Tuesday, February 15, 2011

Dicari : Pemimpin Pendidikan

Oleh. En. Hidayat



1

Ini kisah klasik, klise tapi nyata. Tentang bagaimana Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia II, yang kaisar Jepang lakukan bukannya mengumpulkan sisa panglima perangnya, melainkan justeru menyuruh mendata jumlah guru yang tersisa. Ketika ditanya alasannya, kaisar menjawab bahwa maju tidaknya Jepang kelak tidak tergantung kepada jumlah tentara yang banyak, tetapi kepada orang-orang pintar hasil didikan para guru.

Hasilnya, dalam waktu relatif singkat, kini Jepang telah menjadi salah satu super power dunia, khususnya di bidang ekonomi.

Alangkah manjurnya Jepang yang punya kaisar begitu peduli terhadap pendidikan rakyatnya.

2

Sadam Hussein, presiden Irak yang digulingkan pasukan AS dan sekutunya masih di cintai rakyatnya, khususnya kaum terpelajar. Kenapa? Karena sepanjang pemerintahannya yang konon otoriter itu, Saddam masih mampu menggratiskan seluruh biaya pendidikan
dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi.

Ternyata, selain alasan minyak, Amerika mengagresi Irak juga karena tidak ingin rakyat Irak menjadi pintar.

Saddam Husein boleh terjungkal dari kekuasaannya tapi perhatiannya terhadap pendidikan pastilah membanggakan rakyatnya.

3

Tahun 1997, sama seperti Indonesia, Libya juga dilanda krisis ekonomi yang hebat. Negara-negara kapitalis barat, melalui IMF menyerukan agar negara yang terkena krisis mencabut subsidi kepada rakyatnya. Indonesia mematuhi resep bikinan IMF ini.

Tapi Muammar Qadafi, pemimpin Libya malah berteriak dengan lantang ”IMF jangan coba-coba menyuruh kami mencabut subsidi pendidikan”.

Walhasil, sampai sekarang rakyat Libya masih dapat menikmati pendidikan secara gratis.

Langkah Muammar Qadafi ini tentu dicatat sebagai tindakan kepahlawanan bagi dunia pendidikan Libya.

******

4

Di Indonesia, negeri yang sudah 59 tahun merdeka. Negeri yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang bikin negara lain iri untuk menjarah Indonesia, masih saja menyisakan persoalan tentang kegagalan pemerintah mengelola pendidikan bagi rakyatnya.

Di Indonesia setiap awal tahun ajaran baru selalu saja diributkan oleh beragam persoalan pendidikan mulai dari mahalnya uang gedung, uang buku, uang seragam, pungutan-pungutan lainnya yang bikin ibu-ibu sesak napas memikirkan nasib pendidikan anaknya.

Setiap tahun lalu saja kita dibenturkan pada persoalan apakah sekolah mampu menjamin pekerjaan bagi lulusannya. Setiap tahun kita selalu dihadapkan pada masih tingginya angka putus sekolah, masih tingginya angka pengangguran intelektual. Padahal UUD 45 sudah menjamin warga Indonesia berhak mendapatkan pengajaran yang layak, setiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak.

Daftar keruwetan dunia pendidikan ini akan semakin panjang bila harus dituliskan disini, yang cuma akan menambah buram potret dunia pendidikan kita. Jadi, jangan juga bicara soal anggaran pendidikan nasional yang mamang termasuk kecil dibelahan bumi ini. Bahkan anggaran pendidikan nasional kita lebih kecil bila dibandingkan dengan anggaran untuk meliter.

Apakah sudah tidak ada harapan bagi dunia pendidikan kita ? Ya, tentu saja kita punya harapan. Sebab cuma harapan yang bisa kita miliki. Harapan bahwa dunia pendidikan kita akan semakin baik. Harapan bahwa kita akan mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara lain.

Kita berharap ada perubahan dalam dunia pendidikan, mengingat sampai saat ini kita sudah mengalami enam kali pergantian kepemimpinan nasional.

Akankah pemerintah yang baru akan mampu melakukan menjawab harapan-harapan kita tentang perubahan dunia pendidikan ataukah akan terus melanjutkan kegagalan ini.

Saya tidak ingin bermimpi punya pendidikan bernama Hirohito, Saddam Hussein, ataupun Muammar Qadafi.

Tapi saya juga jangan dilarang bermimpi punya pemimpin Indonesia yang punya nyali untuk melakukan perbaikan didunia pendidikan !

Krisis Manusia Modern dan Peran Pendidikan Islam

Abdul Wahid Hasan*



Dunia yang Tak Terkendali.

Anthony Giddens menyebut abad XX sebagai “abad berdarah dan menakutkan” (the twentieth-century world is a bloody and frightening one). Dasar kesimpulan ini terutama merujuk pada dua perang dunia yang terjadi dalam dua kurun waktu kurang dari 40 tahun dengan korban jiwa tak terhingga.1 Pernyataan itu juga tidak bisa dilepaskan dari pembantaian tidak kurang dari 6 juta orang Yahudi oleh Hitler di tahun 1940-an, terutama di kamp-kamp konsentrasi Auschwits, Bergen-Belsen, Dachau dan Treblingka,2 seperti juga pembantaian para petani oleh Stalin di tahun-tahun yang sama dan disusul pembantaian rakyat sipil Kamboja oleh Polpot di masa berikutnya. Di penghujung abad ini masyarakat dunia juga dikejutkan oleh pembersihan etnis (etnic cleansing) Bosnia-Kroasia oleh Serbia. Dan di awal milenium ketiga, masyarakat dunia dihentakkan oleh tragedi 11 September oleh para teroris.

Selain tindak kekerasan, berbagai tragedi kemanusiaan ini semakin lengkap dengan ketimpangan ekonomi yang semakin menjadi-jadi. Kemiskinan menjadi fakta gelobal. Dunia yang telah dihuni oleh 5,7 miliar jiwa, 1,5 milyar darinya termasuk ketegori sangat miskin. Lebih dari satu miliar penduduk hidup dengan 1 U$ perhari, sementara 358 orang mengumpulkan modal pribadi sekitar 762 milyar U$.3 Maka kelaparan juga masih menjadi warna di banyak negara dunia ketiga.

Sedang di negara maju yang makmur secara material, justru berhadapan dengan
tindak kriminal biasa yang telah mencapai tingkat yang tidak bisa ditolerir. Di beberapa negara maju (Eropa dan Amerika) pembunuhan mencapai kisaran 35,6 dalam setiap 100.000 penduduk.4 Berdasar laporan tahunan FBI, di Amerika, pada tahun 1965, telah terjadi lima juta tindak kejahatan --rata-rata satu kejahatan setiap 12 detik, satu pembunuhan hampir setiap jam, satu pemerkosaan setiap 25 menit, satu perampokan setiap 5 menit dan pencurian mobil setiap menit. Demikian juga di Inggris, Jerman, Prancis dan negara maju lainnya. “Planet kita adalah lautan kejahatan,” kata seorang kriminolog Amerika.5 Belum lagi krisis ekologi yang sangat mengkhawatirkan. Lebih dari 80% air di Amerika tercemar limbah industri, kandungan asam tembaga pada kabut kota London tahun 1952 membunuh lebih dari 4000 orang perhari, kematian yang diakibatkan oleh kangker paru-paru melonjak 40 kali lipat sejak lima puluh tahun terakhir.6

“Semua pada akhirnya tak manusiawi,” kata kaum nihilis. “Semuanya diperbolehkan, karena Tuhan tidak ada dan manusia sudah mati,” gumam Albert Camus.7 Dunia sekarang adalah “dunia yang lari tunggang langgang” (run away world), kesimpulan Anthony Giddens.8 Sepertinya, kiamat memang tidak akan lama lagi.

Berakar dari Krisis Manusia.

Krisis dunia saat ini memang tampak dalam semua sektor kehidupan. Tapi bukan kesimpulan yang simplistis jika dikatakan bahwa semuanya berakar dari krisis manusia itu sendiri. Ada yang menyebutkan “krisis spiritual”, yang lain menyebutnya “krisis eksistensial.”9 Dalam bahasa yang lebih gamblang, manusia saat ini sedang mengalami kehampaan makna hidup. Dominasi dan hegemoni kehidupan materialistik dan positifistik telah mengantar manusia pada penghancuran dimensi hidup yang lain, yakni dimensi spiritual.

Spiritualitas adalah dimensi yang berada di luar lingkaran kultur materialistik dan positivistik. Ia merupakan dunia, tempat manusia menghubungkan diri dengan The Higher Consciousness atau The Source.10 Dari hubungan ini manusia akan menemukan makna hidup, memahami diri secara utuh dan memberikan arti realitas dalam kondisi merdeka dari kungkungan dimensi material.

Keterputusan dengan The Higher Consciousness kemudian termanifestasi pada tindakan-tindakan yang tidak mempertimbangkan kemanusiaan. Semuanya diukur dengan kepentingan materialistik dan positivistik. Manusia tidak lagi percaya pada potensi dalam dirinya sendiri sehingga harus menggantungkan diri pada hal-hal yang bersifat eksternal.11 Baginya, kesejahteraan tergantung pada kekayaan, rasa aman tergantung pada pemilikan senjata dan pemusnahan segala yang dianggap lawan, kehormatan tergantung pada jabatan, prestasi dan materi, kebahagiaan tergantung pada kebebasan berbuat apa saja.

Dengan kesadaran semacam itu, manusia menyadari bahwa ia harus berjuang untuk mempertahankan diri dan mencapai keinginan yang dianggap sebagai sebagai tujuan hidup. Perkembangan pesat sains hanya untuk kepentingan merancang teknologi. Teknologi dipakai untuk mencapai tujuan hidup individualistik dengan menghalalkan segala cara. Sains dan teknologi hanya diperalat dan berkolaborasi dengan kekuatan kapital. Karena kolaborasi itu akan mencapai target seperti yang diinginkan, ia memerlukan kondisi yang kondusif sehingga diperlukan keterlibatan negara, baik untuk kepentingan perlindungan eksternal atau internal. Inilah yang mengakibatkan dunia carut marut dan “lari tunggang langgang” (run way world).12

Peran dan Posisi Pendidikan Islam

a. Belajar dari Sejarah

Dari berbagai persoalan yang timbul dalam peradaban modern (khusunya Barat ) saat ini, secara diam-diam banyak yang mulai melirik kembali dunia Timur13 (baca : Islam) sebagai solusi alternatif atas krisis multidemensi (terutama moral, existential and spiritual problems and crisis) yang sedang melanda dan mencabik-cabik kehidupan mereka. Sebab, walaupun Islam pernah memimpin dunia dan berada di puncak kejayaannya dalam rentang waktu yang cukup lama, tetapi umat Islam tidak pernah mengalami apa yang dialami Barat selama ini, setelah Barat mencapai puncak kejayaannya. Hal ini paling tidak disebabkan karena walaupun Islam ketika itu memposisikan akal begitu tinggi dan terhormat hingga banyak melahirkan banyak filsuf dan cendikiawan lainnya, tetapi mereka tetap menjunjung tinggi agama (wahyu) sebagai garis perjuangan dan perjalanan karir mereka.

Secara historis, Islam sudah terbukti memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, sehingga banyak memberikan sumbangan terhadap kemajuan peradaban manusia (termasuk Barat) saat ini. Dalam acara penandatanganan kerjasama UIN (Universitas Islam Negeri, yang semula bernama IAIN Syarif Hidayatullah) dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa di Jakarta (Kamis tanggal 30 Mei 2002) cendikiawan muslim Nurcholish Madjid menyatakan bahwa selain melahirkan ilmu-ilmu yang orisinal, jasa terbesar Islam dalam perkembangan peradaban manusia adalah merangkum ilmu dari berbagai bangsa di dunia. Hal ini bisa dilakukan karena Islam pada masa awal perkembangannya menguasai wilayah Timur Tengah yang sangat strategis dan dekat dengan pusat-pusat peradaban saat itu 14.

Pengakuan bahwa Islam telah banyak berjasa terhadap kemajuan Barat saat ini, tidak hanya datang dari kalangan Islam (yang bisa saja mengandung unsur-unsur subyektifitas), tetapi juga dari sarjana Barat sendiri. W. Montgomery Watt misalnya mengatakan :

..it clear that the influence of Islam on western Cristendom is greater than usully realized. Not marely did Islam share with western Europe many material products and tecnological discoveries; not merely did it stimulate Europe intellectually in the fields of science and philosophy; but it provoked into forming a new image of itself.15

Selain itu, kita melihat bahwa sejarah pendirian Universitas Napoli pada tahun 1224 oleh Pangeran Frederik adalah dimaksudkan sebagai media transformer peradaban dan karya intelektual umat Islam ke dunia Barat. Universitas Polonia dan Padova, misalnya, menjadikan filsafat Ibnu Rusyd (mereka menyebut: Averroes) dan kedokteran Ibnu Sina (mereka menyebut : Avicenna) sebagai materi pokok di universitas tersebut. Selama berabad-abad ilmu kedokteran Islam menjadi mata kuliah pokok fakultas kedokteran di universitas-universitas Barat. Universitas-universitas lainnya berdiri untuk secara tekun menguliti peradaban Islam dan mengambil sari pati dari peradaban tersebut. Fakta ini secara jelas dapat dibaca dalam buku Gustav Lebon, Miguel Asin Plasius, buku The Influence of Islam on Medieval Europe karya W. Montgomery Watt, buku karya Moritz Steinschneider, buku Studies in the History of Medieval Science karya Charles Homer Haskins, buku Introduction to the History of Science karya George Sarton, buku Arabic Science in the West karya D. M. Dunlop dan buku- buku lainnya. Tidak berlebiah kalau akhirnya para pakar dan sejarahwan Barat seperti Wels, Lebon, The Boer, Ollery, Toynbee dan Watt sampai pada kesimpulan dan pengakuan yang begitu jujur bahwa intelektual Islam-lah yang telah menyalakan api renaissance peradaban Barat.16

Dari sini kemudian bisa ditegaskan bahwa Islam memiliki warisan klasik (turats) yang sangat kaya, dan jangkauannya tidak bisa dibatasi oleh wilayah dan zaman tertentu. Lebih jauh, Asisyah Abdurrahman menyatakan bahwa kebudayaan Mesir kuno yang tertulis di atas kertas-kertas papirus adalah termasuk turats Islam, termasuk peninggalan kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib dan wilayah-wilayah lain. Hal ini karena penduduk wilayah tersebut telah memeluk Islam. Otomatis, mala lampua mereka menjadi milik Islam pula.17

Jauh lebih penting dari ‘klaim’ di atas, adalah bahwa turats, seperti dinyatakan oleh Hasan Hanafi, memiliki dua bentuk; material (yaitu manuskrip dan kumpulan kitab-kitab yang tersimpan di musium, perpustakaan dan lain-lain) dan yang berbentuk immaterial yaitu warisan kejiwaan dan adat istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat.18

Semangat yang tersimpan di balik turats yang berbentuk immaterial inilah yang semestinya terus dipupuk dan dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam. Pendidikan memegang peran penting dan menempati posisi yang vital untuk bisa membangkitkan kembali semangat belajar, meneliti dan berpikir seperti yang dimiliki umat Islam tempo dulu. Sebab, seperti kata Muhammad Abduh, education is regarded as the most efficacious of means of change.19 Bahkan dengan agak ‘sesumbar’, Schumacher menyatakan : if we believe in nothing else, we certainly believe that education is, or should be, the key of everything.20

Dengan demikian, hal-hal yang menyebabkan Islam memiliki kekayaan khazanah ilmu pengetahun yang luar biasa (seperti penggunaan akal yang tepat di samping wahyu atau agama serta pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam yang mendorong pengembangan ilmu pengetahuan) perlu diperkenalkan secara baik kepada peserta didik untuk agar menjadi motivasi yang kuat guna meraih dan mencapai apa yang pernah diraih dan dicapai Islam di masa yang lampau, tentunya dengan mewarisi “semangat” mereka. Demikian juga hal-hal yang menyebabkan Islam ‘tertidur pulas’ dalam jangka waktu kurang lebih delapan ratus tahun sejak serangan Mongol (dan kini sudah mulai menggeliat kembali, setelah dunia lain jauh meninggalkannya) juga perlu disampaikan kepada perserta didik dengan cara yang arif dan bijaksana agar mereka tidak terjebak dan terjerumus dalam kesalahan yang sama. Dengan bahasa lain, agar semua itu bisa menjadi ibrah berharga bagi mereka dalam menata masa depan. Dengan demikian, peserta didik (anak-anak muslim) akan bangga sebagai muslim, karena mereka menyadari bahwa Islam adalah agama yang agung dan mencinta ilmu pengetahuan.

Sebab, bagaimanapun, masa depan manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan begitu saja dari masa lalunya. Dalam arti bahwa masa lalu (sejarah) akan ikut andil dalam menentukan sebuah masa depan. Selain itu, sejarah masa lalu yang sudah teruji dalam rentang waktu yang lama, akan menjadi pelajaran yang baik untuk menentukan corak masa depan. Cukup bijaksana jika kemudian Edmund Burke (1729-1797), seorang penganut ideologi konsevatif Inggeris pernah menyatakan :

…the cultural heritage or tradition was a repository of the time-tested achievements of human-kind. Social, political, religious and educational institutions—the family, state, church and school—are cultural products that have evolved over the centuries of human experience.21

Terkait dengan hal ini, Gerald Lee Gutek juga pernah menyatakan (ketika membahas pandangan konservativisme) bahwa the past is the source of the tradition that shape social institutions and human relationship…from the past, a people, a particular society, inherits a collective wisdom based on lessons learned over time.22

Namun, selama ini, dalam memandang dan menatap masa depan, umat Islam, kata Murad Wilfre Hoffman, setidaknya terbagi dalam tiga varian; pertama, varian –yang karena persepsi pribadi dan pengalaman hidupnya—melihat umat Islam berada dalam degradasi terus-menerus. Dalam pandangan kelompok ini, hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dan besok akan lebih buruk dari hari ini. Demikian selanjutnya23. Kedua, varian yang meliaht umat Islam berada dalam gelombang naik-turun/maju mundur perkembangan peradaban yang semakin pesat ini, sikap muslim ternyata sangat bervariasi. Dan ketiga, varian yang melihat umat Islam berada dalam kemajuan yang terus menerus.24

Sikap varian ketiga (atau paling tidak varian yang kedua) memiliki optimisme yang tinggi untuk kembali mengembalikan Islam seperti yang pernah dicapai beberapa abad yang silam. Hal ini tidak terlalu berlebihan. Indikasi ke arah tersebut sebenarnya samar-samar sudah mulai ‘berwujud’ dengan semakin sadarnya umat Islam akan ketertinggalannya dan semakin tertariknya mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan fenomena ini diam-diam juga mulai megejutkan Barat. Tidak aneh (barangkali) kalau kemudian Thomas O’ Toole dan Marvin Centron menyatakan bahwa agama yang paling cepat perkembangannya adalah Islam. Islam adalah kepercayaan yang dominan di selebar dunia yang terbentang dari Maroko di Barat ke Pakistan melewati India sampai Malaysia dan Indonesia di Timur.25

Optimisme ini harus terus dikembangkan dan ditanamkan kepada peserta didik, tentunya melalui jalur pendidikan, baik yang formal, informal ataupun yang nonformal. Rasionalisme yang pernah dimiliki umat Islam, harus dibangkitkan kembali setelah ditinggalkan selama beratus-ratus tahun lamanya. Namun, rasionalisme tersebut harus tetap mengakar pada bimbingan dan petunjuk agama (religious framework), sehingga kemajuan yang akan dicapai akan membawa ketenangan dan kedamaian bagi hidup dan kehidupan.

b. Materi/Kurikulum : penyelarasan antara IQ, EQ dan SQ

Selama ini, orientasi pendidikan kita masih lebih banyak mengacu kepada upaya peningkatan kecerdasan intelektual (kognisi) saja, dengan ‘menyingkirkan’ pendidikan nilai dan kepribadian atau afektif. Tidak aneh kalau kemudian kita menyaksiakan kejahatan kelas ‘kakap’ (seperti KKN, penyalahgunaan wewenang atau jabatan, kekerasan dan tindak kriminal lainnya), menjadi begitu marak dan subur di negara ini. Sebab, dengan IQ yang tinggi, sesorang justeru menjadi semakin berbahaya karena dia bisa dengan (semakin) mudah melakukan kejahatan yang rapi dan profesional.

Berangkat dari fenomena di atas, maka pendekatan psikologi transpersonal dirasa penting untuk melihat sisi fundamental yang terabaikan dalam diri manusia ketika melihat berbagai kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Dalam psikologi transpersonal dikenal bahwa dalam diri manusia terdapat potensi spiritual yang akan melahirkan kecerdasan manusia pada tingkat yang lebih fundamental. Kecerdasan ini berkaitan erat dengan persoalan kehidupan yang paling mendasar. Inilah yang menentukan sejauh mana manusia memahami diri, makna dan tujuan hidup. Ketika wilayah ini tidak tersentuh perenungan manusia maka yang akanlahir adalah krisis eksistensial. Krisis ini akan berdampak luas, karena pemahaman tentang hal-hal yang fundamental menjadi kendali aktivitas manusia sehari hari. Yang jelas, manusia tidak akan hadir secara utuh, jika ada sisi dalam dirinya yang terabaikan.

Dalam kajian tentang persoalan ini, tentu saja buku-buku trend psikologi terbaru perlu menjadi rujukan. Ia merupakan studi-studi terdahulu tentang manusia berikut berbagai persoalan yang terjadi di kawasan lain. Daniel Goldman dengan bukunya Emotional Quetient (EQ) dan Danah Zohan & Ian Marshall dengan bukuknya Spiritual Quetient (SQ) perlu dikaji dan mendapat perhatian., terutama sebagai kerangka teori dan pendekatan. Kajian-kajian tersebut merupakan temuan baru yang menukik secara mendalam terhadap persoalan manusia, serta merupakan pendidikan yang bertujuan mencerdaskan sehingga manusia bisa menikmati hidup secara lebih baik, beradab dan damai.

Persoalan-persoalan yang muncul di negeri ini juga bisa dijelaskan dari perspektif dan kerangka teori seperti di atas. Artinya, ketika sistem pendidikan tidak mampu melihat manusia secara utuh, masalah akan timbul. Dalam penilaian penulis, selama ini sistem pendidikan yang terdiri dari kurikulum, pola pengajara, materi, orientasi serta para pelakunya telah terjebak dalam pandangan tidak utuh tersebut. Kesalahan rumusan tujuan pengajaran teologi Islam (tauhid) yang melahirkan ekslufisisme, wacana benar-salah, kafir-iman dan surga-neraka yang selalu diindoktrinasi, pendidikan yang tidak humanis dan kekerasan sistematis yang dilakukan guru terhadap peserta didik di ruang kelas serta pendidikan yang hanya mengarah pada pengembangan intelektual, termasuk contoh-contoh kesalahan pendidikan kita. Ini semua terjadi karena pendidikan kita sudah melupkan dimensi spiritual sebagai pijakan dalam menjalankan dan menerapkan kebijakannya.

Maka sangat penting (dan mendesak) untuk mencoba memasukkan bobot-bobot dan nilai-nilai spiritualitas dalam pendidikan kita (Islam); spritualitas yang bukan hanya sekedar lawan atau negasi dari materialias dan rasionalitas, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu spiritulaitas yang mampu membangun, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi kritis siswa sebagai pertanda keberadaan dan aktualitas hidupnya. Dengan daya kritis itulah, siswa akan mampu menerobos dan melampai batas-batas eksistensi dirinya. Inilah sebenarnya yang menjadi batas antara materialitas dan rasionalitas dengan spritualitas yang segera akan mencair ketika seseorang memasuki dimensi kritis dari dirinya sendiri.

Lebih jauh lagi, Pendidikan Islam musti terus menaruh perhatian yang serius terhadap upaya pengembangan bentuk kecerdasan ketiga (third intelligence) yaitu kecerdasan yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai Kecerdasan Spiritual (SQ; Spiritual Quotient); sebuah kecerdasan yang bertumpu dan mengakar pada hati nurani. SQ ini juga disebut sebagai soul’s intelligence. 26 Prof. Dr. Khalil Khavari menganggap SQ sebagai fakultas dari dimensi nonmaterial kita –ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya.27

Hal ini sangat penting, sebab kecerdasan inilah yang akan membantu manusia keluar dari berbagai krisis hidup dan krisis makna yang dihadapi seperti keterasingan, kegelisan dan problem eksistensi sebagaimana banyak diidap oleh masyarakat modern saat ini setelah mereka menuhankan akal dan telah mencapai kepuasan intelektual dengan berbagai penemuan ilmiah dan capaian teknologi yang terus meningkat. SQ is the intelligence with which we heal ourselves and with which we make ourselves whole.28

Kecerdasan spiritual inilah yang nampaknya tidak dimiliki Barat saat ini. Sehingga ketika mereka mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam berbagai bidang: ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka masih berada dalam krisis yang tak kunjung usai. Self- awareness (kesadaran diri) yang menjadi keriteria tertinggi kecerdasan spiritual sudah menghilang dari diri mereka. Inilah kondisi yang oleh Zohar dan Marshal disebut-sebut sebagai budaya yang bodoh secara spiritual (spiritually dumb culture). Maka Zohar dan Marshal mengatakan :

Developing greater self-awareness is a high priority for raising SQ. The first step, obiously, is simply to become aware of the problem, to become aware of how little I know about ‘me’. Then I must commit my self to some simple daily practices that I will improve my communacation with my self.29

Menyadari problem yang sedang terjadi dan menimpa serta mengenal diri sendiri adalah karakterisktik utama SQ yang sekaligus membedakan ia dengan IQ dan EQ. Komputer misalnya, memiliki IQ yang sangat hebat dan beberapa binatang tertentu memiliki EQ yang tinggi. Tetapi tidak satupun di antara mereka yang pernah bertanya: Mengapa ? Ada apa ? serta pertanyaan fundamental lainnya. Keduanya tidak pernah bertanya secara kritis why we have these roles or this sitiation.

Dari sinilah semakin jelas betapa pentingnya SQ (yang juga berfungsi untuk mengefektifkan fungsi IQ dan EQ) bagi kehidupan manusia modern. Barangkali tidak berlebihan jika Tanis Helliwell Toronto menyatakan bahwa SQ akan meningkatkan kesuksesan hidup pada dekade yang akan datang30.

Catatan Akhir

Ketika menyaksikan krisis yang melanda Barat, dengan jujur sekali Schumacher mengatakan “ tidak diragukan lagi, pasti ada yang salah dalam pendidikan kita”.31 Bahkan tiga perempat abad yang silam, presiden John B. Lyndon B. Johnson menegaskan bahwa “ …the answer for all national problems comes down to a single word : education.32

Dari sinilah kemudian pendidikan (terutama pendidikan Islam) mesti mampu merumuskan model pendidikan yang mampu menempatkan posisi akal (sebagai sumber ilmu pengetahuan) dan hati (atau agama) secara arif dan bijaksana sesuai dengan tugas dan proporsinya masing-masing. Pendidikan Islam mesti, dengan sendirinya, menjadi alternatif bagi semua permasalahan hidup yang ada, yang banyak dialami dan diidap oleh manusia modern saati ini, terutama Barat. Walaupun begitu, sangat menarik (dan mengesankan) apa yang pernah dinyatakan dengan begitu jujurnya oleh Muraf Hoffman bahwa Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi Barat pascaindustri. Karena memang hanya Islam-lah satu-satunya alternatif. 33

Semoga kita masih bangga dengan Islam.

*Penulis adalah alumnus pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sekarang menjadi staf pengajar di STIK Annuqayah Guluk-guluk.



1. Pernyataan itu bisa dilihat dalam buku Giddens, The Nation-State and Violoence (1985), dikutip I Wibowo dalam “Anthony Giddens,” Kompas, Edisi Khusus, 28 Juni 2000.

2. Hamid Basyaib, “Perspektif Sejarah Hubungan Islam-Yahudi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Th. 1993.

3. Berdasar deskripsi Mgr. Suharyo. Lihat catatan St. Sularto “Sejarah Pemahaman tentang Allah,” dalam Kompas, 3 Mei 2002.

4. Eric Fromm, Masyarakat yang Sehat, terj. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 16. Bahkan lebih dari 110 negara masih memperaktekkan penyiksaan karena alasan politik. Lihat St. Sularto, Op. Cit.

5. ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Membangun Jalan Tengah, Terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, Mizan, Bandung, 1992, hal. 87.

6. Ibid ., hal. 93.

7. Ibid., hal. 97.

8. Bahkan Run Way World menjadi salah satu judul bukunya. Dalam buku yang lain Giddens mengistilahkan “juggernaut” (truk besar) yang melaju kencang tanpa kendali sebagai metafor masa kini. Lihat Anthony Giddens, Consequences of Modernity, Stanford University Press, California, 1990, bab V, hal. 151.

9. Krisis manusia yang dimaksud adalah “krisis perspesi” tentang kehidupan. Lihat Frithof Capra, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Bentang, Yogyakarta, 1999, hal. xx.

10. Budhy Munawar-Rahman, “New Age,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 46-48 .

11. Eric Fromm, Lari Dari Kebebasan, terj. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 21

12. Tentang kolaborasi berbagai komponen tersebut, lihat I. Wibowo, “Anthony Giddens,” dalam Kompas, edisi khusus, 28 Juni 2000.

13. Lebih khusus lagi, Barat nampaknya semakin banyak menoleh dan memiliki perhatian yang serius terhadap dunia mistik-spiritualis, sehingga semboyan new age menjadi begitu ramai diperbincangkan banyak kalangan. Semboyan yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Abuderne (dalam mega trend 2000 yang menyebut slogan New Age dengan slogan Spirituality, Yes; Organized Religion, No!, memang cukup menandai pada kecenderungan tersebut. Lihat lebih jauh ulasan Budhy Munawwar Rachman, “New Age” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi….hal. 46-48

14. Kompas, Jumat 29 Mei 2002, hal 9

15. Lihat dalam karyanya “ The Influence of Islam on Medieval Europe” dalam Islamic Survey, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1972, hal. 84. Walaupun begitu, seperti diakui oleh Watt sendiri, besarnya sumbangan Islam itu selalu ditutup-tutupi oleh Eropa bahkan mereka terus berusaha menciptkan citra negatif terhadap Islam. Tindakan seperti ini oleh Watt disebut sebagai “ kompensasi untuk menuti rasa rendah diri terhadap Isalm”. (ibid, hal 82)

16. Dikutip oleh Dr. Aisyah Abdurrahman, Turatsuna Baina Madhi Wa Hadhir, Cairo, 1991, hal. 43-44

17. ibid, hal 8-9

18. Dr. Hasan Hanafi, Al-Tutats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Cairo, 1987, hal. 12-13

19.. Seperti dikutip oleh A.L. Tibawi dalam bukunya Islamic Education, Its Traditions and Modernazation into Arab National Systems, Luzac &Company LTD, London, 1972, hal. 68

20. E. F. Schumacher, Small is Beautiful, Perennial Library, New York, 1975, hal 80

21. Pernyataan tersebut dikutip oleh Gerald Lee Gutek dalam Philosophical and Ideological Perspectives on Education, Prentice Hall, New Jersey, 1988, hal. 194

22. ibid ,

23. Pandang seperti ini bisa saja salah manafsirkan hadits Nabi yang menyatakan bahwa paling baiknya kalian adalah yang berada di masa saya, setelah itu masa berikutnya, dan begitu seterusnya...

24. Murad Wilfred Hoffman, Al-Islam ‘Am 2000, Cairo, 1995, hal 11

25. Dikutip oleh Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Umat, Panji Masyarakat, No. 534

26. Danah Zohar dan Ian Marshall. SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000, hal. 9

27. Dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, SQ: Psikologi dan Agama, Pengantara untuk buku SQ, Mizan, Bandung, 2001, hal. xxvii

28. Danah Zohar dan Ian Marshall, Loc.Cit.

29. ibid, hal. 287-288

30. Pernyataan ini disampaikan oleh T.H. Toronto dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Spiritual Intelligence : A Key to Survival in the 21 st Century. Untuk mengetahui lebih jauh silahkan clik : http://www.spiritualitywork.org/helliwell-01.htm

31. E.F. Schumacher, Op.Cit. hal. 80

32. Samuel Bowles dan Herbert Gintis, Scholing in Capitalis America, Educational Reform and The Contradictions of Economic Life, Basic Book, New York, 1977, hal. 19

33. Murad Wilfred Hoffman, Al-Islam Ka Badil, Kuwait, 1993, hal. 20



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aisyah, Turatsuna Baina Madhi Wa Hadhir, Cairo, 1991.

Basyaib, Hamid, “Perspektif Sejarah Hubungan Islam-Yahudi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Th. 1993.

Bowles, Samuel dan Herbert Gintis, Scholing in Capitalis America, Educational Reform and The Contradictions of Economic Life, Basic Book, New York, 1977

Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Bentang, Yogyakarta, 1999.

Fromm, Erich, Lari Dari Kebebasan, terj. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995

Fromm, Erich, Masyarakat yang Sehat, terj. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994

Giddens, Anthony, Consequences of Modernity, Stanford University Press, California, 1990.

Hanafi, Hasan, Al-Tutats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Cairo, 1987

Hoffman, Murad Wilfred , Al-Islam Ka Badil, Kuwait, 1993

-----, Al-Islam ‘Am 2000, Cairo, 1995

Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, Membangun Jalan Tengah, Terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, Mizan, Bandung, 1992.

Kompas , Edisi Jumat 29 Mei 2002

Rahman, Budhy Munawar, “New Age,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996

Rakhmat, Jalaluddin, SQ: Psikologi dan Agama, Pengantar untuk buku SQ, Mizan, Bandung, 2001

Sardar, Ziauddin, Rekayasa Masa Depan Umat, Panji Masyarakat, No. 534

Schumacher, E.F. Small is Beautiful, Perennial Library, New York, 1975

Sularto, St. “Sejarah Pemahaman tentang Allah,” dalam Kompas, 3 Mei 2002.

Suharsona, Melejitkan IQ, IE dan IS, Inisiasi Press, Jakarta, 2002

Tibawi, A.L. Islamic Education, Its Traditions and Modernazation into Arab National Systems, Luzac &Company LTD, London, 1972.

Watt, W.M. “ The Influence of Islam on Medieval Europe” dalam Islamic Survey, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1972.

Wibowo, I, “Anthony Giddens,” dalam Kompas, edisi khusus, 28 Juni 2000.

Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN: ANTARA KUALITAS DAN KETERJANGKAUAN

Oleh : Ahmad Halimy, SE, M.Pdi*)



Pengantar

Adalah merupakan suatu hal yang telah mafhum bahwa salah satu di antara tujuan berdirinya republik ini adalah untuk melaksanakan pendidikan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Konstitusi juga menegaskan bahwa pendidikan adalah bagian dari hak warga negara yang harus diupayakan oleh negara. Lebih dari itu, pasal 31 ayat (4) bahkan mengamanatkan bahwa negara harus memprioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN untuk membiayai pendidikan.

Walaupun secara konstitusional pendidikan telah jelas mendapatkan perhatian, namun yang terjadi akhir-akhir ini dalam dunia pendidikan menunjukkan gejala yang tidak begitu menyenangkan. Paling kurang ada dua fenomena kurang menyenangkan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Yang pertama terlihat dari berbagai kritikan yang dialamatkan pada dunia pendidikan, yang dianggap gagal dalam membentuk sumber daya manusia yang
berkualitas. Jika merujuk angka indeks pembangunan manusia (human development index) yang dikeluarkan oleh UNDP, terlihat bahwa peringkat Indonesia sejak tahun 1998 terus menerus menempati nomor urut yang buncit. Di Asia Tenggara, Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar dalam kualitas SDM, dan bahkan telah dikalahkan oleh Vietnam. Untuk tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat ke-112 dari 174 negara. Peringkat ini melorot lagi pada tahun 2004 ini menjadi peringkat 114 (Wijdan, 2004). Terlepas dari permasalahan metodologis yang digunakan oleh UNDP dalam pemeringkatan ini, hal ini secara jelas menunjukkan memudarnya perbawa dunia pendidikan Indonesia dalam pandangan internasional dan belum berhasilnya dunia pendidikan untuk memenuhi cita-cita bangsa.

Pada aspek yang kedua, terjadi gejala komersialisasi pendidikan, menyusul ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi amanat UUD 1945 untuk menyediakan paling sedikit 20% APBN untuk membiayai pendidikan. Fenomena komersialisasi ini dapat dipahami sebagai sebuah gejala penerapan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, harus dipahami bahwa lembaga pendidikan bukanlah lembaga yang murni bersifat sosial, dan bersifat nirlaba (Drost, 1998:222). Dalam operasionalisasinya sebuah lembaga pendidikan memerlukan dana yang besar untuk membangun gedung, menyediakan fasilitas pengajaran yang memadai dan juga membiayai tenaga edukatif . Dari sisi ini, jelas bahwa pendidikan memang "harus" mahal, namun di sisi lain mahalnya biaya pendidikan akan mengakibatkan terhalangnya kaum tak punya (the have nots) untuk mendapatkan pendidikan yang baik, walaupun mereka memiliki bakat yang bagus.

Dua permasalahan inilah yang menjadi masalah yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia. Aspek pertama menyangkut idealisme dunia pendidikan sebagai sebuah wahana pengembangan sumber daya manusia. Jadi ini masalah quality. Sedangkan persoalan kedua adalah komersialisasi dunia pendidikan dengan segala implikasi lanjutannya., dan hal ini jelas menyangkut pemenuhan hak warga negara untuk memiliki akses menjalani proses pendidikan. Tentu saja ini terkait dengan masalah keterjangkauan biaya pendidikan untuk sebanyak mungkin warganegara (accessibility). Tulisan ini hanya akan menyoroti aspek kedua, yaitu aspek komersialisasi pendidikan yang beberapa waktu terakhir banyak dibicarakan di media massa.

Komersialisasi Pendidikan : Mengapa ?

Komersialisasi pendidikan dalam tulisan ini dimaknai sebagai sebuah manajemen pendidikan yang menempatkan lembaga pendidikan sebagai sebuah institusi komersial. Sebagai sebuah lembaga komersial, maka lembaga pendidikan akan menerapkan prinsip perilaku produsen dalam ilmu ekonomi liberal, yaitu bahwa tujuan produksi adalah untuk memaksimalkan profit (profit maximizing). Profit dalam hal ini dimaknai secara finanasial. Dalam literatur ekonomi, profit maximizing secara sederhana dilakukan melalui dua cara, yaitu mengurangi biaya (cost reducing) di satu sisi dan penaikan pendapatan (revenue increasing).

Paling tidak ada tiga fenomena yang menonjol yang menimbulkan diskursus tentang komersialisasi (atau bahkan kapitalisasi) dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Fenomena pertama adalah fenomena menurunnya kemampuan pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dengan harga terjangkau. Penurunan kemampuan pemerintah ini disebabkan oleh banyaknya alokasi anggaran yang dipakai untuk membayar kewajiban berupa hutang, baik hutang luar negeri maupun hutang domestik, disamping faktor-faktor lain seperti disalokasi anggaran pendidikan yang menimbulkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas. Hal ini ditambah lagi dengan kekurangpedulian elite politik terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia secara menyeluruh, sehingga masalah pendidikan seringkali hanya menjadi retorika kampanye daripada sebuah program yang ingin dilaksanakan dengan tekad yang kuat.

Menurut catatan UNDP (United Nation Development Programme), dana pendidikan di Indonesia hanya 1 persen dari GNP (Gross National Product, keseluruhan nilai produk yang dihasilkan oleh warga negara Indonesia). Padahal, angka rata-rata untuk negara terbelakang saja sudah mencapai 3,5 % dan negara sedang berkembang 3,8 %. Dana pendidikan kita lebih kecil dari Australia, Malaysia, Singapura dan Thailand yang masing-masing sudah-sudah mengalokasikan 5,6 %; 5,2 %; 3,0 % dan 4,1 % dari nilai GNP mereka untuk mengembangkan sektor pendidikan (Supriyoko, 2001). Tak heran bila perkembangan pendidikan di Indonesia terus tertinggal di belakang negara-negara yang lain. Masalah utamanya terletak pada masalah political will yang rendah, di samping memang kondisi anggaran yang terus menerus mengalami defisit.

Implikasi lebih lanjut dari penurunan kemampuan pemerintah untuk membiayai pendidikan ini adalah adanya pengalihan beban finansial ini pada lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk otonomi penyelenggaraan pendidikan di masing-masing lembaga, yang terutama tampak pada perubahan status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Otonomi ini tentu saja tidak hanya menyangkut pelimpahan wewenang pengelolaan lembaga, namun juga pelimpahan sebagian beban keuangan yang selama ini disubsidi pemerintah.

Alasan yang diajukan pemerintah cukup logis, dan merupakan alasan klise dalam setiap kebijakan pengurangan subsidi oleh pemerintah. Pengurangan subsidi terhadap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) selain karena penurunan kemampuan keuangan pemerintah, juga dilakukan agar pemerintah tidak mensubsidi kelompok yang kaya (the have) yang sebenarnya mampu untuk membiayai pendidikannya secara mandiri. Selain itu, studi ekonomi pendidikan di Amerika Latin menunjukkan bahwa semakin besar anggara pemerintah yang dialokasikan untuk pendidikan tinggi, akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dan kesenjangan tingkat pendapatan (Ikhsan, 2000). Hanya saja, masalah yang muncul adalah bagaimana agar pemerintah bisa menyalurkan subsidi secara selektif, tanpa ada kekhawatiran kebocoran dan misalokasi subsidi bagi kelompok yang miskin secara finansial namun kaya secara intelektual. Di sinilah kita sekali lagi berhadapan dengan pendataan yang seringkali kurang akurat dan terlambat yang seringkali terjadi di negara yang belum maju seperti Indonesia (Arsyad, 2002).

Fenomena kedua, adalah fenomena peningkatan biaya masuk sekolah yang akhir-akhir ini dikeluhkan oleh sebagian wali murid. Berbeda dengan fenomena yang pertama yang banyak dikeluhkan oleh kalangan mahasiswa perguruan tinggi, fenomena yang kedua ini banyak terjadi di sekolah-sekolah tingkat menengah. Hal ini menyusul penerapan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) yang memberikan kesempatan pada pihak sekolah untuk melakukan semua kebijakan yang dianggap perlu untuk meningkatkan mutu sekolahnya, tentu saja setelah berkonsultasi dengan Komite Sekolah. Dengan alasan inilah, setiap sekolah kemudian seakan berlomba untuk menetapkan biaya masuk sekolah yang cukup besar pada setiap calon murid baru.

Walaupun belum ada studi yang jelas dan akurat tentang berapa banyak wali murid yang diberatkan oleh beban biaya masuk sekolah yang tinggi ini, namun yang jelas peningkatan biaya ini menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan pertama terkait dengan proses pengambilan keputusan untuk menaikkan biaya pendidikan. Hingga saat ini belum ada studi yang cukup baik untuk menunjukkan peran representativitas (representativeness) serta partisipasi efektif komite sekolah dalam pengambilan keputusan. Lepas dari urusan demokratis tidaknya proses pemilihan komite sekolah, peran dan partisipasi komite ini dalam penyelenggaraan pendidikan sampai saat ini perlu diragukan efektivitasnya. Terdapat kecenderungan bahwa komite sekolah banyak yang kurang mengerti tentang tugas dan tanggungjawab yang diembannya, sehingga tidak secara efektif mempengaruhi pelaksanaan pendidikan dalam lembaganya. Disini ada permasalahan kekurangpedulian di satu sisi, dan kekurangmengertian di sisi lain, sehingga aspek keterwakilan komite sekolah seringkali hanya merupakan formalitas dan status yang tidak bermanfaat nyata bagi perkembangan mutu sekolah secara utuh.

Fenomena yang ketiga adalah maraknya lembaga bimbingan yang menawarkan layanan pendidikan (atau persisnya, pengajaran) dengan orientasi yang betul-betul market-oriented. Dalam banyak hal, lembaga bimbingan ini bahkan menjadi pesaing sekolah dalam hal kualitas, walaupun belum menjadi pesaing dalam hal formalitas karena kewenangan memberikan ijazah resmi tentang pendidikan (Nasution, 2000). Sebagai sebuah lembaga berorientasi pasar, lembaga-lembaga bimbingan ini telah menetapkan target pasar tertentu. Beberapa di antara mereka bahkan dianggap mampu menerapkan strategi pemasaran yang cukup baik sehingga menangguk untung yang cukup besar secara finansial.

Maraknya lembaga pendidikan ini paling tidak dipicu oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah kurang efektifnya pelaksanaan pengajaran di sekolah. Tentu saja ada banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas pengajaran di sebuah sekolah, termasuk di antaranya adalah faktor heterogenitas siswa yang menyebabkan sulitnya untuk melakukan penyeragaman metode mengajar –dan bahkan keseragaman materi pembelajaran. Para siswa di lembaga bimbingan pada umumnya memiliki karakter yang lebih homogen, baik secara mental (well motivated), ekonomi (well financed) maupun secara intelektual (well educated).

Faktor kedua yang mendorong maraknya lembaga bimbingan adalah kecenderungan kognitivasi berlebihan dalam dunia pendidikan. Kognitivasi dimaksud adalah penekanan keberhasilan pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek kognitif. Kognitivasi ini kemudian berimplikasi secara luas pada proses dan prosedur evaluasi pendidikan yang dilakukan. Sifat evaluasi kemudian bersifat satu dimensi (mono-dimentional). Dalam bahasa yang mudah, kesuksesan sekolah dinilai dari sisi akademik semata, dan sisi akademik ini dinilai melalui proses evaluasi yang seragam. Sebutlah misalnya pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) yang akhir-akhir ini banyak dikritik, karena menggantungkan kelulusan siswa dari sekolah pada aspek akademik belaka yang penilaiannya hanya didasarkan pada evaluasi kognitif yang disimpulkan dan disederhanakan pada sebuah ujian selama 120 menit, daripada penilaian terhadap keseluruhan proses. UAN kemudian menjadi sebuah orientasi umum lembaga pendidikan, dan di sinilah lembaga bimbingan mengembangkan sistem pengajaran mereka. Tujuan pengajaran dalam lembaga pendidikan adalah mengajarkan bagaimana siswa bisa menjawab soal-soal dalam ujian secara cepat dan tepat. Dalam hal ini, harus diakui bahwa lembaga bimbingan ini –karena beragam faktor, memiliki keberhasilan yang lebih baik dibanding lembaga pendidikan formal. Jika tujuan pendidikan tak lain tak bukan hanyalah kemampuan menjawab soal dalam ujuan, tak salah bila mendiang Prof. Andi Hakim Nasution (2001) pernah mengeluarkan sebuah sindiran pedas pada sekolah formal dengan menulis sebuah artikel dengan judul yang sangat pedas : Tutup Sekolah Formal, Gantikan dengan Bimbel !.

Tiga fenomena inilah yang menjadi pemicu dari maraknya wacana tentang komersialisasi pendidikan. Dua yang pertama mempermasalahkan tingginya biaya pendidikan pada lembaga pendidikan formal yang secara ideal memang bukan sebuah lembaga bisnis, sedangkan yang terakhir berkaitan dengan bisnis pendidikan yang memang pada awalnya memiliki target-target bisnis dalam pelaksanaannya. Dua fenomena yang pertama memiliki sifat yang lebih penting, karena berkaitan dengan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan dan juga berkaitan dengan kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Fenomena yang terakhir lebih terkait dengan bisnis swasta dalam skala yang terbatas. Hubungannya dengan sekolah formal lebih pada peningkatan daya saing dan kemampuan mengajar pada sekolah-sekolah formal, agar tak muncul guyonan bahwa yang membuat sekolah formal masih bertahan hingga saat ini hanyalah karena ia memiliki wewenang mengeluarkan ijazah, dan bukan karena ia benar-benar dibutuhkan dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

DUA JENIS KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Dalam mengamati komersialisasi pendidikan, adalah penting untuk membuat sebuah pembedaan antara berbagai jenis komersialisasi pendidikan, terutama dalam jenjang sekolah formal. Prof. Muchtar Buchori (1998) menyebutkan dua jenis komersialisasi dalam dunia pendidikan. Yang pertama adalah komersialisasi yang "membunuh" idealisme pendidikan, dan yang kedua adalah jenis komersialisasi yang "tidak membunuh" idealisme pendidikan. Pembedaan ini menjadi penting karena dalam prakteknya, komersialisasi pendidikan memiliki pola dan tujuan yang beragam. Generalisasi yang berlebihan tentu saja tidak perlu, karena hal tersebut bertentangan dengan oibyektivitas yang diinginkan.

Komesialisasi yang pertama muncul ketika sebuah lembaga pendidikan di tingkat dan jenjang apapun sejak SD hingga S3 melakukan hanya mementingkan penarikan uang pendidikan semata, dengan tidak memperhatikan kualitas lulusan, serta praksis-praksis pendidikan yang ideal. Di sini, pendidikan ditujukan untuk mendapatkan uang semata, dengan mengabaikan tujuan pedagogis yang sebenarnya ingin dicapai.

Dalam konteks komersialisasi jenis pertama inilah kita melihat bahwa fenomena jual beli gelar yang sekarang marak terjadi, ataupun penarikan biaya pendidikan yang semakin tinggi tanpa ada dampak yang jelas terhadap peningkatan mutu pendidikan merupakan sesuatu yang tidak saja inefisien dan inefektif, namun perlahan namun pasti akan membunuh pendidikan. Idealnya, pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas manusia, baik secara fisik, moral maupun intelektual akhirnya direduksi menjadi seperti proses bisnis pada dunia industri an sich dengan ukuran kesuksesan yang hanya bersifat material semata. Apabila fenomena komersialisasi semacam ini tidak mendapat perhatian, maka sekolah ataupun perguruan tinggi tak lebih dari sekedar sebuah perusahaan penjual ijazah formal, tanpa substansi yang berarti. Kualitas pendidikan akan semakin merosot, dan intelektualitas adalah sederet gelar akademis yang bisa dibeli dan diperjualbelikan. Alih-alih membentuk kehidupan bangsa yang cerdas, pendidikan yang dikomersilkan dengan cara seperti ini hanya akan mengabdi pada pembodohan massal dan penipuan pada diri sendiri.

Komersialisasi jenis kedua adalah komersialisasi yang tidak akan membunuh idealisme pendidikan. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan mencari uang untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran, karena sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan pendidikan memerlukan dana yang besar, sesuai dengan skala yang dikelola. Menurut J. Drost (1998,220), dana pendidikan yang besar paling tidak diperlukan untuk menunjang tiga hal yang merupakan syarat berlangsungnya pendidikan, yaitu : penyediaan tempat belajar yang memadai, penyediaan sarana dan prasarana dan perbaikan kualitas staf pengajar.

Penyediaan tempat belajar adalah satu hal yang niscaya, karena tidak mungkin murid akan berpindah tempat belajar secara terus menerus. Penyediaan tempat belajar ini tentu saja membutuhkan pembangunan gedung atau bangunan, dan juga pemeliharaannya. Kedua hal ini jelas membutuhkan uang.

Kebutuhan kedua adalah penyediaan sarana prasarana belajar yang memadai. Perpustakaan, laboratorium, buku pegangan pelajaran, komputer adalah sarana prasarana yang semestinya disediakan dengan baik untuk menunjang proses pembelajaran. Untuk itu, sebuah lembaga pendidikan memerlukan dana yang tidak sedikit untuk pengadaan, pengaturan dan pemeliharaannya. Apabila faktor penyediaan sarana prasarana ini tidak memadai, maka dapat dipastikan bahwa kualitas pembelajaran yang berlangsung akan tidak terlalu baik.

Faktor sarana prasarana inilah yang menjadi salah satu penyebab ketertinggalan pendidikan di Indonesia. Untuk kemampuan melek teknologi misalnya, bila di negara seperti Singapura setiap siswa setingkat SD pada umumnya telah mengenal internet karena di setiap sekolah disediakan secara mudah, maka Indonesia belum mampu melaksanakan hal ini karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh lembaga pendidikan. Oleh karena itu, merupakan sebuah keharusan untuk mempertimbangkan berbagai cara yang mungkin untuk mempebaiki ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai di tiap sekolah, termasuk di antaranya dengan menaikkan biaya pendidikan.

Kebutuhan kedua merupakan syarat mutlak terjadinya pembelajaran yang efektif. Staf pengajar atau guru yang berkualitas adalah sebuah syarat mutlak pembelajaran yang berkualitas. Peningkatan kualitas guru ini mengimplikasikan sebuah semangat dan etos bahwa setiap guru dianjurkan untuk terus menerus meningkatkan kualitas, kemampuan dan profesionalitasnya. Untuk terus meningkatkan kualitasnya inilah seorang guru dianjurkan untuk terus belajar, baik tentang materi pelajarannya ataupun tentang metode pengajaran yang efektif. Seorang guru misalnya, perlu untuk berlangganan koran atau jurnal-jurnal ilmiah, dan semua ini memerlukan dana. Untuk itu, faktor kesejahteraan guru menjadi penting untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan guru untuk meningkatkan diri.

Apabila sebuah lembaga pendidikan menetapkan biaya pendidikan yang mahal untuk tujuan perbaikan mutu pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas, maka hal semacam ini tentu tak pantas disebut sebagai sebuah komersialisasi pendidikan dalam konotasi yang negatif. Komersialisasi jenis ini bahkan akan mengangkat kembali kualitas pendidikan yang selama ini terpuruk karena minimnya dana yang dialokasikan pemerintah untuk pendidikan. Apabila upaya ini berhasil, maka paling tidak ada dua keberhasilan yang telah dicapai oleh dunia pendidikan formal. Keberhasilan pertama adalah keberhasilan meningkatkan kualitas proses pengajaran di kelas formal, dan yang kedua adalah keberhasilan untuk menjadikan lembaga relatif lebih independen terhadap faktor bantuan pemerintah. Hal yang kedua ini menjadi esensial karena kemampuan pemerintah untuk membiayai pendidikan dan memenuhi amant konstitusi untuk mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan hampir pasti tak akan bisa dicapai, mungkin hingga 10 tahun ke depan karena sebagian besar dana APBN habis untuk membayar hutang.

Bertolak dari pola pikir tersebut, adalah penting untuk mengidentifikasi jenis komersialisasi apa yang sekarang sedang berlangsung di Indonesia pada umumnya, atau di daerah paad khususnya. Apabila yang berlangsung adalah komersialisasi jenis pertama, maka hal ini akan memiliki implikasi destruktif terhadap idealisme pendidikan. Sedangkan apabila yang terjadi adalah komersialisasi jenis kedua, maka hal itu malah menunjukkan gejala kebangkitan dunia pendidikan. Identifikasi ini harus dilakukan oleh instansi pemerintah (terkhusus Departemen Pendidikan Nasional dan Bidang Mapenda Departemen Agama), komite sekolah dan masyarakat secara luas agar pelaksanaan perbaikan mutu pendidikan ini mendapat monitoring, evaluasi dan perbaikan yangmemadai. Maka dalam hal ini yang paling penting adalah upaya mengembangkan dan mengimplementasikan indikator penilaian terhadap efektivitas penggunaan dana sekolah yang didapat dari peningkatan biaya pendidikan tersebut, juga mengukur keberhasilannya dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Jadi, ada dua indikator yang harus dibuat oleh pihak penilai, yaitu indikator penggunaan dana, yang mencakup transparansi dan akuntabilitas manajemen keuangan dan indikator peningkatan mutu, yang mencakup peningkatan kualitas mutu siswa dan proses pembelajaran yang terjadi di sekolah.

MEMBERI PELUANG BAGI YANG MISKIN : MANAJEMEN EKSES

Kenaikan biaya pendidikan yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan image yang kurang baik bagi dunia pendidikan, sehingga istilah komersialisasi memiliki konotasi yang sangat negatif. Benny Susetyo dalam kolomnya di Jawa Pos (24 Agustus 2004) bahkan menyebut bahwa dengan kebijakan peningkatan biaya pendidikan yang dilakukan oleh sejumlah PTN favorit, maka berarti orang miskin di Indonesia dilarang sekolah. Berbagai komentar miring dan tanggapan negatif juga bermunculan di banyak media massa. Walaupun pihak PTN menyatakan bahwa peningkatan biaya pendidikan ini adalah untuk peningkatan mutu, namun banyak pihak meragukan efektivitasnya dalam peningkatan mutu pendidikan. Hal yang sama terjadi pada sekolah menengah. Kebijakan menaikkan biaya masuk dan biaya pangkal di beberapa sekolah negeri menjadi pangkal timbulnya kritik pedas dari berbagai kalangan.

Kritik terhadap kebijakan menaikkan biaya pendidikan ini harus ditanggapi secara positif. Munculnya kritik semacam ini menunjukkan bahwa kebijakan komersialisasi pendidikan bahkan jika ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan sangat potensial memicu kontroversi. Di satu sisi, ia akan meningkatkan kemampuan keuangan sekolah uintuk melakukakan langkah-langkah peningkatan mutu, namun di sisi lain ia merupakan mekanisme seleksi yang diskrimintif terhadap warga negara yang ingin menjalani proses pendidikan namun terhambat oleh kemampuan ekonomi yang terbatas.

Dalam konteks ini, adalah penting bagi sekolah yang melakukan kebijakan peningkatan biaya pendidikan untuk melaksanakan beberapa hal. Hal ini harus didukung oleh adanya pengawasan dan keterlibatan dari instansi pemerintah, terutama pengawas pendidikan dan masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak kebijakan. Langkah pertama adalah melakukan perbaikan manajemen keuangan, sehingga masalah yang terkait dengan keuangan terlaksana secara jujur dan transparan. Hal ini untuk mencegah adanya tuduhan dan gossip penyalahgunaan dana masyarakat yang diakui atau tidak sering muncul dalam setiap proyek pendidikan. Kedua, membuktikan efektivitas peningkatan biaya pendidikan terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dengan melihat adanya perbaikan mutu –terutama dari aspek kualitas anak didik, maka sekolah telah membuktikan bahwa peningkatan biaya pendidikan yang mereka lakukan adalah untuk kemajuan siswa itu sendiri, yang secara otomatis akan berdampak pada kemajuan sekolah.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah mengatasi ekses atau efek samping dari kebijakan peningkatan biaya pendidikan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, biaya pendidikan yang tinggi akan sangat sulit untuk dijangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dalam hal ini, adalah penting bagi sekolah –dan terutama pemegang kebijakan pendidikan, untuk memikirkan cara mempermudah akses masyarakat kelompok ini pada pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan bakat dan inteletualitas yang mereka miliki. Pada masyarakat kelompok ini, kebijakan subsidi sangatlah tepat sasaran. Yang menjadi permasalahan utama dalam hal ini, adalah bagaimana untuk mendapatkan database yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan validitasnya tentang kondisi ekonomi seorang calon siswa.

Apabila kita melihat pada penerapan sistem jaminan sosial (mencakup jaminan terhadap kalangan tidak mampu dalam hal kebutuhan pokok, termasuk pendidikan dan kesehatan) di negara-negara yang sudah maju, terlihat bahwa sistem jaminan sosial terbut didasarkan pada data yang valid. Di Indonesia, data fakir miskin, anak yatim dan anak terlantar dan mereka yang dalam pasal 34 UUD 1945 dikatakan akan dibantu oleh negara belum tersedia secara lengkap. Kalaupun ada, data yang tersedia seringkali kurang valid sehingga kemungkinan penyaluran dana yang tidak tepat sasaran dapat terjadi.

Dalam hal ini, pihak Departemen Pendidikan Nasional perlu mengadakan kerjasama dengan instansi-instansi yang seperti BPS, dan pemerintah daerah untuk mendapatkan data orang miskin yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan indikator-indikator yang terukur. Setelah ada data, selanjutnya dapat dipikirkan bagaimana membuat sebuah kebijakan diskriminatif yang adil bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Sekolah sebagai ujung tombak pendidikan juga harus pro aktif memikirkan cara agar mereka yang memiliki kemauan untuk menuntut ilmu namun dihambat oleh kemampuan ekonomi yang terbatas dapat terus menjalani proses pendidikan. Terus terang, walaupun hal ini terlihat mudah, namun melaksanakannya seribu kali lebih sulit daripada sekedar mengatakannya.

Penutup : Refleksi

Istilah komersialisasi pendidikan dapat dipergunakan untuk mengacu pada dua hal yang berbeda. Istilah ini dapat merujuk pada sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki program dan sarana prasarana yang baik, dan ditunjang dengan biaya pendidikan yang mahal. Biaya pendidikan yang mahal ini menyebabkan sekolah-sekolah ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan kaya yang mampu secara ekonomi, jika dan hanya jika tidak ada kebijakan diskriminatif yang adil. Istilah komersialisasi pendidikan juga bisa mengacu pada sekolah yang hanya mementingkan penarikan biaya pendidikan seperti uang sekolah dan uang kuliah yang tinggi, namun tak memperhatikan peningkatan mutu proses pendidikan yang berlangsung.

Bentuk komersialisasi yang pertama didasarkan pada kebutuhan obyektif lembaga untuk mengembangkan sebuah proses pendidikan yang berkualitas, sedangkan yang kedua didasarkan pada nafsu serakah para pengelola pendidikan. Tentu saja dua jenis komersialisasi ini harus disikapi secara berbeda, karena yang satu timbul dari kepedulian terhadap pendidikan, sedangkan yang lain berawal dari ketidakpedulian pada pendidikan.



Sumenep, 24 November 2004

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jember dan Pascasarjana Tarbiyah Universitas Islam Malang. Sekarang mengajar di beberapa MA di Sumenep.



DAFTAR BACAAN

Arsyad, Lincolin. 2003. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : AMP YKPN

Bukhori, Muchtar. 1998. Komersialisasi Idealisme Bukan Tabu, dalam Jurnal Kebudayaan Basis nomor 01-02 Tahun ke 47 Januari-Februari 1998.

Nasution, Andi Hakim. 2001. Tutup Sekolah Formal Gantikan dengan Bimbel, dalam Gatra edisi 30 Juni 2001.

Drost, J.I.G.M. 1998. Sekolah : Mengajar atau Mendidik ?. Yogyakarta : Kanisius.

Ikhsan, Moh. 2000. Pembiayaan Pendidikan, dalam Panji edisi 20 September 2000.

Susetyo Pr., Benny. 2004. Orang Miskin dilarang Sekolah, dalam Jawa Pos 24 Agustus 2004.

Supriyoko, Ki. 2001. Quo Vadis Pendidikan Nasional, dalam Panji edisi 9 Mei 2001.

Wijdan, Aden. 2004. Tragedi Pendidikan Mahal, dalam Jawa Pos 9 Agustus 2004.

Lencana Facebook