tujuan pembelajaran tersebut dilandasi oleh cara pandang berbeda dalam melihat tujuan pendidikan. Biggs dan Collis (1982) mendesain taksonomi SOLO sebagai suatu alat evaluasi tentang kualitas respons siswa terhadap suatu tugas. Taksonomi yang digunakan untuk mengukur kemampaun siswa dalam merespon (baca: menjawab) suatu masalah dengan cara membandingkan jawaban benar optimal dengan jawaban yang diberikan siswa. Taksonomi SOLO digunakan untuk mengukur kualitas jawaban siswa terhadap suatu masalah berdasar pada kompleksitas pemahaman atau jawaban siswa terhadap masalah yang diberikan.
Taksonomi Bloom digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa berdasar pada proses kognitif siswa dalam memahami suatu masalah. Pencapaian hasil belajar siswa diukur berdasar pada kemampuan siswa menjawab masalah (instrumen evaluasi) yang sesuai proses kognitif yang akan diukur. Seorang siswa dipandang telah mencapai proses kognitif yang diinginkan apabila telah menjawab dengan benar masalah matematika yang sesuai dengan proses kognitif tersebut. Taksonomi Bloom sering digunakan guru untuk menentukan hasil belajar yang diinginkan, menentukan proses pembelajaran yang akan dilakukan, dan menentukan alat evaluasi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Anderson et. al., 2001).
Taksonomi Bloom berperan dalam menentukan tujuan pembelajaran, kemudian dari tujuan tersebut dapat disusun alat evaluasi (masalah) yang sesuai dengan tujuan tersebut. Sedangkan taksonomi SOLO berperan menentukan kualitas respon siswa terhadap masalah tersebut. Artinya taksonomi SOLO dapat digunakan sebagai alat menentukan kualitas jawaban siswa. Berdasarkan kualitas yang diperoleh dari hasil jawaban siswa, selanjutnya dapat ditentukan kualitas ketercapaian proses kognitif yang ingin diukur oleh alat evaluasi tersebut. Berdasarkan peran yang berbeda ini, kedua model taksonomi seharusnya digunakan bersama-sama sebagai alternatif sistem evaluasi yang saling melengkapi. Selanjutnya dapat dibuat sistem taksonomi baru dua dimensi. Dimensi pertama adalah ”masalah matematika” yang didesain berdasar taksonomi Bloom, sedangkan dimensi kedua adalah ”kualitas respon terhadap masalah” berdasar pada taksonomi SOLO.
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan mendeskripsikan, bagaimana karakteristik kemampuan respon mahasiswa dipandang dari taksonomi SOLO terhadap masalah matematika disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang mengacu pada taksonomi Bloom? Matriks berikut dapat menggambarkan model taksonomi dua dimensi Bloom dan SOLO.
Tabel 1: Penggabungan Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO
Prastruktural Unistruktural Multistruktural Relasional Extended Abstract
Pengetahuan C1-S0 C1-S1 C1-S2 C1-S3 C1-S4
Pemahaman C2-S0 C2-S1 C2-S2 C2-S3 C2-S4
Aplikasi C3-S0 C3-S1 C3-S2 C3-S3 C3-S4
Analisis C4-S0 C4-S1 C4-S2 C4-S3 C4-S4
Sintesis C5-S0 C5-S1 C5-S2 C5-S3 C5-S4
Evaluasi C6-S0 C6-S1 C6-S2 C6-S3 C6-S4
Keterangan,
Ci : Masalah matematika yang mengukur kemampuan kognitif level ke-i, i = 1, 2, ... ,6
Sj : Respon siswa pada level SOLO ke-j, j = 0, 1, ... ,4
Ci-Sj: Karakteristik respon siswa pada setiap level SOLO ke-j terhadap masalah matematika yang mengukur kemampuan kognitif ke-i.

Makalah ini merupakan pemikiran awal untuk mengembangkan sebuah teori baru model taksonomi dua dimensi yang menggabungkan taksonomi Bloom dan taksonomi SOLO. Dari pemikiran awal ini akan dirumuskan karakteristik yang bersifat hipotetik, selanjutnya akan diuji secara empirik dan pada akhirnya akan diperoleh karakteristik yang bersifat valid dan reliabel. Teori ini sedang dikembangkan oleh penulis dalam sebuah penelitian dalam rangka menyelesaikan studi di Program S-3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya.

PEMBAHASAN
Taksonomi
Taksonomi adalah suatu klasifikasi khusus, yang berdasar data penelitian ilmiah mengenai hal-hal yang digolong-golongkan dalam sistematika tertentu (Winkel, 1996: 244; Anderson, et al., 2001). Salah satu klasifikasi khusus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah klasifikasi tujuan-tujuan pembelajaran. Tujuan (objective) pembelajaran menunjukkan apa yang harus dicapai mahasiswa sebagai hasil belajar, yang dituangkan dalam “rumusan eksplisit untuk mengubah performa mahasiswa melalui proses pendidikan”. Tujuan ini sangat penting dalam pembelajaran, sebab pembelajaran merupakan suatu tindakan yang disengaja dan beralasan (Widada, 2003). Tujuan-tujuan pembelajaran ini dapat diklasifikasikan dalam suatu taksonomi, seperti Taksonomi Bloom berdimensi dua (Anderson,et al., 2001), Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) (Biggs & Collis, 1982).
Menurut Anderson, et al. (2001) suatu pernyataan tentang tujuan pembelajaran memuat kata kerja dan kata benda. Kata kerja secara umum dideskripsikan sebagai suatu perubahan perilaku yang diharapkan dalam proses kognitif sebagai dampak dari suatu proses pembelajaran. Sedangkan kata benda secara umum dideskripsikan sebagai pengetahuan mahasiswa yang diharap dapat dikonstruknya. Untuk itu, Taksonomi Bloom yang direvisi adalah Taksonomi Bloom Berdimensi Dua. Dua dimensi tersebut adalah dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Dimensi proses kognitif memuat enam kategori yaitu, ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan menciptakan. Kontinuitas dimensi proses kognitif diasumsikan berdasarkan kompleksitas kognitif; yaitu, pemahaman lebih kompleks secara kognitif dari ingatan, dan seterusnya. Dimensi pengetahuan memuat empat kategori, yaitu pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Kategori ini ditempatkan berdasarkan asumsi bahwa proses kognitif bermula dari konkret (faktual) ke abstrak (metakognitif).

Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom yang dimaksud dalam penelitian ini adalah katego-risasi atau klasifikasi tujuan pendidikan pada ranah kognitif. Kategorisasi ini disusun secara hierarkis, sehingga menjadi tingkatan yang semakin kompleks. Bloom mengklasifikasikan ranah kognitif menjadi enam kategori, pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (appli-cation), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Pengetahuan
Pengetahuan adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, dan prinsip dasar (Wikipedia). Pengetahuan adalah kemampuan memberi bukti bahwa siswa tidak lupa, baik dengan mengingat kembali maupun dengan mengenali lagi beberapa gagasan atau fenomena, karena telah memiliki pengalaman dalam proses pendidikan. Pengetahuan didefinisikan sebagai kemampuan sedikit lebih dari sekedar menghafal gagasan atau fenomena dalam bentuk yang sangat menyamai aslinya. Pengetahuan tentang sesuatu dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, seperti pengetahuan tentang fakta, istilah, urutan, klasifikasi, kriteria, dan metodologi (Tjokrodihardjo, 2001; Bloom, 1979).
Pengetahuan meliputi ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip serta metode yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, dipanggil kembali pada saat dibutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition). Misalnya, dalam bentuk rumusan tujuan pembelajaran khusus adalah seperti berikut, siswa dapat menuliskan definisi lingkaran (Winkel, 1996).
Anderson (2001) menggunakan istilah “mengingat (remember)” sebagai konsep yang sepadan dengan “pengetahuan (knowledge)”. Mengingat adalah kemampuan memperoleh kembali pengetahuan yang releven dari memori jangka panjang. Dua kata yang sepadan dengan kata “mengingat” adalah kata recognizing dan recalling. Recognizing adalah kemampuan menemukan informasi di memori jangka panjang yang relevan dengan informasi tersaji, sedangkan recalling adalah kemampuan untuk memanggil kembali informasi di memori jangka panjang dalam merespon masalah. Demikian juga, Winkel (1996: 245) menyatakan bahwa pengetahuan yang disimpan dalam ingatan digali pada saat dubutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).
Dalam penelitian ini, yang dimaksud pengetahuan adalah kemampuan memperoleh kembali pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang sesuai dengan informasi tersaji, baik berupa fakta, konsep, prinsip, struktur, prosedur, klasifikasi, maupun kategori. Contoh dalam topik bahasan “dimenasi tiga” adalah kemampuan siswa menuliskan kembali definisi dua garis bersilangan dalam ruang.
Pemahaman
Pemahaman adalah kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, dan peraturan (Wikipedia). Sedangkan menurut Winkel (1996:246 ), pemahaman adalah kemampuan menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dapat dilihat dalam bentuk, kemampuan menguaraikan isi pokok dari suatu bahasan, kamampuan mengubah suatu data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk yang lain, seperti rumusan matematika dalam bentuk kata-kata.
Bloom (1979) menyatakan bahwa, seorang siswa dikatakan memiliki pemahaman, apabila dihadapkan pada sesuatu yang harus dikomunikasikan maka dia diperkirakan mengetahui apa yang harus dikomunikasikan dan dapat menggunakan ide yang termuat di dalamnya. Mengkomunikasikan ide tersebut dapat bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan atau dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk simbol. Secara lebih singkat, pemahaman adalah kemampuan mengkomunikasikan ide dalam berbagai macam bentuk komunikasi. Contoh dalam matematika, siswa mampu mengkomunikasikan ”rumus” dalam bentuk verbal.
Anderson (2001) menggunakan istilah (mengerti) understand sebagai padanan kata pemahaman. Understand adalah kemampuan merumuskan makna dari pesan pembelajaran dan mampu mengkomunikasikannya dalam bentuk lisan, tulisan maupun grafik. Kata kerja yang sering disepadankan dengan kata pemahaman adalah menginterpretasikan (interpreting), memberi contoh (exemplifying), mengkalsifikasi (classifying), menyimpul-kan (summarizing), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining). Menginterpretasikan adalah kemampuan mengubah sajian informasi dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Memberi contoh adalah kemampuan memberikan contoh khusus dari suatu konsep atau prinsip. Klasifikasi adalah kemampuan untuk memilah contoh dan yang bukan contoh dari suatu konsep atau prinsip. Menyimpulkan adalah kemampuan untuk menyusun pernyataan tunggal yang mewakili suatu informasi. Membandingkan adalah kemampuan menunjukkan persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek. Menjelaskan adalah kemampuan merumuskan dan menggunakan model sebab akibat sebuah sistem. Siswa yang memiliki kemampuan menjelaskan dapat menggunakan hubungan sebab akibat antar bagian dalam suatu sistem.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pemahaman adalah kemampuan merumuskan makna dari pesan pembelajaran dan mampu mengkomunikasikannya dalam bentuk lisan, tulisan maupun grafik. Contoh dalam matematika, khusunya dalam topik bahasan “dimensi tiga” adalah kemampuan siswa menentukan sudut yang dibentuk oleh garis dan bidang dalam ruang. Dalam contoh ini siswa tidak hanya mampu menentukan sudut dan besar sudut, tetapi berdasarkan definisi sudut antara garis dan bidang mampu menjelaskan alasannya.
Penerapan
Penerapan adalah kemampuan menerapkan suatu konsep, prinsip, dan metode pada suatu masalah yang kongkrit dan baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam penerapan suatu rumus pada masalah yang belum pernah dihadapi atau penerapan suatu metode kerja pada pemecahan masalah baru. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari kemampuan memahami, karena memahami suatu kaidah belum tentu membawa kemampuan untuk menerapkan pada suatu masalah. Misalnya, siswa dapat menghitung jumlah liter cat dan uang yang dibutuhkan untuk untuk mengecat dinding suatu ruangan, apabila kuantitas cat yang dibutuhkan untuk tiap m3 dan harga cat perliter disajikan (Winkel, 1996). Sedangkan Anderson (2001: 77) menyatakan bahwa penerapan adalah kemampuan menggunakan prosedur untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, penerapan selalu berkaitan dengan pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Kategori penerapan sering disepadankan dengan kemampuan melakukan (executing) sesuatu pekerjaan routin, atau sering disepadankan dengan kemampuan menerapkan (implementing) gagasan, prosedur, metode, dan teori dalam kondisi kerja yang tidak routin. Apabila suatu masalah sudah dikenal oleh siswa, maka secara umum sudah diketahui prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, apabila masalah tersebut tidak routin, maka siswa harus mencari prosedur seperti apa yang tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bloom (1979) menyatakan bahwa, penerapan mengikuti kaidah bahwa untuk menerapkan sesuatu membutuhkan pemahaman metode atau prinsip. Seorang guru sering mengatakan bahwa, apabila sesorang siswa betul-betul paham maka dia dapat menggunakan pemahamannya tersebut.
Penerapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan menggunakan gagasan, prosedur, metode, dan teori dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang routin maupun yang tidak routin. Contoh kategori penerapan dalam masalah matematika yang routin adalah kemampuan siswa menyelesaikan persamaan kuadrat x2 + 2x – 3 = 0 dengan cara melengkapkan kuadrat. Contoh kategori penerapan dalam masalah matematika yang tidak routin adalah kemampuan siswa menyelesaikan masalah luas persegipanjang dengan menggunakan konsep persamaan kuadrat.
Analisis
Analisis adalah kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam penganalisaan bagain-bagian pokok atau komponen dasar, bersama hubungan antara bagian-bagian itu. Kemampuan analisis setingkat lebih tinggi dibanding penerapan, karena kemampuan ini menangkap adanya kesamaan dan perbedaan antara sejumlah hal (Winkel, 1996).
Anderson (2001) menyatakan bahwa, analisis meliputi kemampuan untuk memecah suatu kesatuan menjadi bagain-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan satu dengan yang lain atau bagain tersebut dengan keseluruhannya. Kemampuan yang sering disepadankan dengan analisis adalah kemampuan membedakan (differentiating), dan mengorganisasi (organizing). Differentiating meliputi kemampuan membedakan bagian-bagian dari keseluruhan struktur dalam bentuk yang sesuai. Misalkan, ketika seorang siswa membedakan antara ”apel” dan ”jeruk” dalam konteks buah, apabila dilihat dari sisi ”biji”nya tepat dijadikan aspek pembeda, sedangkan apabila dilihat dari sisi ”warna” dan ”bentuk” nya tidak tepat sebagai aspek pembeda. Organizing meliputi kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur secara bersama-sama menjadi struktur yang saling terkait.
Analisis menekankan pada kemampuan merinci sesuatu unsur pokok menjadi bagian-bagian dan melihat hubungan antar bagian tersebut. Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan analisis adalah kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan satu dengan yang lain atau bagain tersebut dengan keseluruhannya. Contoh dalam matematika adalah kemampuan menentukan unsur-unsur dan karakteristik kubus.
Sintesis
Sintesis merupakan kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain, sehingga tercipta suatu bentuk baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam membuat suatu rencana seperti penyusunan satuan pelajaran yang dilakukan guru atau penyusunan proposal penelitian ilmiah, dalam mengembangkan suatu skema dasar sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan tersebut. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari kemampuan analisis, karena dituntut kriteria untuk menemukan pola dan struktur organisasi. Misalnya, siswa dapat merumuskan suatu hipotesis penelitian berdasarkan teori dan kajian data tertentu (Winkel, 1996).
Sintesis satu tingkat di atas analisis, seseorang di tingkat sintesis akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
Evaluasi
Evaluasi didefinisikan sebagai kemampuan melakukan judgement berdasar pada kriteria dan standar tertentu. Kriteria sering digunakan dalam menentukan kualitas, efektifitas, efisiensi, dan konsistensi, sedangkan standar digunakan dalam menentukan kuantitas maupun kualitas.
Evaluasi mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasar kriteria tertentu. Adanya kemampuan ini dinyatakan dengan memberikan penilaian terhadap sesuatu. Misalnya, memberikan penialian tepat tidaknya suatu rumusan tujuan pembelajaran khusus berdasarkan kriteria penyusunan rumusan tujuan pembelajaran khusus. Kemampuan ini merupakan tingkat tertinggi, karena mencakup semua kemampuan mulai dari pengtahuan sampai sintesis (Winkel, 1996). Evaluasi adalah kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.




Taksonomi SOLO
Biggs & Collis (1982) mendesain taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) sebagai suatu alat evaluasi tentang kualitas respons mahasiswa terhadap suatu tugas. Taksonomi tersebut terdiri dari lima level, yaitu prastruktural, unistruktural, multistruktural, relasional, dan extended abstract.
Biggs & Collis (1982) mendeskripsikan setiap level tersebut sebagai berikut. Mahasiswa yang tidak menggunakan data yang terkait dalam menyelesaikan suatu tugas, atau tidak menggunakan data yang tidak terkait yang diberikan secara lengkap dikategorikan pada level prastruktural. Mahasiswa yang dapat menggunakan satu penggal informasi dalam merespons suatu tugas (membentuk suatu data tunggal) dikategorikan pada unistruktural,. Mahasiswa yang dapat menggunakan beberapa penggal informasi tetapi tidak dapat menghubungkannya secara bersama-sama dikategorikan pada level multistruktural. Mahasiswa yang dapat memadukan penggalan-penggalan informasi yang terpisah untuk menghasilkan penyelesaian dari suatu tugas dikategorikan pada level relasional. Mahasiswa yang dapat menghasilkan prinsip umum dari data terpadu yang dapat diterapkan untuk situasi baru (mempelajari konsep tingkat tinggi) dapat dikategorikan pada level extended abstract.
Tugas tidak dikerjakan oleh mahasiswa secara tepat, dia tidak memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugasnya, mahasiswa itu adalah mahasiswa prastruktural. Untuk mahasiwa unistruktural dan multistruktural, dapat mengerjakan tugas dengan menggunakan satu atau lebih aspek yang terkait, namun belum diintegrasikan. Bila aspek-aspek tersebut diintegrasikan secara koheren, maka mahasiswa tersebut tergolong dalam relasional. Jika integrasi tersebut dikonseptualisasi pada level tinggi dengan cara abstraksi dan generalisasi untuk topik atau area baru, maka mahasiswa ini berada dalam level extended abstract.
Menurut Biggs (1999) respons mahasiswa pada level extended abstract dan relasional adalah fase kualitatif. Dalam hal ini, mahasiswa merespons suatu masalah dengan cara mengintegrasikan informasi-informasi yang diberikan dengan menggunakan pola (pattern) struktural. Sedangkan untuk level-level di bawahnya merupakan fase kuantitatif. Mahasiswa dalam hal ini melakukan respons terhadap tugas dengan menggunakan satu atau lebih atau bahkan tidak sama sekali dari informasi-informasi yang diberikan. Bila informasi-informasi tersebut digunakan, dia tidak melakukan penginteg-rasian.
Bila dibandingkan dengan Taksonomi Bloom, maka dapat dideskripsikan sebagai berikut. Indikasi level extended abstract adalah membuat teori, generalisasi, hipotesis, refleksi, dan membangun. Indikasi level relasional adalah membandingkan, menjelaskan (tentang mengapa), memadukan, menganalisis, menghubungkan, dan menerapkan. Indikasi level multistruktural adalah mengklasifikasikan, menghitung, mendes-kripsikan, mendaftar, mengombinasikan, dan mengerjakan suatu algoritma. Indikasi level unistruktural adalah mengidentifikasi, melakukan prosedur sederhana. Indikasi level prastruktural adalah tidak ada poin dalam taksonomi Bloom.
Hawkins & Hedberg (1986) melakukan penelitian tentang evaluasi LOGO (nama software komputer) dengan menggunakan taksonomi SOLO. Deskripsi umum tentang level SOLO untuk keterampilan belajar dengan LOGO adalah sebagai berikut. Mahasiswa yang tidak melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah, dan jenis-jenis perintah yang “diberikan” mahasiswa tidak dipahami oleh komputer dikategorikan pada level prastruktural. Mahasiswa yang dapat menggunakan hanya satu model display, menggunakan hanya satu perintah, dan untuk membersihkan screen monitor dimatikan dan dimulai lagi dikategorikan pada level unistruktural. Mahasiswa yang dapat menggunakan model-model display dengan satu atau lebih perintah, menggunakan model teks dan berusaha membuat program, namun tidak dapat mengedit, bila salah program dihapus dan dimulai lagi dikategorikan pada level multistruktural. Mahasiswa yang dapat menulis program dalam model teks, dan jika terjadi kesalahan, maka dilakukan editing dikategorikan pada level relasional. Mahasiswa yang dapat menulis program dengan model teks, dan mengeditnya bila perlu, serta mampu memasukkan variabel dapat dikategorikan pada level extended abstract.
Dalam penelitian Olive (1991) tentang pemrograman LOGO dan pengertian geometri, diperoleh deskripsi sebagai berikut. Respons mahasiswa prastruktural tidak dapat menggunakan objek secara tepat. Mahasiswa unistruktural menggunakan satu objek. Mahasiswa multistruktural menggunakan objek-objek yang dikombinasikan dengan objek lainnya atau perintah pada suatu prosedur, tetapi objek tersebut tidak direlasikan secara tepat. Mahasiswa realtional dapat menghubungkan objek-objek secara bersama-sama dalam suatu urutan penyelesaian tugas. Operasi relasi terkait dengan tugas dan struktur objek. Objek LOGO digunakan untuk membangun blok. Mahasiswa extended abstract dapat merelasikan objek-objek secara bersama-sama untuk memciptakan objek baru yang lebih umum, lebih abstrak dari bagiannya; atau suatu prosedur digeneralisasi secara efektif untuk menciptakan objek khusus dalam struktur tersebut.
Level Prastruktural
Mahasiswa yang merespons suatu tugas dengan menggunakan pendekatan yang tidak konsisten dikategorikan pada level prastruktural (Collis & Biggs, 1986). Respons yang ditunjukkan berdasarkan rincian informasi yang tidak relevan. Konsepsi yang dia munculkan bersifat personal, subjektif dan tidak terorganisasi secara intrinsik. Mahasiswa tersebut tidak memahami tentang apa yang didemonstrasikan. Bila dikaitkan dengan bangunan suatu rumah, maka semua bahan berserakan dan tidak dapat memulai membangun rumah tersebut.
Nulty (2001) melakukan penelitian tentang respons mahasiswa dalam konteks seperti berikut, yaitu mendesain eksperimen (merencanakan suatu percobaan dalam mata kuliah Sain/Kimia) dan menguji hipotesis; menganalisis suatu argumen; menyelesaikan masalah; dan berpikir kreatif. Mahasiswa tidak dapat mendesain eksperimen dan tidak dapat menguji hipotesis, tidak dapat menganalisis suatu argumen, tidak dapat menyelesaikan masalah, dan tidak dapat berpikir secara kreatif mahasiswa tersebut dapat dikategorikan pada level prastruktural.
Biggs & Collis (1982) melakukan penelitian tentang bagaimana cara mengevaluasi kemampuan berpikir kritis. Dalam penelitian ini, masalah yang diajukan adalah seperti berikut, mengapa sisi gunung yang menghadap ke pantai lebih basah dibanding sisi gunung yang menghadap ke darat? Dua responden pada level prastruktural memberikan respon seperti berikut, responden pertama tidak memberikan jawaban apapun, sedangkan responden kedua memberikan jawaban tetapi tidak relevan dengan masalah.
Menurut Hawkins, et al (1986) bila mahasiswa diberikan masalah dan tidak ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut. Jenis-jenis perintah yang digunakan untuk menjalankan suatu algoritma tidak bermakna. Hal ini berarti mahasiswa tersebut tidak memahami pertanyaan atau tugas yang harus dia selesaikan. Dia melakukan sesuatu yang tidak relevan, tidak melakukan identifikasi terhadap konsep-konsep yang terkait, dan sering menuliskan fakta-fakta yang tidak ada kaitannya. Mahasiswa yang berkarakteristik seperti di atas dapat dikategorikan pada level prastruktural
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, mahasiswa prastruktural tidak melakukan respons yang sesuai dengan sekumpulan pernyataan yang diberikan. Dia tidak memahami masalah yang diberikan. Dia mengabaikan pernyataan-pernyataan atau informasi-informasi yang diberikan, atau bila memberikan respon maka respon tersebut tidak relevan dengan informasi-informasi yang diberikan.
Level Unistruktural
Menurut Collis & Biggs (1986) bahwa mahasiswa yang melakukan respons berdasarkan satu fakta konkret yang digunakan secara konsisten, namun hanya dengan satu elemen dapat dikategorikan pada level unistruktural. Untuk suatu permasalahan yang kompleks, mahasiswa hanya memfokuskan pada satu konsep saja. Biggs (1999) menemukan respons mahasiswa pada level unistruktural dalam usaha menyusun struktur tertentu hanya membuat satu hubungan sederhana, sehingga hubungan yang dibuat tersebut tidak memiliki logika yang jelas. Hasil penelitian Hawkins & Hedberg (1986) menunjukkan bahwa mahasiswa yang hanya menggunakan satu model display, hanya menggunakan satu perintah tunggal, dan ia tidak dapat memberikan penalaran terhadap respon yang diberikan dapat dikategorikan pada level unistruktural.
Hasil penelitian Nulty (2001) menunjukkan bahwa mahasiswa pada level ini memberikan satu desain eksperimen, dengan satu hipotesis. Desain eksperimen ini bersifat konvergen dengan hanya ingin mengetahui satu jawaban. Desain eksperimen tersebut diasumsikan dapat menemukan jawaban hanya dengan satu tahapan (jika x maka y). Dia memberikan satu interpretasi tanpa kualifikasi atau mendasarkan pada sesuatu yang kontekstual. Terkait dengan problem solving, mahasiswa hanya memberikan satu solusi, dan dia menyatakan solusinya hanya itu (walaupun yang sebenarnya problem tersebut adalah divergen). Dalam hal berpikir kreatif, mahasiswa tersebut mendemonstrasikan suatu pola pikir yang uni-directional, yang memfokuskan pada satu aspek atau satu strategi atau satu solusi. Dia berpikir terbatas pada parameter, dan membuat hubungan antar item secara langsung.
Penelitian Biggs & Collis (1982) tentang bagaimana cara mengevaluasi kemampuan berpikir kritis terhadap masalah seperti berikut, mengapa sisi gunung yang menghadap ke pantai lebih basah dibanding sisi gunung yang menghadap ke darat? Responden yang memberikan jawaban seperti berikut, “karena hujan lebih banyak terjadi pada sisi gunung yang menghadap ke pantai” dapat dikategorikan pada level unistruktural.
Berdasarkan uraian di atas, mahasiswa pada level ini mencoba menjawab pertanyaan secara terbatas, dengan cara memilih satu penggal informasi yang ada.
Level Multistruktural
Collis & Biggs (1986) mendeskripsikan bahwa mahasiswa yang dapat memecahkan masalah dengan beberapa strategi yang terpisah. Banyak hubungan yang dapat mereka buat, namum hubungan-hubungan tersebut belum tepat. Respons yang dibuat mahasiswa pada level ini didasarkan pada hal-hal yang konkret tanpa memikirkan bagaimana interrelasinya. Respons tersebut konsisten, namun belum terintegrasi dengan baik. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.
Penelitian Hawkins & Hedberg (1986) tentang evaluasi program computer dengan bahasa LOGO menemukan mahasiswa yang bekerja dengan trial & error. Dia dapat melihat lebih dari satu strategi, tetapi mereka tidak melakukan interrelasi. Dia menggunakan model display dengan lebih dari satu perintah. Dia juga menggunakan mode teks dan berusaha membuat program, namun tidak memiliki kemampuan untuk mengedit, bila terjadi kesalahan dia akan hapus program tersebut, dan memulai dengan yang baru. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.
Hasil penelitian Nulty (2001) menunjukkan bahwa mahasiswa yang memberikan lebih dari satu desain eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis. Desain eksperimen tersebut konvergen, namun dapat memberikan beberapa kemungkinan jawaban. Dia memberikan lebih dari satu interpretasi terhadap suatu argumen namun interpretasi tersebut masih dilakukan secara terpisah. Terkait dengan problem solving, mahasiswa pada level ini memberikan beberapa solusi dari suatu permasalahan. Dia mendemonstrasikan suatu pola pikir dalam dua dimensi. Mahasiswa pada level ini menggunakan dua atau lebih penggal informasi, namun urutan informasi tersebut sering gagal diberikan penjelasan mengapa atau apa hubungan di antara sekumpulan data tersebut. Berkaitan dengan berpikir kritis, mahasiswa memfokuskan pemikiran pada beberapa asfek strategi dan solusi, tanpa mampu menghubungkan antara aspek-aspek dan strategi-strategi yang jelas-jelas saling berkaitan. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dismpulkan bahwa mahasiswa yang memiliki kemampuan merespon masalah dengan beberapa strategi yang terpisah. Banyak hubungan yang dapat mereka buat, namum hubungan-hubungan tersebut belum tepat. Respons yang dibuat mahasiswa pada level ini didasarkan pada hal-hal yang konkret tanpa memikirkan bagaimana interrelasinya. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.
Level Relasional
Collis & Biggs (1986) mendeskripsikan bahwa mahasiswa yang merespons suatu tugas berdasarkan konsep-konsep yang terintegrasi, menghubungkan semua informasi yang relevan. Konklusi yang diperoleh secara konsisten secara internal. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level realsional.
Penelitian Hawkins & Hedberg (1986) tentang pemrograman dengan bahasa LOGO menemukan bahwa mahasiswa mampu membuat keputusan, dan mengintegrasikan semua data yang ada. Dia mampu menulis program dalam model teks, dan jika terjadi kesalahan cukup diedit. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level relasional.
Nulty (2001) menemukan bahwa mahasiswa yang memberikan lebih dari satu desain eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis. Mahasiswa tersebut dapat mengaitkan desain dan hipotesis secara bersama-sama. Desain eksperimennya menggunakan pendekatan tahap ganda untuk menemukan perbedaan fakta. Mahasiswa pada level ini dapat memberikan lebih dari satu interpretasi dari suatu argumen. Dia dapat memberikan beberapa solusi untuk suatu problem divergen, dan memberikan hubungan antar solusi yang mungkin. Mahasiswa pada level ini dapat mengaitkan hubungan antara fakta dan teori serta tindakan dan tujuan. Mahasiswa mulai mengaitkan informasi-informasi menjadi satu kesatuan yang koheren, sehingga ia peroleh konklusi yang konsisten. Pemahaman mahasiswa terhadap beberapa komponen terintegrasi secara konseptual. Mahasiswa dapat menerapkan konsep untuk masalah yang familier dan tugas situasional. Mahasiswa dapat mengaitkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level relasional.


Level Extended Abstract
Menurut Collis & Biggs (1986) mahasiswa yang dapat memberikan beberapa kemungkinan konklusi. Prinsip abstrak digunakan untuk menginterpretasikan fakta-fakta konkret dan respons yang tepat yang terpisah dengan konteks. Hal ini dilakukannya secara konsisten. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level extended abstract.
Hawkins & Hedberg (1986) mendeskripsikan mahasiswa yang memiliki kemampuan menyusun keterkaitan antar sistem. Dia mampu menulis program dalam model teks dan mengeditnya bila perlu, dengan memunculkan variabel-variabel tertentu. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level extended abstract.
Nulty (2001) juga mendeskripkan mahasiswa yang dapat memberikan lebih dari satu desain eksperimen dengan lebih dari satu hipotesis. Dia memberikan suatu dasar untuk mendesain eksprimen dan membuat hipotesis dari masalah awal. Diagnosis yang dilakukan tidak selalu konvergen, sehingga memungkinkan adanya temuan-temuan baru dan teori baru. Desain eksperimen tersebut menggunakan pendekatan tahap ganda. Dia memberikan lebih dari satu interpretasi tentang suatu argumen, sehingga dapat mengaitkan keterpaduan diantara interpretasi tersebut untuk membentuk suatu gagasan baru. Dalam hal problem solving, mahasiswa pada level ini dapat memberikan beberapa solusi terhadap suatu masalah, memberikan penjelasan tentang hubungan antar solusi yang mungkin, melakukan justifikasi terhadap solusi-solusi tersebut untuk membangun struktur baru. Dalam hal berpikir kritis, menyajikan pemikiran dengan pandangan yang menyeluruh, imajinatif atau original untuk menghubungkan antara aspek yang tidak berhubungan secara langsung. Dia mampu mendemonstrasikan berpikir multidimensi, dan dapat menghubungkan dengan item-item di luar yang ada sehingga terbentuk gagasan baru. Mahasiswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level extended abstract.
Dari uraian ini, mahasiswa pada level ini telah berpikir secara konseptual, dan dapat melakukan generalisasi pada suatu area baru. Rincian respons yang dibangun pada suatu pola struktural dapat terintegrasi pada suatu struktur yang lain.

Karakteristik Setiap Sel Ci-Sj
Berdasarkan uraian di atas dapat dideskripsikan karakteristik setiap sel Ci-Sj seperti diuraikan pada matriks berikut.
Tabel 2: Deskripsi dan Karakteristik Setiap Sel Ci-Sj Taksonomi Bloom dan SOLO

Taksonomi Bloom Taksonomi SOLO Sel
Ci-Sj Hipotesis Karakteristik Respon
1 2 3 4
Pengetahuan Pra-struktural C1-S0 Tidak dapat memanggil informasi dari memori jangka panjang atau memanggil informasi dari memori yang tidak relevan dengan masalah.
Uni-struktural C1-S1 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi dari memori jangka panjang yang relevan dengan masalah.
Multi-struktural C1-S2 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi dari memori jangka panjang yang relevan dengan masalah lebih dari satu yang bersifat parsial, kalaupun mecoba mengaitkan satu informasi dengan informasi lainya namun keterkaitannya tidak tepat.
Relasional C1-S3 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi dari memori jangka panjang yang relevan dengan masalah lebih dari satu dan mampu mengaitkan satu informasi dengan informasi lainya.
Extended
Abstract
C1-S4 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi dari memori jangka panjang yang relevan dengan masalah lebih dari satu dan mampu mengaitkan satu informasi dengan informasi lainya serta dapat memperluas informasi tersebut dalam konteks yang lebih luas.
Pemahaman Pra-struktural C2-S0 Tidak dapat merumuskan makna yang relevan dengan masalah atau dapat merumuskan makna tetapi tidak relevan dengan masalah.
Uni-struktural C2-S1 Kemampuan merumuskan sebuah makna yang relevan dengan masalah.
Multi-
struktural C2-S2 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang relevan dengan masalah tetapi masih bersipat parsial.
Relasional C2-S3 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang relevan dengan masalah dan dapat menghubungkan beberapa makna tersebut menjadi satu kesatuan.
Extended
Abstract C2-S4 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang relevan dengan masalah dan dapat menghubungkan beberapa makna tersebut menjadi satu kesatuan serta dapat memperluas makna dalam konteks yang lebih luas.
Penerapan Pra-struktural C3-S0 Tidak dapat menggunakan konsep, prinsip, dan metode pada suatu konteks atau menggunakan konsep, prinsip, dan metode pada konteks yang tidak tepat.
Uni-struktural C3-S1 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan metode pada satu konteks.
Multi-struktural C3-S2 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan metode pada beberapa konteks namun masih bersifat terpisah kalaupun mencoba mengaitkan antar konteks keterkaitannya tidak tepat.
Relasional C3-S3 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan metode pada beberapa konteks dapat menjelaskan keterkaitannya.
Extended
Abstract C3-S4 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan metode pada beberapa konteks dapat menjelaskan keterkaitannya serta memperluas penggunaan dalam konsteks yang umum.
Analisis Pra-struktural C4-S0 Tidak dapat memecah suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan atau dapat memecah suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan tetapi tidak tepat.
Uni-struktural C4-S1 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan dengan satu model.
Multi-struktural C4-S2 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan dengan beberapa model tetapi tidak dapat menjelaskan keterkaitan model-model tersebut kalupun mencoba menjelaskan keterkaitan model-model tersebut meruapakan keterkaitan yang tidak tepat.

Relasional C4-S3 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan dengan beberapa model dan dapat menjelaskan kesetaraan model tersebut.
Extended
Abstract C4-S4 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan dengan beberapa model dan dapat menjelaskan kesetaraan model-model tersebut serta dapat memperluas pada model yang lebih umum.
Sintesis Pra-struktural C5-S0 Tidak dapat membentuk suatu kesatuan dari bagian-bagian atau dapat membentuk suatu kesatuan tetapi tidak tepat.
Uni-struktural C5-S1 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-bagian dengan satu model.
Multi-struktural C5-S2 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-bagian dengan lebih dari satu model namun tidak dapat menjelaskan keterkaitan model-model tersebut dan kalaupun mencoba menjelaskan keterkaitan model-model tersebut merupakan keterkaitan yang tidak tepat.
Relasional C5-S3 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-bagian dengan lebih dari satu model dan dapat menjelaskan keterkaitan model-model tersebut.
Extended
Abstract C5-S4 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-bagian dengan lebih dari satu model dan dapat menjelaskan keterkaitan model-model tersebut serta dapat memperluas pada model yang lebih umum.
Evaluasi Pra-struktural C6-S0 Tidak dapat memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan dan metodologi dengan satu kriteria, kalaupun dapat memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan dan metodologi dengan satu kriteria tertentu tetapi kriteria yang digunakan tidak tepat.
Uni-struktural C6-S1 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan dan metodologi dengan satu kriteria untuk menentukan kualitas tertentu.
Multi-struktural C6-S2 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria untuk menentukan kualitas tertentu namun tidak dapat menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa kriteria tersebut, kalaupun mencoba mengaitkan keterkaitannya tidak tepat .
Relasional C6-S3 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria untuk menentukan kualitas tertentu dan dapat menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa kriteria tersebut.

Extended
Abstract C6-S4 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria untuk menentukan kualitas tertentu dan dapat menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa kriteria tersebut serta dapat memperluas untuk kriteria yang lebih umum.

PENUTUP
Model taskonomi dua dimensi ini dapat digunakan untuk menilai kualitas respon siswa terhadap terhadap masalah matematika. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa, pada saat guru melakukan skoring terhadap kualitas jawaban soal uraian masih menggunakan pendekatan “materi”. Artinya, kualitas jawaban soal matematika bentuk uraian ditentukan oleh kompleksitas materi atau panjang-pendek prosedur pengerjaan soal tersebut. Model taksonomi dua dimensi ini tidak hanya mengukur kulitas jawaban dari sisi “isi materi”, tetapi dapat mengukur kualitas berpikir subjek yang menjawab soal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson,Lorin W.;Krathwohl,David R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. New York: Addison Wesley Logman.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Biggs, J. & Collis, K.F. 1982. Evaluating the quality of learning: The SOLO taxonomy. New York: Academic Press.

Biggs, J.1995. Assesing for learning: Some dimensions underlying new approaches to educational assesment. The alberta Journal of Educational Research 41 (1).
http://www.tedi.uq.edu.au/downloads/Biggs_SOLO.pdf

Biggs,J.1999. Teaching for quality at University. Second Edition. Buckingham: SRHE/OU press

Bloom, Benyamin S. 1979. Taksonomy of Educational Objectives (The Clasification of Educational Goals) Handbook 1 Cognitive Domain. London: Longman Group Ltd.

Bogdan, Robert C. and Biklen, Sari Knopp.1982. Qualitative Research for Education: An introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Collis, K. F. & Biggs J. B. 1986. Using The SOLO Taxonomy.
http://www.hebes.mdx.ac.uk/teaching/

Davis,Robert B.1984. Learning Mathematics, The Cognitive Science Approach to Mathematics Education. Croom Helm:London & Sidney

Goldin,G.A.1998. Observing Mathematical Problem Solving Through Task-based Interviews. In: A.Teppo (Ed.) Qualitative Research Methods in Mathematics Education. Monograph No. 9 Journal for Research in Mathematical Education (JRME).

Hartanto Sunardi. 2006. Taksonomi SOLO Plus. Disertasi Doktor P. Matematika UNESA: Tidak Dipublikasikan.

Hawkins, W & Hedberg, J.G.1986. Evaluating LOGO: Use of the SOLO Taxonomy. Australian Journal of Educational Technology. 2(2)
http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet2/

Hughes, Dave.1999. Materials and Designs – Use of SOLO.
http://www.bradford.ac.uk/acad/civeng/

Nulty, Duncan.2001. Enhancing the transition of first year science students – a strategic and systematic approach . http://www.adcet.edu.au/ uploads/documents/055.doc

Soedjadi,R. 1999/2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti.Depdiknas.

Tjokrodihardjo, Soegijo. 2001. Taksonomi Tujuan Pendidikan (Buku I Bidang Kognitif) Alih Bahasa. Surabaya: Unesa University Press.

Widada,Wahyu.2003. Struktur Representasi Pengetahuan Mahasiswa tentang Permasalahan Grafik Fungsi dan Kekonvergenan Deret Tak Hingga pada Kalkulus. Disertasi Doktor P. Matematika UNESA: Tidak Dipublikasikan.

Winkel,W.S.,1996. Psikologi Pengajaran (Edisi Revisi) Cetakan ke-5. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.




Lencana Facebook