Tuesday, February 15, 2011

Krisis Manusia Modern dan Peran Pendidikan Islam

Abdul Wahid Hasan*



Dunia yang Tak Terkendali.

Anthony Giddens menyebut abad XX sebagai “abad berdarah dan menakutkan” (the twentieth-century world is a bloody and frightening one). Dasar kesimpulan ini terutama merujuk pada dua perang dunia yang terjadi dalam dua kurun waktu kurang dari 40 tahun dengan korban jiwa tak terhingga.1 Pernyataan itu juga tidak bisa dilepaskan dari pembantaian tidak kurang dari 6 juta orang Yahudi oleh Hitler di tahun 1940-an, terutama di kamp-kamp konsentrasi Auschwits, Bergen-Belsen, Dachau dan Treblingka,2 seperti juga pembantaian para petani oleh Stalin di tahun-tahun yang sama dan disusul pembantaian rakyat sipil Kamboja oleh Polpot di masa berikutnya. Di penghujung abad ini masyarakat dunia juga dikejutkan oleh pembersihan etnis (etnic cleansing) Bosnia-Kroasia oleh Serbia. Dan di awal milenium ketiga, masyarakat dunia dihentakkan oleh tragedi 11 September oleh para teroris.

Selain tindak kekerasan, berbagai tragedi kemanusiaan ini semakin lengkap dengan ketimpangan ekonomi yang semakin menjadi-jadi. Kemiskinan menjadi fakta gelobal. Dunia yang telah dihuni oleh 5,7 miliar jiwa, 1,5 milyar darinya termasuk ketegori sangat miskin. Lebih dari satu miliar penduduk hidup dengan 1 U$ perhari, sementara 358 orang mengumpulkan modal pribadi sekitar 762 milyar U$.3 Maka kelaparan juga masih menjadi warna di banyak negara dunia ketiga.

Sedang di negara maju yang makmur secara material, justru berhadapan dengan
tindak kriminal biasa yang telah mencapai tingkat yang tidak bisa ditolerir. Di beberapa negara maju (Eropa dan Amerika) pembunuhan mencapai kisaran 35,6 dalam setiap 100.000 penduduk.4 Berdasar laporan tahunan FBI, di Amerika, pada tahun 1965, telah terjadi lima juta tindak kejahatan --rata-rata satu kejahatan setiap 12 detik, satu pembunuhan hampir setiap jam, satu pemerkosaan setiap 25 menit, satu perampokan setiap 5 menit dan pencurian mobil setiap menit. Demikian juga di Inggris, Jerman, Prancis dan negara maju lainnya. “Planet kita adalah lautan kejahatan,” kata seorang kriminolog Amerika.5 Belum lagi krisis ekologi yang sangat mengkhawatirkan. Lebih dari 80% air di Amerika tercemar limbah industri, kandungan asam tembaga pada kabut kota London tahun 1952 membunuh lebih dari 4000 orang perhari, kematian yang diakibatkan oleh kangker paru-paru melonjak 40 kali lipat sejak lima puluh tahun terakhir.6

“Semua pada akhirnya tak manusiawi,” kata kaum nihilis. “Semuanya diperbolehkan, karena Tuhan tidak ada dan manusia sudah mati,” gumam Albert Camus.7 Dunia sekarang adalah “dunia yang lari tunggang langgang” (run away world), kesimpulan Anthony Giddens.8 Sepertinya, kiamat memang tidak akan lama lagi.

Berakar dari Krisis Manusia.

Krisis dunia saat ini memang tampak dalam semua sektor kehidupan. Tapi bukan kesimpulan yang simplistis jika dikatakan bahwa semuanya berakar dari krisis manusia itu sendiri. Ada yang menyebutkan “krisis spiritual”, yang lain menyebutnya “krisis eksistensial.”9 Dalam bahasa yang lebih gamblang, manusia saat ini sedang mengalami kehampaan makna hidup. Dominasi dan hegemoni kehidupan materialistik dan positifistik telah mengantar manusia pada penghancuran dimensi hidup yang lain, yakni dimensi spiritual.

Spiritualitas adalah dimensi yang berada di luar lingkaran kultur materialistik dan positivistik. Ia merupakan dunia, tempat manusia menghubungkan diri dengan The Higher Consciousness atau The Source.10 Dari hubungan ini manusia akan menemukan makna hidup, memahami diri secara utuh dan memberikan arti realitas dalam kondisi merdeka dari kungkungan dimensi material.

Keterputusan dengan The Higher Consciousness kemudian termanifestasi pada tindakan-tindakan yang tidak mempertimbangkan kemanusiaan. Semuanya diukur dengan kepentingan materialistik dan positivistik. Manusia tidak lagi percaya pada potensi dalam dirinya sendiri sehingga harus menggantungkan diri pada hal-hal yang bersifat eksternal.11 Baginya, kesejahteraan tergantung pada kekayaan, rasa aman tergantung pada pemilikan senjata dan pemusnahan segala yang dianggap lawan, kehormatan tergantung pada jabatan, prestasi dan materi, kebahagiaan tergantung pada kebebasan berbuat apa saja.

Dengan kesadaran semacam itu, manusia menyadari bahwa ia harus berjuang untuk mempertahankan diri dan mencapai keinginan yang dianggap sebagai sebagai tujuan hidup. Perkembangan pesat sains hanya untuk kepentingan merancang teknologi. Teknologi dipakai untuk mencapai tujuan hidup individualistik dengan menghalalkan segala cara. Sains dan teknologi hanya diperalat dan berkolaborasi dengan kekuatan kapital. Karena kolaborasi itu akan mencapai target seperti yang diinginkan, ia memerlukan kondisi yang kondusif sehingga diperlukan keterlibatan negara, baik untuk kepentingan perlindungan eksternal atau internal. Inilah yang mengakibatkan dunia carut marut dan “lari tunggang langgang” (run way world).12

Peran dan Posisi Pendidikan Islam

a. Belajar dari Sejarah

Dari berbagai persoalan yang timbul dalam peradaban modern (khusunya Barat ) saat ini, secara diam-diam banyak yang mulai melirik kembali dunia Timur13 (baca : Islam) sebagai solusi alternatif atas krisis multidemensi (terutama moral, existential and spiritual problems and crisis) yang sedang melanda dan mencabik-cabik kehidupan mereka. Sebab, walaupun Islam pernah memimpin dunia dan berada di puncak kejayaannya dalam rentang waktu yang cukup lama, tetapi umat Islam tidak pernah mengalami apa yang dialami Barat selama ini, setelah Barat mencapai puncak kejayaannya. Hal ini paling tidak disebabkan karena walaupun Islam ketika itu memposisikan akal begitu tinggi dan terhormat hingga banyak melahirkan banyak filsuf dan cendikiawan lainnya, tetapi mereka tetap menjunjung tinggi agama (wahyu) sebagai garis perjuangan dan perjalanan karir mereka.

Secara historis, Islam sudah terbukti memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, sehingga banyak memberikan sumbangan terhadap kemajuan peradaban manusia (termasuk Barat) saat ini. Dalam acara penandatanganan kerjasama UIN (Universitas Islam Negeri, yang semula bernama IAIN Syarif Hidayatullah) dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa di Jakarta (Kamis tanggal 30 Mei 2002) cendikiawan muslim Nurcholish Madjid menyatakan bahwa selain melahirkan ilmu-ilmu yang orisinal, jasa terbesar Islam dalam perkembangan peradaban manusia adalah merangkum ilmu dari berbagai bangsa di dunia. Hal ini bisa dilakukan karena Islam pada masa awal perkembangannya menguasai wilayah Timur Tengah yang sangat strategis dan dekat dengan pusat-pusat peradaban saat itu 14.

Pengakuan bahwa Islam telah banyak berjasa terhadap kemajuan Barat saat ini, tidak hanya datang dari kalangan Islam (yang bisa saja mengandung unsur-unsur subyektifitas), tetapi juga dari sarjana Barat sendiri. W. Montgomery Watt misalnya mengatakan :

..it clear that the influence of Islam on western Cristendom is greater than usully realized. Not marely did Islam share with western Europe many material products and tecnological discoveries; not merely did it stimulate Europe intellectually in the fields of science and philosophy; but it provoked into forming a new image of itself.15

Selain itu, kita melihat bahwa sejarah pendirian Universitas Napoli pada tahun 1224 oleh Pangeran Frederik adalah dimaksudkan sebagai media transformer peradaban dan karya intelektual umat Islam ke dunia Barat. Universitas Polonia dan Padova, misalnya, menjadikan filsafat Ibnu Rusyd (mereka menyebut: Averroes) dan kedokteran Ibnu Sina (mereka menyebut : Avicenna) sebagai materi pokok di universitas tersebut. Selama berabad-abad ilmu kedokteran Islam menjadi mata kuliah pokok fakultas kedokteran di universitas-universitas Barat. Universitas-universitas lainnya berdiri untuk secara tekun menguliti peradaban Islam dan mengambil sari pati dari peradaban tersebut. Fakta ini secara jelas dapat dibaca dalam buku Gustav Lebon, Miguel Asin Plasius, buku The Influence of Islam on Medieval Europe karya W. Montgomery Watt, buku karya Moritz Steinschneider, buku Studies in the History of Medieval Science karya Charles Homer Haskins, buku Introduction to the History of Science karya George Sarton, buku Arabic Science in the West karya D. M. Dunlop dan buku- buku lainnya. Tidak berlebiah kalau akhirnya para pakar dan sejarahwan Barat seperti Wels, Lebon, The Boer, Ollery, Toynbee dan Watt sampai pada kesimpulan dan pengakuan yang begitu jujur bahwa intelektual Islam-lah yang telah menyalakan api renaissance peradaban Barat.16

Dari sini kemudian bisa ditegaskan bahwa Islam memiliki warisan klasik (turats) yang sangat kaya, dan jangkauannya tidak bisa dibatasi oleh wilayah dan zaman tertentu. Lebih jauh, Asisyah Abdurrahman menyatakan bahwa kebudayaan Mesir kuno yang tertulis di atas kertas-kertas papirus adalah termasuk turats Islam, termasuk peninggalan kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib dan wilayah-wilayah lain. Hal ini karena penduduk wilayah tersebut telah memeluk Islam. Otomatis, mala lampua mereka menjadi milik Islam pula.17

Jauh lebih penting dari ‘klaim’ di atas, adalah bahwa turats, seperti dinyatakan oleh Hasan Hanafi, memiliki dua bentuk; material (yaitu manuskrip dan kumpulan kitab-kitab yang tersimpan di musium, perpustakaan dan lain-lain) dan yang berbentuk immaterial yaitu warisan kejiwaan dan adat istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat.18

Semangat yang tersimpan di balik turats yang berbentuk immaterial inilah yang semestinya terus dipupuk dan dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam. Pendidikan memegang peran penting dan menempati posisi yang vital untuk bisa membangkitkan kembali semangat belajar, meneliti dan berpikir seperti yang dimiliki umat Islam tempo dulu. Sebab, seperti kata Muhammad Abduh, education is regarded as the most efficacious of means of change.19 Bahkan dengan agak ‘sesumbar’, Schumacher menyatakan : if we believe in nothing else, we certainly believe that education is, or should be, the key of everything.20

Dengan demikian, hal-hal yang menyebabkan Islam memiliki kekayaan khazanah ilmu pengetahun yang luar biasa (seperti penggunaan akal yang tepat di samping wahyu atau agama serta pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam yang mendorong pengembangan ilmu pengetahuan) perlu diperkenalkan secara baik kepada peserta didik untuk agar menjadi motivasi yang kuat guna meraih dan mencapai apa yang pernah diraih dan dicapai Islam di masa yang lampau, tentunya dengan mewarisi “semangat” mereka. Demikian juga hal-hal yang menyebabkan Islam ‘tertidur pulas’ dalam jangka waktu kurang lebih delapan ratus tahun sejak serangan Mongol (dan kini sudah mulai menggeliat kembali, setelah dunia lain jauh meninggalkannya) juga perlu disampaikan kepada perserta didik dengan cara yang arif dan bijaksana agar mereka tidak terjebak dan terjerumus dalam kesalahan yang sama. Dengan bahasa lain, agar semua itu bisa menjadi ibrah berharga bagi mereka dalam menata masa depan. Dengan demikian, peserta didik (anak-anak muslim) akan bangga sebagai muslim, karena mereka menyadari bahwa Islam adalah agama yang agung dan mencinta ilmu pengetahuan.

Sebab, bagaimanapun, masa depan manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan begitu saja dari masa lalunya. Dalam arti bahwa masa lalu (sejarah) akan ikut andil dalam menentukan sebuah masa depan. Selain itu, sejarah masa lalu yang sudah teruji dalam rentang waktu yang lama, akan menjadi pelajaran yang baik untuk menentukan corak masa depan. Cukup bijaksana jika kemudian Edmund Burke (1729-1797), seorang penganut ideologi konsevatif Inggeris pernah menyatakan :

…the cultural heritage or tradition was a repository of the time-tested achievements of human-kind. Social, political, religious and educational institutions—the family, state, church and school—are cultural products that have evolved over the centuries of human experience.21

Terkait dengan hal ini, Gerald Lee Gutek juga pernah menyatakan (ketika membahas pandangan konservativisme) bahwa the past is the source of the tradition that shape social institutions and human relationship…from the past, a people, a particular society, inherits a collective wisdom based on lessons learned over time.22

Namun, selama ini, dalam memandang dan menatap masa depan, umat Islam, kata Murad Wilfre Hoffman, setidaknya terbagi dalam tiga varian; pertama, varian –yang karena persepsi pribadi dan pengalaman hidupnya—melihat umat Islam berada dalam degradasi terus-menerus. Dalam pandangan kelompok ini, hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dan besok akan lebih buruk dari hari ini. Demikian selanjutnya23. Kedua, varian yang meliaht umat Islam berada dalam gelombang naik-turun/maju mundur perkembangan peradaban yang semakin pesat ini, sikap muslim ternyata sangat bervariasi. Dan ketiga, varian yang melihat umat Islam berada dalam kemajuan yang terus menerus.24

Sikap varian ketiga (atau paling tidak varian yang kedua) memiliki optimisme yang tinggi untuk kembali mengembalikan Islam seperti yang pernah dicapai beberapa abad yang silam. Hal ini tidak terlalu berlebihan. Indikasi ke arah tersebut sebenarnya samar-samar sudah mulai ‘berwujud’ dengan semakin sadarnya umat Islam akan ketertinggalannya dan semakin tertariknya mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan fenomena ini diam-diam juga mulai megejutkan Barat. Tidak aneh (barangkali) kalau kemudian Thomas O’ Toole dan Marvin Centron menyatakan bahwa agama yang paling cepat perkembangannya adalah Islam. Islam adalah kepercayaan yang dominan di selebar dunia yang terbentang dari Maroko di Barat ke Pakistan melewati India sampai Malaysia dan Indonesia di Timur.25

Optimisme ini harus terus dikembangkan dan ditanamkan kepada peserta didik, tentunya melalui jalur pendidikan, baik yang formal, informal ataupun yang nonformal. Rasionalisme yang pernah dimiliki umat Islam, harus dibangkitkan kembali setelah ditinggalkan selama beratus-ratus tahun lamanya. Namun, rasionalisme tersebut harus tetap mengakar pada bimbingan dan petunjuk agama (religious framework), sehingga kemajuan yang akan dicapai akan membawa ketenangan dan kedamaian bagi hidup dan kehidupan.

b. Materi/Kurikulum : penyelarasan antara IQ, EQ dan SQ

Selama ini, orientasi pendidikan kita masih lebih banyak mengacu kepada upaya peningkatan kecerdasan intelektual (kognisi) saja, dengan ‘menyingkirkan’ pendidikan nilai dan kepribadian atau afektif. Tidak aneh kalau kemudian kita menyaksiakan kejahatan kelas ‘kakap’ (seperti KKN, penyalahgunaan wewenang atau jabatan, kekerasan dan tindak kriminal lainnya), menjadi begitu marak dan subur di negara ini. Sebab, dengan IQ yang tinggi, sesorang justeru menjadi semakin berbahaya karena dia bisa dengan (semakin) mudah melakukan kejahatan yang rapi dan profesional.

Berangkat dari fenomena di atas, maka pendekatan psikologi transpersonal dirasa penting untuk melihat sisi fundamental yang terabaikan dalam diri manusia ketika melihat berbagai kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Dalam psikologi transpersonal dikenal bahwa dalam diri manusia terdapat potensi spiritual yang akan melahirkan kecerdasan manusia pada tingkat yang lebih fundamental. Kecerdasan ini berkaitan erat dengan persoalan kehidupan yang paling mendasar. Inilah yang menentukan sejauh mana manusia memahami diri, makna dan tujuan hidup. Ketika wilayah ini tidak tersentuh perenungan manusia maka yang akanlahir adalah krisis eksistensial. Krisis ini akan berdampak luas, karena pemahaman tentang hal-hal yang fundamental menjadi kendali aktivitas manusia sehari hari. Yang jelas, manusia tidak akan hadir secara utuh, jika ada sisi dalam dirinya yang terabaikan.

Dalam kajian tentang persoalan ini, tentu saja buku-buku trend psikologi terbaru perlu menjadi rujukan. Ia merupakan studi-studi terdahulu tentang manusia berikut berbagai persoalan yang terjadi di kawasan lain. Daniel Goldman dengan bukunya Emotional Quetient (EQ) dan Danah Zohan & Ian Marshall dengan bukuknya Spiritual Quetient (SQ) perlu dikaji dan mendapat perhatian., terutama sebagai kerangka teori dan pendekatan. Kajian-kajian tersebut merupakan temuan baru yang menukik secara mendalam terhadap persoalan manusia, serta merupakan pendidikan yang bertujuan mencerdaskan sehingga manusia bisa menikmati hidup secara lebih baik, beradab dan damai.

Persoalan-persoalan yang muncul di negeri ini juga bisa dijelaskan dari perspektif dan kerangka teori seperti di atas. Artinya, ketika sistem pendidikan tidak mampu melihat manusia secara utuh, masalah akan timbul. Dalam penilaian penulis, selama ini sistem pendidikan yang terdiri dari kurikulum, pola pengajara, materi, orientasi serta para pelakunya telah terjebak dalam pandangan tidak utuh tersebut. Kesalahan rumusan tujuan pengajaran teologi Islam (tauhid) yang melahirkan ekslufisisme, wacana benar-salah, kafir-iman dan surga-neraka yang selalu diindoktrinasi, pendidikan yang tidak humanis dan kekerasan sistematis yang dilakukan guru terhadap peserta didik di ruang kelas serta pendidikan yang hanya mengarah pada pengembangan intelektual, termasuk contoh-contoh kesalahan pendidikan kita. Ini semua terjadi karena pendidikan kita sudah melupkan dimensi spiritual sebagai pijakan dalam menjalankan dan menerapkan kebijakannya.

Maka sangat penting (dan mendesak) untuk mencoba memasukkan bobot-bobot dan nilai-nilai spiritualitas dalam pendidikan kita (Islam); spritualitas yang bukan hanya sekedar lawan atau negasi dari materialias dan rasionalitas, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu spiritulaitas yang mampu membangun, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi kritis siswa sebagai pertanda keberadaan dan aktualitas hidupnya. Dengan daya kritis itulah, siswa akan mampu menerobos dan melampai batas-batas eksistensi dirinya. Inilah sebenarnya yang menjadi batas antara materialitas dan rasionalitas dengan spritualitas yang segera akan mencair ketika seseorang memasuki dimensi kritis dari dirinya sendiri.

Lebih jauh lagi, Pendidikan Islam musti terus menaruh perhatian yang serius terhadap upaya pengembangan bentuk kecerdasan ketiga (third intelligence) yaitu kecerdasan yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai Kecerdasan Spiritual (SQ; Spiritual Quotient); sebuah kecerdasan yang bertumpu dan mengakar pada hati nurani. SQ ini juga disebut sebagai soul’s intelligence. 26 Prof. Dr. Khalil Khavari menganggap SQ sebagai fakultas dari dimensi nonmaterial kita –ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya.27

Hal ini sangat penting, sebab kecerdasan inilah yang akan membantu manusia keluar dari berbagai krisis hidup dan krisis makna yang dihadapi seperti keterasingan, kegelisan dan problem eksistensi sebagaimana banyak diidap oleh masyarakat modern saat ini setelah mereka menuhankan akal dan telah mencapai kepuasan intelektual dengan berbagai penemuan ilmiah dan capaian teknologi yang terus meningkat. SQ is the intelligence with which we heal ourselves and with which we make ourselves whole.28

Kecerdasan spiritual inilah yang nampaknya tidak dimiliki Barat saat ini. Sehingga ketika mereka mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam berbagai bidang: ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka masih berada dalam krisis yang tak kunjung usai. Self- awareness (kesadaran diri) yang menjadi keriteria tertinggi kecerdasan spiritual sudah menghilang dari diri mereka. Inilah kondisi yang oleh Zohar dan Marshal disebut-sebut sebagai budaya yang bodoh secara spiritual (spiritually dumb culture). Maka Zohar dan Marshal mengatakan :

Developing greater self-awareness is a high priority for raising SQ. The first step, obiously, is simply to become aware of the problem, to become aware of how little I know about ‘me’. Then I must commit my self to some simple daily practices that I will improve my communacation with my self.29

Menyadari problem yang sedang terjadi dan menimpa serta mengenal diri sendiri adalah karakterisktik utama SQ yang sekaligus membedakan ia dengan IQ dan EQ. Komputer misalnya, memiliki IQ yang sangat hebat dan beberapa binatang tertentu memiliki EQ yang tinggi. Tetapi tidak satupun di antara mereka yang pernah bertanya: Mengapa ? Ada apa ? serta pertanyaan fundamental lainnya. Keduanya tidak pernah bertanya secara kritis why we have these roles or this sitiation.

Dari sinilah semakin jelas betapa pentingnya SQ (yang juga berfungsi untuk mengefektifkan fungsi IQ dan EQ) bagi kehidupan manusia modern. Barangkali tidak berlebihan jika Tanis Helliwell Toronto menyatakan bahwa SQ akan meningkatkan kesuksesan hidup pada dekade yang akan datang30.

Catatan Akhir

Ketika menyaksikan krisis yang melanda Barat, dengan jujur sekali Schumacher mengatakan “ tidak diragukan lagi, pasti ada yang salah dalam pendidikan kita”.31 Bahkan tiga perempat abad yang silam, presiden John B. Lyndon B. Johnson menegaskan bahwa “ …the answer for all national problems comes down to a single word : education.32

Dari sinilah kemudian pendidikan (terutama pendidikan Islam) mesti mampu merumuskan model pendidikan yang mampu menempatkan posisi akal (sebagai sumber ilmu pengetahuan) dan hati (atau agama) secara arif dan bijaksana sesuai dengan tugas dan proporsinya masing-masing. Pendidikan Islam mesti, dengan sendirinya, menjadi alternatif bagi semua permasalahan hidup yang ada, yang banyak dialami dan diidap oleh manusia modern saati ini, terutama Barat. Walaupun begitu, sangat menarik (dan mengesankan) apa yang pernah dinyatakan dengan begitu jujurnya oleh Muraf Hoffman bahwa Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi Barat pascaindustri. Karena memang hanya Islam-lah satu-satunya alternatif. 33

Semoga kita masih bangga dengan Islam.

*Penulis adalah alumnus pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sekarang menjadi staf pengajar di STIK Annuqayah Guluk-guluk.



1. Pernyataan itu bisa dilihat dalam buku Giddens, The Nation-State and Violoence (1985), dikutip I Wibowo dalam “Anthony Giddens,” Kompas, Edisi Khusus, 28 Juni 2000.

2. Hamid Basyaib, “Perspektif Sejarah Hubungan Islam-Yahudi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Th. 1993.

3. Berdasar deskripsi Mgr. Suharyo. Lihat catatan St. Sularto “Sejarah Pemahaman tentang Allah,” dalam Kompas, 3 Mei 2002.

4. Eric Fromm, Masyarakat yang Sehat, terj. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 16. Bahkan lebih dari 110 negara masih memperaktekkan penyiksaan karena alasan politik. Lihat St. Sularto, Op. Cit.

5. ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Membangun Jalan Tengah, Terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, Mizan, Bandung, 1992, hal. 87.

6. Ibid ., hal. 93.

7. Ibid., hal. 97.

8. Bahkan Run Way World menjadi salah satu judul bukunya. Dalam buku yang lain Giddens mengistilahkan “juggernaut” (truk besar) yang melaju kencang tanpa kendali sebagai metafor masa kini. Lihat Anthony Giddens, Consequences of Modernity, Stanford University Press, California, 1990, bab V, hal. 151.

9. Krisis manusia yang dimaksud adalah “krisis perspesi” tentang kehidupan. Lihat Frithof Capra, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Bentang, Yogyakarta, 1999, hal. xx.

10. Budhy Munawar-Rahman, “New Age,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 46-48 .

11. Eric Fromm, Lari Dari Kebebasan, terj. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 21

12. Tentang kolaborasi berbagai komponen tersebut, lihat I. Wibowo, “Anthony Giddens,” dalam Kompas, edisi khusus, 28 Juni 2000.

13. Lebih khusus lagi, Barat nampaknya semakin banyak menoleh dan memiliki perhatian yang serius terhadap dunia mistik-spiritualis, sehingga semboyan new age menjadi begitu ramai diperbincangkan banyak kalangan. Semboyan yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Abuderne (dalam mega trend 2000 yang menyebut slogan New Age dengan slogan Spirituality, Yes; Organized Religion, No!, memang cukup menandai pada kecenderungan tersebut. Lihat lebih jauh ulasan Budhy Munawwar Rachman, “New Age” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi….hal. 46-48

14. Kompas, Jumat 29 Mei 2002, hal 9

15. Lihat dalam karyanya “ The Influence of Islam on Medieval Europe” dalam Islamic Survey, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1972, hal. 84. Walaupun begitu, seperti diakui oleh Watt sendiri, besarnya sumbangan Islam itu selalu ditutup-tutupi oleh Eropa bahkan mereka terus berusaha menciptkan citra negatif terhadap Islam. Tindakan seperti ini oleh Watt disebut sebagai “ kompensasi untuk menuti rasa rendah diri terhadap Isalm”. (ibid, hal 82)

16. Dikutip oleh Dr. Aisyah Abdurrahman, Turatsuna Baina Madhi Wa Hadhir, Cairo, 1991, hal. 43-44

17. ibid, hal 8-9

18. Dr. Hasan Hanafi, Al-Tutats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Cairo, 1987, hal. 12-13

19.. Seperti dikutip oleh A.L. Tibawi dalam bukunya Islamic Education, Its Traditions and Modernazation into Arab National Systems, Luzac &Company LTD, London, 1972, hal. 68

20. E. F. Schumacher, Small is Beautiful, Perennial Library, New York, 1975, hal 80

21. Pernyataan tersebut dikutip oleh Gerald Lee Gutek dalam Philosophical and Ideological Perspectives on Education, Prentice Hall, New Jersey, 1988, hal. 194

22. ibid ,

23. Pandang seperti ini bisa saja salah manafsirkan hadits Nabi yang menyatakan bahwa paling baiknya kalian adalah yang berada di masa saya, setelah itu masa berikutnya, dan begitu seterusnya...

24. Murad Wilfred Hoffman, Al-Islam ‘Am 2000, Cairo, 1995, hal 11

25. Dikutip oleh Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Umat, Panji Masyarakat, No. 534

26. Danah Zohar dan Ian Marshall. SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000, hal. 9

27. Dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, SQ: Psikologi dan Agama, Pengantara untuk buku SQ, Mizan, Bandung, 2001, hal. xxvii

28. Danah Zohar dan Ian Marshall, Loc.Cit.

29. ibid, hal. 287-288

30. Pernyataan ini disampaikan oleh T.H. Toronto dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Spiritual Intelligence : A Key to Survival in the 21 st Century. Untuk mengetahui lebih jauh silahkan clik : http://www.spiritualitywork.org/helliwell-01.htm

31. E.F. Schumacher, Op.Cit. hal. 80

32. Samuel Bowles dan Herbert Gintis, Scholing in Capitalis America, Educational Reform and The Contradictions of Economic Life, Basic Book, New York, 1977, hal. 19

33. Murad Wilfred Hoffman, Al-Islam Ka Badil, Kuwait, 1993, hal. 20



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aisyah, Turatsuna Baina Madhi Wa Hadhir, Cairo, 1991.

Basyaib, Hamid, “Perspektif Sejarah Hubungan Islam-Yahudi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Th. 1993.

Bowles, Samuel dan Herbert Gintis, Scholing in Capitalis America, Educational Reform and The Contradictions of Economic Life, Basic Book, New York, 1977

Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Bentang, Yogyakarta, 1999.

Fromm, Erich, Lari Dari Kebebasan, terj. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995

Fromm, Erich, Masyarakat yang Sehat, terj. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994

Giddens, Anthony, Consequences of Modernity, Stanford University Press, California, 1990.

Hanafi, Hasan, Al-Tutats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Cairo, 1987

Hoffman, Murad Wilfred , Al-Islam Ka Badil, Kuwait, 1993

-----, Al-Islam ‘Am 2000, Cairo, 1995

Izetbegovic, ‘Alija ‘Ali, Membangun Jalan Tengah, Terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, Mizan, Bandung, 1992.

Kompas , Edisi Jumat 29 Mei 2002

Rahman, Budhy Munawar, “New Age,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996

Rakhmat, Jalaluddin, SQ: Psikologi dan Agama, Pengantar untuk buku SQ, Mizan, Bandung, 2001

Sardar, Ziauddin, Rekayasa Masa Depan Umat, Panji Masyarakat, No. 534

Schumacher, E.F. Small is Beautiful, Perennial Library, New York, 1975

Sularto, St. “Sejarah Pemahaman tentang Allah,” dalam Kompas, 3 Mei 2002.

Suharsona, Melejitkan IQ, IE dan IS, Inisiasi Press, Jakarta, 2002

Tibawi, A.L. Islamic Education, Its Traditions and Modernazation into Arab National Systems, Luzac &Company LTD, London, 1972.

Watt, W.M. “ The Influence of Islam on Medieval Europe” dalam Islamic Survey, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1972.

Wibowo, I, “Anthony Giddens,” dalam Kompas, edisi khusus, 28 Juni 2000.

Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000

No comments:

Lencana Facebook