Wednesday, November 25, 2009

Classroom Action Research sebagai Learning Organization

Oleh
Drs. H. Karso, M. M.Pd.

ABSTRAK

Menyadari bahwa kondisi pendidikan di Indonesia nilai rapotnya makin kebakaran dan tidak kurang parahnya dibandingkan dengan parahnya kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Pendidikan di Indonesia, baik kualitas akademiknya, proses pembelajarannya, maupun sistemnya berada pada kelompok yang relatif rendah bila dibandingka dengan negara-negara tetangga. Demikian pula dunia pendidikan matematika prestasi dan kualitas pembelajarannya dalam komparasi internasional masih relatif rendah. Di lain pihak sebagai guru/ pendidik khususnya dalam bidang matematika perlu untuk berintrospeksi diri, sebab guru/ pendidik merupakan manajer dalam pembelajaran di kelas sekaligus sebagai ujung tombak dan turut bertanggungjawab.
Salah satu diantaranya adalah sejauh mana keberadaan karya ilmiah para guru/ pendidik yang dapat dijadikan rujukan dalam pembelajarannya. Misalnya dalam bidang penelitian (research) khususnya classroom action research (penelitian tindakan kelas) sebagai upaya para guru/ pendidik dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajarannya di kelas. Kondisi ini dipandang sangat strategis, mengingat permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik matematika yang deduktif, aksiomatik, formal, dan abstrak, sedangkan karakteristik siswa (SD, SMP, dan SMA) bukanlah bentuk mikro orang dewasa. Karena itulah melalui classroom action research sebagai learning organization (organisasi pembelajar) dalam pengembangan profesi guru matematika merupakan komponen yang strategis sebagai akuntabilitas professional. Tanpa kondisi seperti ini sangatlah sulit untuk melakukan upaya peningkatan kualitas yang sesungguhnya. Karenanya melalui iklim yang kondusif diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh kesadaran diri (self conssciousness) yang kemudian bergerak pada kesadaran kolektif (collective consciousness) dan kesadaran team work. Amin

A. Pendahuluan
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga kita diberi kesempatan untuk bersilaturahmi dalam Konferensi Nasional Pendidikan Matematika II sekaligus Kongres Guru Matematika Indonesia I. Gagasan yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan dan diskusi ini adalah tentang strategisnya Classroom Action Research (Penelitian Tindakan Kelas) sebagai Learning Organization (Organisasi Pembelajar) dalam Pengembangan Profesi Guru Matematika.
Tulisan ini sebagai wujud kepedulian dan sekaligus keprihatinan terhadap beberapa hal yang dipandang ada guna dan manfaatnya untuk didiskusikan oleh kita sebagai guru/ pendidik matematika yang merupakan bagian keluarga besar dari sistem pendidikan nasional untuk menuju guru matematika yang profesioal. Beberapa hal pokok tersebut meliputi
1. Menyadari bahwa kondisi pendidikan di Indonesia saat ini rapotnya semakin merah dan tidak kurang parahnya dibandingkan dengan parahnya kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Kondisi lingkungan eksternal dan internal ini diharapkan dapat memperkokoh peran kita sebagai pendidik/ guru matematika dalam menumbuhkan kesadaran diri (self consciousness), yang kemudian berlanjut ke kesadaran kolektif (collective consciousness).
2. Menyadari bahwa kualitas dan kuantitas karya ilmiah termasuk penelitian (research) yang dilakukan oleh kita sebagai pendidik/ guru matematika masih relatif rendah. Di lain pihak komponen ini merupakan salah satu pusat-pusat kekuatan yang strategis yang sifatnya sebagai perekat (magnetic forces) dan sebagai pendukung (driving forces) dalam organisasi pembelajar (learning organization) yang harus sudah menjadi milik guru/ pendidik matematika, dalam upaya pengembangan profesi sesuai tuntutan perubahan zaman (zeitgeist).
3. Menyadari bahwa banyak hal yang bisa dilakukan oleh guru/ pendidik matematika dalam memecahkan permasalahan pendidikan/ pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan profesionalisasi, sekaligus sebagai alternatif solusi dari kedua permasalahan di atas. Alternatif solusinya tentu saja harus dilakukan pada tataran makro, messo, atau mikro sesuai fungsi dan peran kita masing-masing.
Gagasan dan pemikiran yang dicoba disajikan dalam tulisan dan diskusi ini tidak hanya berdasarkan kajian teoritis saja, tetapi didasarkan pula pada realita dari berbagai temuan dan pengalaman dalam berinteraksi selama bertahun-tahun menjadi guru matematika di beberapa SMA dan PT. Namun tentu saja penyajian tulisan ini tidak bermaksud menggurui siapapun, tetapi hanyalah bersifat mengidentifikasi masalah-masalah yang mendasar dan alternatif solusinya yang dipandang strategis. Karena peningkatan kualitas pendidikan termasuk pendidikan matematika yang sesungguhnya ada di tangan para guru/ pendidik sebagai manajer kelas dan para kepala sekolah sebagai manajer sekolah.
Selain itu tentu saja melalui media silaturahmi dengan teman-teman sesama guru/ pendidik matematika ini akan menjadi pengalaman yang berharga bagi penulis dalam membangun profesionalisasi calon guru matematika melalui proses pembelajaran di Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA-UPI. Kondisi ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran tentang strategisnya posisi guru/ pendidik dalam membudayakan learning organization melalui penelitian tindakan kelas untuk membangun pengembangan profesi guru matematika. Amin.

B. Isu-isu Aktual yang Terkait dengan Pendidikan dan Pembelajaran Matematika
Jika kita sejenak merenung melakukan refleksi, mengkaji lingkungan kehidupan yang tak terpisahkan dengan dunia pendidikan termasuk pendidikan matematika, maka ada beberapa hal yang rasanya perlu dipahami dan disadari oleh kita, walaupun mungkin “menyesakan dada kita”, dan “kita harus berbuat apa?”, diantaranya
1. Secara makro, messo dan mikro banyak perbuatan-perbuatan pendidikan termasuk dalam pendidikan matematika yang inkonsisten di antara fakta, kebijakan, teori maupun filsafahnya. Sebagai akibatnya dalam memilih kebijakan yang dianggap tepat, terbaik, paling bermanfaat, dan kemungkinan keterlaksnaannya menjadi tidak serasi atau inkonsistensi dengan keberadaan fakta-faktanya, teori yang dianutnya, dan tidak pula dengan falsafah sebagai esensi tentang teori, kebijakan dan fakta. Sistem pengelolaan birokrasi khususnya tentang pendidikan sering dilakukan bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan justru menambah masalah baru, sehingga permasalahan pendidikan semakin menggunung. Bagaimana dengan keberadaan UN, sertifikasi, komite sekolah, dewan sekolah, LPTK, sekolah, sistem penerimaan siswa/ mahasiswa baru, rekrutmen guru dan kepala sekolah, dsb. Bagaimana solusinya, supaya kesemuanya bisa bergerak maju dalam satu spiral dynamic?
2. Dalam era informasi, perubahan dalam segala aspek kehidupan telah terjadi secara terus menerus dengan sangat cepat dan telah memasuki daerah kerumitan (complexity), kesemrawutan (chaos) dan gejolak (turbulences). Hari besok dan lusa sudah tidak lagi mengandung kepastian seperti kemarin di sebelumnya. Kadang muncul yang dikehendaki tapi kadang muncul pula yang tidak dikehendaki, kadang muncul keberaturan dan ketidakberaturan, kadang dapat diprediksi, tapi kadang tak dapat diprediksi, dsb., dsb. Kondisi ini termasuk pula krisis moral yang melanda masyarakat kita. Bagaimana posisi pendidikan khususnya posisi guru atau pendidik termasuk pendidik matematika?
3. Globalisasi yang didorong oleh hiruk pikuknya teknologi informasi, uang, dan manajemen telah menjadi power penggerak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga memaksa individu dan organisasi untuk berselancar (surving) secara signifikan agar dapat survive dan berkembang. Tuntutan perubahan sebagai gelombang yang dahsyat, tentu saja telah menerpa organisasi sistem pendidikan nasional di republik ini. Bagaimana posisi sistem pendidikan nasional kita, termasuk posisi pendidik/ guru dengan segudang permasalahannya?
4. Kualitas pendidikan kita yang masih rendah, atau mungkin “kualitas pendidikan terus menerus menurun”. Dalam Kompas 5 September 2001, diberitakan bahwa Mendiknas Abdul Malik Fajar mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia. (Hasil survey Political and Economic Risk Consultancy/ PERC). Kemudian dikemukakan oleh kepala BKKBN pusat, Syarif bahwa IPM (HDI) RI pada tahun 2007 ini ada pada urutan ke-108 dari 117 negara berdasarkan penilaian UNDP, posisi Indonesia jauh lebih rendah dari Vietnam, Kamboja, bahkan Laos. (Pikiran Rakyat, 3 Mei 2007). Kondisi ini menunjukkan bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia, dan tentu saja termasuk bagaimana kualitas pendidikan matematikanya ?.
5. Manusia sebagai makhluk yang berbudi dan berakal (animal rationale), dan makhluk sosial, harus bisa membedakan yang wajib, sunat, mubah, makruh dan haram, dalam menentukan relasi yang baik dengan Tuhan yang telah menciptakannya dan dengan alam atau lingkungan dimana ia hidup. Karenanya para pendidik termasuk pendidik matematika bukan hanya menekankan pada segi pengetahuan saja (kognitif) tetapi harus mengembangkan kesadaran, akal budi, spiritual, moralitas, sosialitas, keselarasan dengan alam, serta rasa dan emosinya. Pendidik yang hanya menekankan pada segi pengetahuan, apalagi hanya pada nilai UN akan mengakibatkan anak didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh, secara kaaffah. Bagaimana dengan keberadaan tim sukses UN, menyontek, tawuran, moral, etika, ketidakadilan? Menurut Tong-Keun Min (2007) bahwa “filosofi nilai-nilai pendidikan dan nilai-nilai pelajaran perlu terkait dengan nilai-nilai sosial, nilai-nilai politik, nilai-nilai moral dan budaya, nilai-nilai hidup, nilai-nilai bahasa, nilai-nilai teknis, dan nilai-nilai emosional”.
6. Kemampuan sumber daya alam, kemampuan material-finansial-budgeter kita makin terbatas. Demikian pula kemampuan SDM dalam arti kognitif, afektif, psikomotorik kinerja operasional secara individu dan kolektif dalam berorganisasi hingga bernegara apakah sudah menjadi aset dan problem solver atau justru sebaliknya? Bagaimana dengan keberadaan komite sekolah, dewan sekolah, PGRI, LSM, DPR/DPRD, dan organisasi-organisasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak?
7. Apakah kita harus kembali pada pola strategi orde yang lalu? Tentu saja tidak, karena strategi itu berbasis kekuasaan manunggal, sangat sentralistik, sangat mono politik, “keberhasilannya“ ternyata harus dibayar terlalu mahal dengan menurunnya nilai kejujuran, moral, menurunnya kecerdasan mental, yang dihiasi kecanggihan-kecanggihan praktek KKN serta kepura-puraan.
8. Secara internal atau secara khusus sudah kita ketahui bersama bahwa karakteristik matematika adalah deduktif, aksiomatik, formal, dan abstrak. Sedangkan keberadaan siswa di SD, SMP, dan sebagian besar di SMA tetap masih dipandang sebagai anak, bukan bentuk mikro orang dewasa. Namun mereka adalah individu yang potensial, sehingga dapat ditumbuhkembangkan secara optimal oleh pendidik atau guru sebagai manajer dalam pembelajaran matematika di kelas. Keberadaan kutub anak didik dan kutub matematika yang relatif berbeda merupakan peran dan tanggungjawab guru/ pendidik sebagai fasilitator dan motivator. Dalam kondisi demikian sangatlah memungkinkan untuk menumbuhkan dan memperkokoh pengembangan profesi guru melalui organisasi pembelajar (learning organization) sehingga melahirkan paradigma kesadaran diri (self consciousness) yang berlanjut pada kesadaran kolektif (collective consciousness). Bagaimana dengan pembelajaran matematika melalui CTL, open-ended, RME, berpikir kritis, konstruktivis, lesson study, PTK (classroom action research) dsb.?
9. Sedikit informasi yang berkaitan dengan pengembangan profesi yang diwajibkan kepada para guru yang akan naik pangkat/ jabatan dari golongan IVa ke IV b dan seterusnya, ternyata banyak mengalami kesulitan. Hal ini terbukti dari tahun ke tahun banyak teman-teman guru yang gagal dalam mengajukan kenaikan pangkatnya, disebabkan kesalahan dalam menyusun karya tulis ilmiah untuk hasil-hasil penelitiannya. Dari sekian ratus yang mengusulkan ternyata rata-rata kelulusannya hanya belasan saja. Kondisi ini terjadi pada setiap saat penilaian dilakukan di tingkat nasional. Kenapa hal ini terjadi, dan dimanakah letak kekeliruannya?
Masih banyak permasalahan dan rasa keprihatinan akan kondisi pendidikan yang menerpa bangsa ini. Dalam silaturahmi ini tentunya kita menyadari bahwa keberhasilan mempersiapkan generasi muda dalam memasuki masyarakat, bangsa, dunia masa kini dan masa depan banyak ditentukan oleh pemikiran dan kerja keras kita bersama.

C. Organisasi Pembelajar (Learning Organization) dalam Pengembangan Profesi Guru Matematika
Perlu kita sadari bahwa pada era kerumitan, kesemrawutan, dan perubahan sekarang ini, komitmennya haruslah difokuskan pada budaya mutu dengan keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya menuntut setiap komponen organisasi sistem pendidikan nasional untuk melakukan pembaharuan yang terus menerus (continous improvement) sehingga mempunyai daya saing yang optimal. Oleh karena itu diperlukan individu-individu yang mau belajar untuk terus meningkatkan kemampuan dirinya sehingga tangguh dalam menghadapi perubahan dan persaingan yang makin kompetitif. Dalam hal ini tentu saja titik berangkat awalnya adalah penyadaran diri yang penuh makna kepada Allah WST. Kesadaran diri itu (self consciousness) tentu pula harus berlanjut ke kesadaran kolektif (collective consciousness) dan kesadaran team- work.
Perubahan yang terjadi bukanlah sekedar produk, aktivitas, dan struktur eksternal yang dapat diamati sehari-hari, tetapi juga perubahan internal yang terjadi dalam organisasi sistem pendidikan nasional secara integral. Menurut M. J. Marquardt dalam Moedjadi (2006: 4), “Perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi termasuk dalam organisasi pendidikan adalah mengenai nilai-nilai, cara berpikir, mind-set, strategi dan bahkan tujuan-tujuan yang dicapai”. Dalam kaitan inilah semua komponen organisasi pendidikan perlu memperhatikan kondisi-kondisi lingkungan yang ada dan belajar daripadanya agar dapat berselancar secara signifikan dalam dahsyatnya perubahan yang ada. Semua komponen organisasi itu harus menjadi organisasi pembelajar (learning organization), yaitu suatu organisasi yang terus menerus mengembangkan kemampuanya untuk menciptakan masa depan ke arah yang lebih baik.
Organisasi pembelajar ini harus benar-benar dihidupkan dalam berbagai jalur, jenjang, jenis dan satuan pendidikan serta komponen-komponen pendidikan sebagai pilar-pilar pendidikan nasional. Budaya learning organization di lingkungan pendidikan haruslah berkembang dan menjadi teladan bagi organisasi-organisasi lainnya. Iklim yang kondusif itu diharapkan menjadi magnetic forces dan driving forces bagi konsistensi fakta, kebijakan, teori, dan filsafah pendidikan, sehingga learning organization menjadi budaya dalam membangun pendidikan.
Jika titik berangkat untuk paradigma baru sudah diperbaiki atau disesuaikan dengan visi di atas, maka belajar termasuk belajar matematika akan menjadi kewajiban dan kebutuhan bagi setiap orang, any where any time. Masalahnya apakah organisasi dalam sistem pendidikan, khususnya sekolah-sekolah sudah memasuki learning organization? Apakah para pemimpin pendidikan, seperti para birokrat, pengawas, penilik, kepala sekolah, dan juga guru-guru termasuk kita para pendidik matematika, telah cukup tangguh dan memiliki kesiapan untuk menjadi “pemimpin pembelajar” dan “karyawan pembelajar”? Apakah kita siap menjadikan visi learning organization sebagai budaya bangsa?
Dalam kaitan itulah tentunya kita harus mampu mereposisi diri supaya besok lebih baik dari hari ini, juga dengan meluruskan niat awal untuk memulai dari diri sendiri (ibda binafsi) dalam memperbaiki diri. Dalam hal ini dituntut untuk mampu berpikir aqliyah dan naqliyah yang cerdas dan berijtihad berdasarkan pada keyakinan yang benar yang bisa dipertanggungjawabkan (justified true belief).
Sejalan dengan justified true belief, maka dalam mempelajari, menganalisis, dan berprilaku haruslah memperhatikan faktanya, statistiknya, teorinya, panca indranya, dan kalamullahnya. Karenanya dalam budaya learning organization pengembangan sumber daya manusia (SDM) itu tentu saja salah satu sisinya harus difokuskan pada pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman untuk menguasai, mengendalikan dalam berbagai aspek teknologi canggih (high tech approach). Namun demikian perlu pula diimbangi high touch approach, yaitu proses membangun SDM untuk mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan melalui pengembangan potensi kepribadian yang dapat menangkal pengaruh-pengaruh negatif terhadap hakekat martabat kemanusiaan yang paling mendasar. Bagaimana dengan pembelajaran matematika di sekolah sebagai wujud profesionalisasi dalam membangun SDM yang berkualitas?

D. Penelitian Tindakan Kelas atau PTK (Classroom Action Research) dalam Pengembangan Profesi Guru Matematika
1. Pengembangan Profesi
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 84/1993 tentang Penetapan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993, No. 25/1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pada prinsipnya bertujuan untuk membina karier kepangkatan dan profesionalisme guru. (diberlakukan pula bagi para dosen, pengawas, dan widyaiswara). Selanjutnya dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa: “Untuk kenaikan jabatan/ pangkat setingkat lebih tinggi menjadi Guru Pembina golongan ruang IVb sampai dengan Guru Utama golongan ruang IVe, guru diwajibkan mengumpulkan sekurang-kurangnya 12 angka kredit dari unsur pengembangan profesi”. Dari peraturan ini jelas, bahwa kenaikan pangkat/ jabatan guru pembina IVa ke atas mewajibkan adanya angka kredit untuk kegiatan unsur pengembangan profesi. Pengembangan profesi adalah kegiatan guru dalam rangka pengamalan ilmu dan pengetahuan, teknologi dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran maupun dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan.
Melalui sistem angka kredit ini diharapkan dapat diberikan penghargaan secara adil dan lebih profesional terhadap pangkat guru yang merupakan pengakuan profesi dan kemudian akan meningkatkan pula tingkat kesejahterannya. Pengembangan profesi ini terdiri dari lima macam kegiatan, yaitu: (1) menyusun karya tulis ilmiah/ KTI (< 12,5), (2) menemukan teknologi tepat guna (5), (3) membuat alat peraga/ bimbingan (0,5 – 0,2), (4) menciptakan karya seni (5-2), dan (5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum (4,5-2).
Membuat KTI merupakan salah satu macam kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh guru dalam pengembangan profesinya. KTI adalah laporan tertulis tentang hasil kegiatan ilmiah yang banyak macamnya, sehingga laporan KTI juga beragam bentuknya, diantaranya: (1) KTI hasil penelitian, pengkajian, survey, dan atau evaluasi (12,5-4), (2) KTi yang merupakan tinjauan atau gagasan sendiri dalam bidang pendidikan (8-3,5), (3) KTI yang berupa tulisan ilmiah popular yang disebarkan melalui media masa (2,0), (4) KTI yang berupa tinjauan, gagasan atau ulasan ilmiah yang disampaikan sebagai prasaran dalam pertemuan ilmiah (2,5), (5) KTi yang berupa buku pelajaran (5-3), (6) KTI berupa diktat pelajaran (1), dan (7) KTI yang berupa karya terjemahan (2,5).
Namun pada umumnya KTI yang cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan (mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk laporan penelitian (makalah) dengan angka kredit empat (4). Malahan lebih dari 90% KTI hasil penelitian ini berbentuk laporan hasil penelitian tindakan kelas (classroom action research atau TPK). Pembuatan PTK ini tentu saja harus sesuai dengan permasalahan mata pelajaran yang dibinanya, untuk guru matematika haruslah masalah pembelajaran matematika di kelasnya/ sekolahnya, kecuali untuk kepala sekolah.
Dalam melaksanakan penelitian ini boleh saja dilakukan secara berkolaborasi baik dengan sesama guru matematika atau dengan pengajar di PT, pengawas, widyaiswara, atau kepala sekolah. Malahan sangatlah dimungkinkan laporan PTK adalah hasil implementasi Lesson Study yang berbasisi MGMP atau yang berbasis sekolah. Khusus untuk karya tulis yang dilakukan oleh lebih dari seorang, maka angka kreditnya 60% diberikan kepada penulis utama dan sisanya dibagi untuk semua penulis pembantu dengan sebanyak-banyaknya lima (5) orang.
2. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)
Tentunya kita telah mengetahui, bahwa penelitian tindakan kelas atau PTK (Classroom Action Research) adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sehingga hasil belajar siswa meningkat. Ada beberapa kriteria pokok dari PTK, yaitu:
1. An inquiry of practice from within (penelitian berawal dari kerisauan guru akan kinerjanya)
2. Self reflective inquiry (metode utama adalah refleksi diri, bersifat agak longgar, tetapi tetap mengikuti kaidah-kaidah penelitian).
3. Fokus penelitian berupa kegiatan pembelajaran.
4. Tujuannya memperbaiki pembelajaran.
Dari karakteristik tersebut tentunya dapat dibandingkan ciri-ciri PTK dengan penelitian kelas non-PTK. Guru dianggap paling tepat melakukan PTK yang sesuai dengan bidang studi keahlianya, karena (1) guru mempunyai otonomi untuk menilai kinerjanya, (2) temuan penelitian formal sering sukar diterapkan untuk memperbaiki pembelajaran, (3) guru merupakan orang yang paling akrab dengan kelasnya, (4) interaksi guru siswa berlangsung secara unik, dan (5) keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan inovatif yang bersifat pengembangan mempersyaratkan guru mampu melakukan penelitian di kelasnya.

E. Penutup
Demikianlah sajian bahasan diskusi sebagai proses pembelajaran dalam upaya membangun guru/ pendidik matematika yang professional melalui Classroom Action Research sebagai learning organization dalam pengembangan profesi guru matematika. Mudah-mudahan pembelajaran dan silaturahmi melalui Kongres Guru Matematika Indonesia I dan Konferensi Nasional pendidikan Matematika II ini ada guna dan manfaatnya bagi kita semua sebagai wujud amal ibadah kepadaNya. Amin.

F. Referensi
Depdiknas. (1993). Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Tenaga Kependidikan.

------------. (1993). Keputusan Bersama menteri Pendidikan dan kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993, No. 25/1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Tenaga Kependidikan.

Hopkins, D. (1993). A Teacher’s Guide to Classroom Research, Open Iniversity Press: Philadelphia.

Karso. (2007). “Membangun Kecakapan Proses dalam Pembelajaran Matematika melalui Lesson Study Berbasis MGMP sebagai Learning Organization di Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang”. Makalah dalam Seminar Nasional Exchange of Experiences on Best Pratices of Leson Study, Bandung.

Moedjadi. (2006). “Pengaruh Persaingan dan Organisasi Belajar terhadap Proses Transformasi Kompetensi Intelektual Individu Menjadi modal Intelektual Organisasi”. Mimbar Pendidikan No. 3 Th. XXVI(2006). Bandung: University Press IKIP Bandung.

Syarif, S. (200). “IPM Indonesi Urutan ke-108”. Pikiran Rakyat (3 Mei 2008).

Tong Keun-Min. (2007). A Study on the Hierarchy of values. {online]. Tersedia: http://www.bu.edu/wcp/Papers/ValuMin.html.

Wardani, I. G. A.K, dkk. (2006). Penelitian Tindakan Kelas Jakarta: Universitas Terbuka.






No comments:

Lencana Facebook