Asep Sapa’at*
Maulana*
*Trainer Pendidikan Makmal
Lembaga Pengembangan Insani
Dompet Dhuafa Republika
*Dosen Matematika UPI Bandung
Abstrak
Kecenderungan yang selama ini terjadi dalam pembelajaran matematika, yaitu komunikasi satu arah, fokus kegiatan hanya pada pemberian materi dan latihan, dapat menyebabkan pembelajaran matematika menjadi kurang bermakna dan kurang pula dimaknai. Oleh karena itu, perlu adanya upaya strategis untuk menyikapi pelaksanaan pembelajaran matematika yang “kurang sehat” tersebut, agar lebih bermakna, lebih menyenangkan, dan
adanya kesempatan yang sangat luas bagi siswa dalam memaknai konten matematika itu sendiri. Metafora adalah salah satu alternatif solusi pembelajaran matematika untuk meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam belajar matematika, sehingga diharapkan pemaknaan siswa terhadap proses pembelajaran matematika pun terjadi dengan lebih baik.
Penelitian yang dipaparkan dalam makalah ini, bertujuan untuk menganalisis penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika, dan untuk mengetahui respons siswa terhadap penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika. 122 orang siswa dijadikan subjek dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah meningkatnya minat dan motivasi siswa dalam belajar matematika dengan menggunakan metafora, serta siswa mendapatkan ilmu baru mengenai makna dari hakikat kehidupan yang sama penting atau bahkan lebih penting dari konten matematika itu sendiri.
Kata kunci: Metafora
Pendahuluan
Tampaknya kita tidak bisa memungkiri sebuah ungkapan “Matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan seseorang”. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut Ruseffendi (1991), sehingga salah satu tugas pengajar adalah mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Ironisnya, matematika masih merupakan salah satu bidang studi yang sulit dan anggapan bahwa matematika tidak disenangi atau bahkan paling dibenci, masih saja melekat pada kebanyakan siswa yang mempelajarinya (Ruseffendi, 1984). Hal seperti ini tentu saja menjadi masalah yang perlu dibenahi.
Guru sebagai pengajar mata pelajaran matematika di sekolah, tentu saja tidak bisa dipersalahkan secara sepihak jika masih ada siswa yang bersikap negatif terhadap matematika. Karena pada dasarnya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, baik dari dalam diri siswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor dari luar. Ruseffendi (1991: 9) mengemukakan bahwa sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar antara lain sebagai berikut: (1) kecerdasan, (2) kesiapan belajar, (3) bakat, (4) kemauan belajar, (5) minat, (6) cara penyajian materi pembelajaran, (7) pribadi dan sikap pengajar, (8) suasana pengajaran, (9) kompetensi pengajar, dan (10) kondisi masyarakat luas.
Kesepuluh poin tersebut menjelaskan bahwa cara penyajian materi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus menjadi penentu keberhasilan belajar siswa. Apakah materi yang disajikan membuat siswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi tersebut. Ataukah justru cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap matematika? Sejalan dengan pemikiran Syah (1995) bahwa kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Mari kita tengok sejenak mengenai pembelajaran matematika yang selama ini biasa terjadi. Sudah menjadi hal yang lazim, jika seorang guru dalam memberi materi pelajaran tanpa banyak basa-basi. Sepanjang waktu yang digunakan dalam kelas, semuanya dipenuhi dengan pemberian materi dan latihan saja. Sejak jam pembelajaran dimulai, siswa diharuskan untuk mengkonsumsi materi pembelajaran matematika tanpa adanya kesempatan mengelak. Tak ada kesempatan untuk mempelajari hal-hal lain yang sama penting, atau bahkan jauh lebih penting daripada konten matematika itu sendiri. Bisa jadi, inilah yang menyebabkan munculnya persepsi bahwa matematika itu ‘menyeramkan’. Terlebih lagi jika penyampaian materinya sangat kaku dan membosankan.
Masalah di atas itu perlu kiranya dicarikan solusinya. Bagaimana seorang pengajar mampu menghilangkan citra buruk matematika di benak siswanya, dan tentu akan lebih baik lagi jika akhirnya nanti, perasaan cinta dan butuh terhadap matematika/pembelajaran matematika benar-benar telah tumbuh berkembang dalam jiwa setiap siswanya.
Salah satu alternatif penyajian materi pembelajaran adalah dengan menggunakan metafora. Baik di awal, pertengahan, ataupun di akhir pembelajaran, dengan tujuan untuk mendongkrak minat dan motivasi siswa sebagai pembelajar. Metafora yang dimaksud adalah memaparkan cerita tentang hakikat kesuksesan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, simulasi, ataupun kisah-kisah berbagai orang sukses dalam hidupnya, serta legenda-legenda lainnya. Diharapkan nantinya, setelah pembelajaran selesai, setiap siswa sebagai pembelajar memiliki wawasan lebih tentang kehidupan nyata yang akan mereka songsong, sehingga motivasi mereka untuk lebih sungguh-sungguh belajar dapat ditingkatkan.
Dari uraian di atas, sangat menarik dan perlu untuk dilakukan suatu studi mengenai penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika, sehingga nantinya dapat pula dilihat sejauh mana pengaruh penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika terhadap peningkatan kualitas pembelajaran sehingga motivasi belajar siswa dapat ditingkatkan.
Motivasi Belajar
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme – baik manusia ataupun hewan – yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988, dalam Syah, 1995: 136).
Nasution (1992) mengungkapkan pengertian motivasi belajar, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Sedangkan Nurhayati (1999, dalam Maulana, 2002a) berpendapat bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan atau usaha untuk menciptakan situasi, kondisi, dan aktivitas belajar, karena didorong adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan belajar.
Dari beberapa pendapat di muka, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi dapat dijadikan sebagai dasar penafsiran, penjelasan, dan penaksiran perilaku. Adanya motivasi karena seseorang merasakan adanya dorongan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu.
Motivasi menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Motivasi menjadi salah satu faktor yang turut menentukan belajar yang efektif dan menentukan hasil belajar yang lebih baik. Motivasi tidak dapat diabaikan di dalam kegiatan belajar mengajar, karena tanpa adanya motivasi suatu kegiatan belajar mengajar kurang berhasil. Sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan memberi rangsangan atau dorongan kepada siswa. Motivasi yang diberikan oleh guru merupakan faktor yang dapat menumbuhkan semangat siswa dalam mencapai tujuan belajarnya.
Metafora dalam Proses Pembelajaran
Penggunaan metafora dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu kemampuan menciptakan minat dan meningkatkan motivasi belajar para siswa. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa ahli yang telah lama berkecimpung dalam penelitian tentang kinerja otak.
Penyajian materi dengan metafora dalam pembelajaran memiliki peranan penting untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa, karena penyajian metafora membawa siswa ke dalam suasana yang penuh kegembiraan dan keharuan, sehingga menciptakan kegembiraan serta pemaknaan dalam proses belajar selanjutnya (DePorter, Reardon, dan Nourie, 2000: 14). Seperti pernyataan Caine dan Caine (1997: 124, dalam DePorter, dkk, 2000: 21), “Perasaan dan sikap siswa akan berpengaruh sangat kuat terhadap proses belajarnya”. Hal ini senada dengan ungkapan Goleman (1995: 28) seperti yang dikutip oleh DePorter dkk (2000: 22), “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Sedangkan seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya (Howard Gardner, 1995, dalam DePorter, dkk, 2000: 23).
Sebenarnya sangat banyak metafora yang dapat digunakan atau disampaikan dalam setiap pembelajaran. Misalnya: (1) bercerita dengan menggunakan perumpamaan untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya pembelajaran tersebut, (2) bercerita dengan perumpamaan, bahwa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan pada hakikatnya adalah diri sendiri, (3) memberikan penjelasan bagaimana kiat meraih sukses dalam pembelajaran dan kehidupan, (4) menyajikan paparan bahwa orang belajar harus siap keluar dari zona nyaman, (5) mendiskusikan mengapa hingga saat ini kualitas pendidikan Indonesia masih terpuruk, (6) mengisahkan tentang beberapa tokoh terkenal seperti Albert Einstein, J.K. Rowling, Syaikh Ahmad Yassin, Jacky Chan, David Beckham, Michael Jordan, Thomas Alva Edison, Jalaluddin Rumy, Umar Khayyam, Iwan Fals, dan sebagainya, atau (7) memberikan beberapa nasihat dan tips-tips untuk meraih keberhasilan.
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan (Desember-Januari 2005) dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan belajar di Sekolah Menengah Pertama di wilayah Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak Propinsi Kepulauan Riau, yang meliputi SMP Negeri 1 Kerinci Kanan, SMP Swadaya, dan SMP Islam Al-Muhajirin. Instrumen yang dikembangkan terdiri dari angket, wawancara, dan jurnal. Instrumen-instrumen tersebut digunakan setelah memperoleh judgement dari pakarnya. Angket yang terdiri dari 20 nomor beserta instrumen lainnya digunakan untuk mengetahui pendapat atau respons siswa mengenai: pembelajaran matematika, tugas-tugas dalam pembelajaran, peran pengajar, keunggulan dan kelemahan penggunaan metafora, serta perubahan tingkat motivasi belajar siswa.
Untuk memudahkan dalam melakukan interpretasi, digunakan kategori persentase berdasarkan Kuntjaraningrat (Maulana, 2002b) sebagai berikut:
Tabel: Klasifikasi Interpretasi
Besar Persentase Interpretasi
0% Tidak ada
1% - 25% Sebagian kecil
26% - 49% Hampir setengahnya
50% Setengahnya
51% - 75% Sebagian besar
76% - 99% Hampir seluruhnya
100% Seluruhnya
Hasil dan Diskusi
Hasil yang diperoleh dari angket, menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa (94,3%) tertarik dengan pembelajaran matematika yang di dalamnya disajikan metafora, sehingga pembelajarannya lebih menyenangkan, tidak membosankan, membuat siswa lebih rileks dalam mengikuti pembelajaran, dan siswa mendapat ilmu baru serta inspirasi untuk lebih giat lagi belajar agar menjadi orang sukses. Sebagian kecil (5,7%) menyatakan pembelajarannya biasa saja, karena mereka beranggapan bahwa dalam pembelajaran tidak perlu ada cerita atau kisah sukses, cukup hanya dengan pemberian materi pelajaran saja.
Hampir seluruh siswa (95,9%) menyatakan persetujuannya bahwa pemberian metafora bermanfaat bagi mereka (31,1% sangat setuju, dan 64,8% setuju). Dari semua alasan yang terangkum, intinya adalah bahwa metafora mampu memberikan inspirasi untuk melakukan berbagai hal positif, menjadi cerminan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, membuat situasi pembelajaran menjadi lebih rileks, serta dapat meneladani perjuangan orang-orang yang telah meraih kesuksesan dengan gemilang. Sedangkan 2,5% menyatakan tidak tahu serta 1,6% menyatakan bahwa pemberian metafora tidak bermanfaat bagi mereka.
Dari seluruh siswa yang dijadikan subjek penelitian, terdapat hampir seluruhnya (27,1%) sangat setuju dan (68,9%) setuju bahwa dalam setiap pembelajaran matematika perlu disajikan metafora. Pendapat mereka tentang hal ini didasarkan pada alasan, metafora mambantu membangun pola pikir yang baik, menggantikan ide-ide usang dengan gagasan-gagasan baru; metafora lebih dirasakan manfaatnya secara langsung, karena lebih nyata, dan diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari; dan metafora dapat menghilangkan ketegangan dan kejenuhan.
Hampir seluruh siswa (87,7%) menyatakan bahwa pemberian metafora telah mampu meningkatkan motivasi belajarnya. Mereka beralasan bahwa metafora dapat dijadikan teladan, membangkitkan keinginan untuk belajar lebih giat, serta penyampaian kisah beberapa tokoh yang sukses dalam hidupnya telah menginspirasi siswa untuk bisa seperti tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan 12,3% siswa menyatakan biasa saja dalam hal pemberian metafora oleh guru dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar.
Sebanyak 69,7% (sebagian besar) siswa mengungkapkan bahwa pemberian metafora sangat memperkaya wawasan, karena sedikit demi sedikit siswa dibantu untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, terlebih lagi metafora menyediakan berbagai pengalaman baru yang kaya manfaat. Sedangkan sebagian kecilnya (25,4%) menyatakan metafora cukup memperkaya wawasannya.
Sangat banyak pesan moral yang terkandung dalam metafora yang telah memotivasi siswa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, diungkapkan oleh hampir seluruh siswa (88,5%). Sedangkan sebagian kecilnya (10,7%) merasa pesan moral yang terkandung dalam metafora masih sedikit, karena waktu penyampaian metafora pun masih sangat singkat. Hal ini menandakan bahwa siswa memiliki harapan untuk memperoleh metafora dalam waktu yang lebih banyak.
Terdapat 56,6% siswa yang sangat setuju dan 37,7% setuju, bahwa metafora mampu membuat mereka semakin menyadari hakikat dan kegunaan belajar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat lebih memahami bahwa untuk meraih sukses diperlukan kerja yang ekstra keras, serta tidak mudah menyerah.
Hampir seluruh siswa (95,1%) memaparkan bahwa pemberian metafora tidak mengganggu proses pembelajaran. Justru dengan metafora-lah kejenuhan mereka bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. Adanya metafora tidak banyak menyita waktu belajar, karena disampaikan dalam waktu yang singkat, sekitar 5-10 menit saja. Siswa berpendapat bahwa metafora merupakan penyegar dan penyemangat dalam belajar, serta ilmu yang penting untuk diketahui dan diajarkan.
Pemberian metafora secara tidak langsung telah menumbuhkan sikap kreatif dan kritis sebagian besar siswa (93,5%). Menurut mereka, metafora membantu mereka untuk selalu berpikiran positif, optimis. Siswa tertarik untuk ikut memikirkan solusi dari permasalahan yang dimunculkan lewat metafora. Metafora meningkatkan rasa ingin tahu, terutama tips yang disajikan membuatnya merasa penasaran untuk ikut mencoba. Namun masih terdapat sebagian kecil (3,3%) yang ragu-ragu mengenai apakah metafora mampu menumbuhkan sikap kreatif dan kritis, dengan alasan bahwa bagi mereka memang sulit untuk berubah menjadi kreatif dan kiritis. Dalam hal ini terdapat pula 3,2% siswa yang tidak setuju, karena mereka lebih suka ‘menunggu untuk diberitahu’, dan bukannya mencoba ‘menemukan sesuatu’.
Sebanyak 97,6% (hampir seluruh) siswa menyatakan persetujuannya—48,4% sangat setuju dan 49,2% setuju—agar selalu disisipi metafora di dalam setiap pembelajaran, baik mata pelajaran matematika maupun bukan matematika. Sisanya sebanyak 0,8% menyatakan tidak tahu dan 1,6% menyatakan tidak perlu semua mata pelajaran lain selain matematika disisipkan metafora.
Beralih pada penampilan pengajar, hampir seluruh siswa (98,4%) menyebutkan bahwa penampilan pengajar dalam memberikan metafora akan membuatnya lebih menarik untuk disimak, karena dengan cara seperti itu si pengajar terkesan lebih terbuka dan bersahabat. Di samping itu, sebagian kecilnya (1,6%) mengungkapkan bahwa pengajar telah cukup memfasilitasi siswa untuk lebih mudah memahami materi pembelajaran. Dengan disajikannya metafora oleh pengajar pada setiap pembelajaran matematika, hampir seluruh siswa (87,7%) merasakan bahwa pembelajaran seperti itu sangat menarik karena pengajarnya komunikatif. Suasana pembelajaran tidak monoton, lebih terbuka, dan lebih bersifat diskursif.
Hampir seluruh siswa (91,8%) menyatakan bahwa dengan diberikannya metafora dalam pembelajaran, pengajar telah melakukan perannya sebagai pembimbing dengan sangat baik. Metafora yang diberikan membantu siswa untuk lebih memahami dan memaknai hakikat kehidupan, tidak hanya sekadar bergumul dengan materi pembelajaran. Metafora dirasakan siswa sebagai nasihat dan dorongan untuk belajar, kiat-kiat untuk sukses dalam menjalani pembelajaran, terlebih lagi untuk sukses dalam kehidupan secara umum. Metafora pun bagi siswa dirasakan sebagai pedoman, kompas, atau pemandu arah dalam menjalani keseharian.
Dari hasil wawancara dan jurnal yang dibuat siswa di akhir pembelajaran, diperoleh gambaran bahwa matematika merupakan hal yang menakutkan bagi siswa pada umumnya. Akan tetapi, karena penyampaian materi pembelajarannya begitu menarik dan menyenangkan, yang di dalamnya selalu disisipkan metafora, membuat siswa sangat tertarik pada mata pelajaran matematika. Metafora yang disajikan memberikan banyak nilai tambah dalam pembelajaran matematika. Tidak hanya lebih memahami materi, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bisa lebih memaknai kehidupan.
Pemicu kebosanan dalam pembelajaran biasanya karena siswa hanya duduk, mendengar, mencatat, yang melulu memuat materi yang sulit dipahami. Terlebih lagi jika pengajar menyampaikan materi tersebut dengan gaya tidak menyenangkan. Perilaku guru di kelas, baik itu ekspresi wajah, gaya bicara, maupun bahasa tubuh lainnya, memiliki pengaruh terhadap perasaan siswa yang berada di hadapannya. Menghadapi guru yang demikian, siswa menjadi tertekan, mood untuk belajar berkurang, dan muncullah kejenuhan. Padahal yang diinginkan siswa adalah bentuk pembelajaran yang segar, santai tetapi serius.
Dengan adanya metafora, siswa berpendapat bahwa suasana pembelajaran menjadi lebih rileks-siaga, tidak menjenuhkan, sehingga minat untuk belajar semakin meningkat. Siswa berpandangan bahwa metafora dapat menjadi pemicu pengembangan diri, dan itulah yang mereka anggap lebih penting daripada sekadar materi pembelajaran matematika. Metafora menjadi sesuatu yang sangat membuat mereka penasaran dan selalu ditunggu-tunggu keberadaannya. Bagi siswa, metafora telah menjadi pedoman, inspirasi, dorongan, dan penyemangat dalam menjalani hidup.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis data dan pembahasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa matematika memang masih merupakan hal yang menakutkan, yang pada umumnya tidak disukai oleh siswa SMP Negeri 1 Kerinci Kanan, SMP Swadaya, dan SMP Islam Al-Muhajirin. Dan salah satu pemicu munculnya anggapan buruk tentang matematika ini adalah penyajian materinya yang memang membosankan. Sejak awal jam pembelajaran, siswa hanya dijejali materi dan latihan tanpa sisipan lain yang menyenangkan. Padahal yang diinginkan siswa adalah pembelajaran yang rileks-siaga, penuh makna, penuh penyegaran, suasana yang menyenangkan, dan tentu saja memudahkan untuk memahami materi pembelajaran.
Dari hasil yang diperoleh dalam studi ini, dipandang perlu adanya pemikiran ulang mengenai kebiasaan para pengajar—khususnya guru matematika—dalam menyampaikan materi pembelajarannya. Apakah selama ini melupakan betapa pentingnya metafora, atau sengaja tidak memberikan metafora karena merasa tidak perlu, atau memang karena tidak punya bahan untuk diceritakan di depan kelas?
Dengan memperhatikan hasil studi di atas, diharapkan ke depannya para pengajar matematika menjadikan metafora sebagai alternatif untuk menggugah semangat siswa untuk lebih giat belajar matematika, sehingga pada gilirannya nanti citra buruk matematika yang melekat di benak siswa dapat berubah ke arah yang jauh lebih baik. Dari perasaan benci, berganti menjadi suka. Dari perasaan bosan, berubah menjadi berminat. Dari menjenuhkan, menjadi menyenangkan. Dari perasaan tak butuh, setahap demi setahap menjadi penasaran, berkeinginan, membutuhkan. Seorang pengajar yang baik tidak hanya bisa menjelaskan dan mendemonstrasikan materi pembelajaran, akan tetapi dia mampu menginspirasi para siswanya. Good teacher explains, superior teacher demonstrates, excellent teacher inspires.
Daftar Pustaka
DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; dan Nourie, Sarah Singer. 2000. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligences. New York: Bantam Books.
Maulana. 2002a. Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Media Komik untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Tidak dipublikasikan.
Maulana. 2002b. Peranan Lembar Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Aritmetika Sosial Berdasarkan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peranan Matematika dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Menghadapi Era Industri dan Informasi, ISSN: 1693-0800, UPI Bandung, 23 Januari 2002.
Nasution, N. 1992. Psikologi Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
Ruseffendi, E.T. 1984. Dasar-dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada Guru: Membantu Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Penelitian yang dipaparkan dalam makalah ini, bertujuan untuk menganalisis penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika, dan untuk mengetahui respons siswa terhadap penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika. 122 orang siswa dijadikan subjek dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah meningkatnya minat dan motivasi siswa dalam belajar matematika dengan menggunakan metafora, serta siswa mendapatkan ilmu baru mengenai makna dari hakikat kehidupan yang sama penting atau bahkan lebih penting dari konten matematika itu sendiri.
Kata kunci: Metafora
Pendahuluan
Tampaknya kita tidak bisa memungkiri sebuah ungkapan “Matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan seseorang”. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut Ruseffendi (1991), sehingga salah satu tugas pengajar adalah mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Ironisnya, matematika masih merupakan salah satu bidang studi yang sulit dan anggapan bahwa matematika tidak disenangi atau bahkan paling dibenci, masih saja melekat pada kebanyakan siswa yang mempelajarinya (Ruseffendi, 1984). Hal seperti ini tentu saja menjadi masalah yang perlu dibenahi.
Guru sebagai pengajar mata pelajaran matematika di sekolah, tentu saja tidak bisa dipersalahkan secara sepihak jika masih ada siswa yang bersikap negatif terhadap matematika. Karena pada dasarnya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, baik dari dalam diri siswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor dari luar. Ruseffendi (1991: 9) mengemukakan bahwa sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar antara lain sebagai berikut: (1) kecerdasan, (2) kesiapan belajar, (3) bakat, (4) kemauan belajar, (5) minat, (6) cara penyajian materi pembelajaran, (7) pribadi dan sikap pengajar, (8) suasana pengajaran, (9) kompetensi pengajar, dan (10) kondisi masyarakat luas.
Kesepuluh poin tersebut menjelaskan bahwa cara penyajian materi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus menjadi penentu keberhasilan belajar siswa. Apakah materi yang disajikan membuat siswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi tersebut. Ataukah justru cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap matematika? Sejalan dengan pemikiran Syah (1995) bahwa kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Mari kita tengok sejenak mengenai pembelajaran matematika yang selama ini biasa terjadi. Sudah menjadi hal yang lazim, jika seorang guru dalam memberi materi pelajaran tanpa banyak basa-basi. Sepanjang waktu yang digunakan dalam kelas, semuanya dipenuhi dengan pemberian materi dan latihan saja. Sejak jam pembelajaran dimulai, siswa diharuskan untuk mengkonsumsi materi pembelajaran matematika tanpa adanya kesempatan mengelak. Tak ada kesempatan untuk mempelajari hal-hal lain yang sama penting, atau bahkan jauh lebih penting daripada konten matematika itu sendiri. Bisa jadi, inilah yang menyebabkan munculnya persepsi bahwa matematika itu ‘menyeramkan’. Terlebih lagi jika penyampaian materinya sangat kaku dan membosankan.
Masalah di atas itu perlu kiranya dicarikan solusinya. Bagaimana seorang pengajar mampu menghilangkan citra buruk matematika di benak siswanya, dan tentu akan lebih baik lagi jika akhirnya nanti, perasaan cinta dan butuh terhadap matematika/pembelajaran matematika benar-benar telah tumbuh berkembang dalam jiwa setiap siswanya.
Salah satu alternatif penyajian materi pembelajaran adalah dengan menggunakan metafora. Baik di awal, pertengahan, ataupun di akhir pembelajaran, dengan tujuan untuk mendongkrak minat dan motivasi siswa sebagai pembelajar. Metafora yang dimaksud adalah memaparkan cerita tentang hakikat kesuksesan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, simulasi, ataupun kisah-kisah berbagai orang sukses dalam hidupnya, serta legenda-legenda lainnya. Diharapkan nantinya, setelah pembelajaran selesai, setiap siswa sebagai pembelajar memiliki wawasan lebih tentang kehidupan nyata yang akan mereka songsong, sehingga motivasi mereka untuk lebih sungguh-sungguh belajar dapat ditingkatkan.
Dari uraian di atas, sangat menarik dan perlu untuk dilakukan suatu studi mengenai penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika, sehingga nantinya dapat pula dilihat sejauh mana pengaruh penggunaan metafora dalam pembelajaran matematika terhadap peningkatan kualitas pembelajaran sehingga motivasi belajar siswa dapat ditingkatkan.
Motivasi Belajar
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme – baik manusia ataupun hewan – yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988, dalam Syah, 1995: 136).
Nasution (1992) mengungkapkan pengertian motivasi belajar, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Sedangkan Nurhayati (1999, dalam Maulana, 2002a) berpendapat bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan atau usaha untuk menciptakan situasi, kondisi, dan aktivitas belajar, karena didorong adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan belajar.
Dari beberapa pendapat di muka, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi dapat dijadikan sebagai dasar penafsiran, penjelasan, dan penaksiran perilaku. Adanya motivasi karena seseorang merasakan adanya dorongan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu.
Motivasi menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Motivasi menjadi salah satu faktor yang turut menentukan belajar yang efektif dan menentukan hasil belajar yang lebih baik. Motivasi tidak dapat diabaikan di dalam kegiatan belajar mengajar, karena tanpa adanya motivasi suatu kegiatan belajar mengajar kurang berhasil. Sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan memberi rangsangan atau dorongan kepada siswa. Motivasi yang diberikan oleh guru merupakan faktor yang dapat menumbuhkan semangat siswa dalam mencapai tujuan belajarnya.
Metafora dalam Proses Pembelajaran
Penggunaan metafora dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu kemampuan menciptakan minat dan meningkatkan motivasi belajar para siswa. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa ahli yang telah lama berkecimpung dalam penelitian tentang kinerja otak.
Penyajian materi dengan metafora dalam pembelajaran memiliki peranan penting untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa, karena penyajian metafora membawa siswa ke dalam suasana yang penuh kegembiraan dan keharuan, sehingga menciptakan kegembiraan serta pemaknaan dalam proses belajar selanjutnya (DePorter, Reardon, dan Nourie, 2000: 14). Seperti pernyataan Caine dan Caine (1997: 124, dalam DePorter, dkk, 2000: 21), “Perasaan dan sikap siswa akan berpengaruh sangat kuat terhadap proses belajarnya”. Hal ini senada dengan ungkapan Goleman (1995: 28) seperti yang dikutip oleh DePorter dkk (2000: 22), “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Sedangkan seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya (Howard Gardner, 1995, dalam DePorter, dkk, 2000: 23).
Sebenarnya sangat banyak metafora yang dapat digunakan atau disampaikan dalam setiap pembelajaran. Misalnya: (1) bercerita dengan menggunakan perumpamaan untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya pembelajaran tersebut, (2) bercerita dengan perumpamaan, bahwa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan pada hakikatnya adalah diri sendiri, (3) memberikan penjelasan bagaimana kiat meraih sukses dalam pembelajaran dan kehidupan, (4) menyajikan paparan bahwa orang belajar harus siap keluar dari zona nyaman, (5) mendiskusikan mengapa hingga saat ini kualitas pendidikan Indonesia masih terpuruk, (6) mengisahkan tentang beberapa tokoh terkenal seperti Albert Einstein, J.K. Rowling, Syaikh Ahmad Yassin, Jacky Chan, David Beckham, Michael Jordan, Thomas Alva Edison, Jalaluddin Rumy, Umar Khayyam, Iwan Fals, dan sebagainya, atau (7) memberikan beberapa nasihat dan tips-tips untuk meraih keberhasilan.
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan (Desember-Januari 2005) dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan belajar di Sekolah Menengah Pertama di wilayah Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak Propinsi Kepulauan Riau, yang meliputi SMP Negeri 1 Kerinci Kanan, SMP Swadaya, dan SMP Islam Al-Muhajirin. Instrumen yang dikembangkan terdiri dari angket, wawancara, dan jurnal. Instrumen-instrumen tersebut digunakan setelah memperoleh judgement dari pakarnya. Angket yang terdiri dari 20 nomor beserta instrumen lainnya digunakan untuk mengetahui pendapat atau respons siswa mengenai: pembelajaran matematika, tugas-tugas dalam pembelajaran, peran pengajar, keunggulan dan kelemahan penggunaan metafora, serta perubahan tingkat motivasi belajar siswa.
Untuk memudahkan dalam melakukan interpretasi, digunakan kategori persentase berdasarkan Kuntjaraningrat (Maulana, 2002b) sebagai berikut:
Tabel: Klasifikasi Interpretasi
Besar Persentase Interpretasi
0% Tidak ada
1% - 25% Sebagian kecil
26% - 49% Hampir setengahnya
50% Setengahnya
51% - 75% Sebagian besar
76% - 99% Hampir seluruhnya
100% Seluruhnya
Hasil dan Diskusi
Hasil yang diperoleh dari angket, menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa (94,3%) tertarik dengan pembelajaran matematika yang di dalamnya disajikan metafora, sehingga pembelajarannya lebih menyenangkan, tidak membosankan, membuat siswa lebih rileks dalam mengikuti pembelajaran, dan siswa mendapat ilmu baru serta inspirasi untuk lebih giat lagi belajar agar menjadi orang sukses. Sebagian kecil (5,7%) menyatakan pembelajarannya biasa saja, karena mereka beranggapan bahwa dalam pembelajaran tidak perlu ada cerita atau kisah sukses, cukup hanya dengan pemberian materi pelajaran saja.
Hampir seluruh siswa (95,9%) menyatakan persetujuannya bahwa pemberian metafora bermanfaat bagi mereka (31,1% sangat setuju, dan 64,8% setuju). Dari semua alasan yang terangkum, intinya adalah bahwa metafora mampu memberikan inspirasi untuk melakukan berbagai hal positif, menjadi cerminan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, membuat situasi pembelajaran menjadi lebih rileks, serta dapat meneladani perjuangan orang-orang yang telah meraih kesuksesan dengan gemilang. Sedangkan 2,5% menyatakan tidak tahu serta 1,6% menyatakan bahwa pemberian metafora tidak bermanfaat bagi mereka.
Dari seluruh siswa yang dijadikan subjek penelitian, terdapat hampir seluruhnya (27,1%) sangat setuju dan (68,9%) setuju bahwa dalam setiap pembelajaran matematika perlu disajikan metafora. Pendapat mereka tentang hal ini didasarkan pada alasan, metafora mambantu membangun pola pikir yang baik, menggantikan ide-ide usang dengan gagasan-gagasan baru; metafora lebih dirasakan manfaatnya secara langsung, karena lebih nyata, dan diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari; dan metafora dapat menghilangkan ketegangan dan kejenuhan.
Hampir seluruh siswa (87,7%) menyatakan bahwa pemberian metafora telah mampu meningkatkan motivasi belajarnya. Mereka beralasan bahwa metafora dapat dijadikan teladan, membangkitkan keinginan untuk belajar lebih giat, serta penyampaian kisah beberapa tokoh yang sukses dalam hidupnya telah menginspirasi siswa untuk bisa seperti tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan 12,3% siswa menyatakan biasa saja dalam hal pemberian metafora oleh guru dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar.
Sebanyak 69,7% (sebagian besar) siswa mengungkapkan bahwa pemberian metafora sangat memperkaya wawasan, karena sedikit demi sedikit siswa dibantu untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, terlebih lagi metafora menyediakan berbagai pengalaman baru yang kaya manfaat. Sedangkan sebagian kecilnya (25,4%) menyatakan metafora cukup memperkaya wawasannya.
Sangat banyak pesan moral yang terkandung dalam metafora yang telah memotivasi siswa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, diungkapkan oleh hampir seluruh siswa (88,5%). Sedangkan sebagian kecilnya (10,7%) merasa pesan moral yang terkandung dalam metafora masih sedikit, karena waktu penyampaian metafora pun masih sangat singkat. Hal ini menandakan bahwa siswa memiliki harapan untuk memperoleh metafora dalam waktu yang lebih banyak.
Terdapat 56,6% siswa yang sangat setuju dan 37,7% setuju, bahwa metafora mampu membuat mereka semakin menyadari hakikat dan kegunaan belajar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat lebih memahami bahwa untuk meraih sukses diperlukan kerja yang ekstra keras, serta tidak mudah menyerah.
Hampir seluruh siswa (95,1%) memaparkan bahwa pemberian metafora tidak mengganggu proses pembelajaran. Justru dengan metafora-lah kejenuhan mereka bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. Adanya metafora tidak banyak menyita waktu belajar, karena disampaikan dalam waktu yang singkat, sekitar 5-10 menit saja. Siswa berpendapat bahwa metafora merupakan penyegar dan penyemangat dalam belajar, serta ilmu yang penting untuk diketahui dan diajarkan.
Pemberian metafora secara tidak langsung telah menumbuhkan sikap kreatif dan kritis sebagian besar siswa (93,5%). Menurut mereka, metafora membantu mereka untuk selalu berpikiran positif, optimis. Siswa tertarik untuk ikut memikirkan solusi dari permasalahan yang dimunculkan lewat metafora. Metafora meningkatkan rasa ingin tahu, terutama tips yang disajikan membuatnya merasa penasaran untuk ikut mencoba. Namun masih terdapat sebagian kecil (3,3%) yang ragu-ragu mengenai apakah metafora mampu menumbuhkan sikap kreatif dan kritis, dengan alasan bahwa bagi mereka memang sulit untuk berubah menjadi kreatif dan kiritis. Dalam hal ini terdapat pula 3,2% siswa yang tidak setuju, karena mereka lebih suka ‘menunggu untuk diberitahu’, dan bukannya mencoba ‘menemukan sesuatu’.
Sebanyak 97,6% (hampir seluruh) siswa menyatakan persetujuannya—48,4% sangat setuju dan 49,2% setuju—agar selalu disisipi metafora di dalam setiap pembelajaran, baik mata pelajaran matematika maupun bukan matematika. Sisanya sebanyak 0,8% menyatakan tidak tahu dan 1,6% menyatakan tidak perlu semua mata pelajaran lain selain matematika disisipkan metafora.
Beralih pada penampilan pengajar, hampir seluruh siswa (98,4%) menyebutkan bahwa penampilan pengajar dalam memberikan metafora akan membuatnya lebih menarik untuk disimak, karena dengan cara seperti itu si pengajar terkesan lebih terbuka dan bersahabat. Di samping itu, sebagian kecilnya (1,6%) mengungkapkan bahwa pengajar telah cukup memfasilitasi siswa untuk lebih mudah memahami materi pembelajaran. Dengan disajikannya metafora oleh pengajar pada setiap pembelajaran matematika, hampir seluruh siswa (87,7%) merasakan bahwa pembelajaran seperti itu sangat menarik karena pengajarnya komunikatif. Suasana pembelajaran tidak monoton, lebih terbuka, dan lebih bersifat diskursif.
Hampir seluruh siswa (91,8%) menyatakan bahwa dengan diberikannya metafora dalam pembelajaran, pengajar telah melakukan perannya sebagai pembimbing dengan sangat baik. Metafora yang diberikan membantu siswa untuk lebih memahami dan memaknai hakikat kehidupan, tidak hanya sekadar bergumul dengan materi pembelajaran. Metafora dirasakan siswa sebagai nasihat dan dorongan untuk belajar, kiat-kiat untuk sukses dalam menjalani pembelajaran, terlebih lagi untuk sukses dalam kehidupan secara umum. Metafora pun bagi siswa dirasakan sebagai pedoman, kompas, atau pemandu arah dalam menjalani keseharian.
Dari hasil wawancara dan jurnal yang dibuat siswa di akhir pembelajaran, diperoleh gambaran bahwa matematika merupakan hal yang menakutkan bagi siswa pada umumnya. Akan tetapi, karena penyampaian materi pembelajarannya begitu menarik dan menyenangkan, yang di dalamnya selalu disisipkan metafora, membuat siswa sangat tertarik pada mata pelajaran matematika. Metafora yang disajikan memberikan banyak nilai tambah dalam pembelajaran matematika. Tidak hanya lebih memahami materi, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bisa lebih memaknai kehidupan.
Pemicu kebosanan dalam pembelajaran biasanya karena siswa hanya duduk, mendengar, mencatat, yang melulu memuat materi yang sulit dipahami. Terlebih lagi jika pengajar menyampaikan materi tersebut dengan gaya tidak menyenangkan. Perilaku guru di kelas, baik itu ekspresi wajah, gaya bicara, maupun bahasa tubuh lainnya, memiliki pengaruh terhadap perasaan siswa yang berada di hadapannya. Menghadapi guru yang demikian, siswa menjadi tertekan, mood untuk belajar berkurang, dan muncullah kejenuhan. Padahal yang diinginkan siswa adalah bentuk pembelajaran yang segar, santai tetapi serius.
Dengan adanya metafora, siswa berpendapat bahwa suasana pembelajaran menjadi lebih rileks-siaga, tidak menjenuhkan, sehingga minat untuk belajar semakin meningkat. Siswa berpandangan bahwa metafora dapat menjadi pemicu pengembangan diri, dan itulah yang mereka anggap lebih penting daripada sekadar materi pembelajaran matematika. Metafora menjadi sesuatu yang sangat membuat mereka penasaran dan selalu ditunggu-tunggu keberadaannya. Bagi siswa, metafora telah menjadi pedoman, inspirasi, dorongan, dan penyemangat dalam menjalani hidup.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis data dan pembahasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa matematika memang masih merupakan hal yang menakutkan, yang pada umumnya tidak disukai oleh siswa SMP Negeri 1 Kerinci Kanan, SMP Swadaya, dan SMP Islam Al-Muhajirin. Dan salah satu pemicu munculnya anggapan buruk tentang matematika ini adalah penyajian materinya yang memang membosankan. Sejak awal jam pembelajaran, siswa hanya dijejali materi dan latihan tanpa sisipan lain yang menyenangkan. Padahal yang diinginkan siswa adalah pembelajaran yang rileks-siaga, penuh makna, penuh penyegaran, suasana yang menyenangkan, dan tentu saja memudahkan untuk memahami materi pembelajaran.
Dari hasil yang diperoleh dalam studi ini, dipandang perlu adanya pemikiran ulang mengenai kebiasaan para pengajar—khususnya guru matematika—dalam menyampaikan materi pembelajarannya. Apakah selama ini melupakan betapa pentingnya metafora, atau sengaja tidak memberikan metafora karena merasa tidak perlu, atau memang karena tidak punya bahan untuk diceritakan di depan kelas?
Dengan memperhatikan hasil studi di atas, diharapkan ke depannya para pengajar matematika menjadikan metafora sebagai alternatif untuk menggugah semangat siswa untuk lebih giat belajar matematika, sehingga pada gilirannya nanti citra buruk matematika yang melekat di benak siswa dapat berubah ke arah yang jauh lebih baik. Dari perasaan benci, berganti menjadi suka. Dari perasaan bosan, berubah menjadi berminat. Dari menjenuhkan, menjadi menyenangkan. Dari perasaan tak butuh, setahap demi setahap menjadi penasaran, berkeinginan, membutuhkan. Seorang pengajar yang baik tidak hanya bisa menjelaskan dan mendemonstrasikan materi pembelajaran, akan tetapi dia mampu menginspirasi para siswanya. Good teacher explains, superior teacher demonstrates, excellent teacher inspires.
Daftar Pustaka
DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; dan Nourie, Sarah Singer. 2000. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligences. New York: Bantam Books.
Maulana. 2002a. Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Media Komik untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Tidak dipublikasikan.
Maulana. 2002b. Peranan Lembar Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Aritmetika Sosial Berdasarkan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peranan Matematika dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Menghadapi Era Industri dan Informasi, ISSN: 1693-0800, UPI Bandung, 23 Januari 2002.
Nasution, N. 1992. Psikologi Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
Ruseffendi, E.T. 1984. Dasar-dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada Guru: Membantu Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Syah, M. 1995. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.
No comments:
Post a Comment