Thursday, January 22, 2009

KAJIAN KESETARAPAN ANTARA PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION


I. Pendahuluan
Orientasi pendidikan kita selama ini mempunyai ciri: (i) cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; (ii)guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; (iii) materi bersifat subject-oriented; dan (iv) manajemen bersifat sentralistis(Zamroni, 2000).
Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000).
Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):
1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);
2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan
4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Atas dasar alasan itulah pemerintah dan pakar pendidikan matematika berupaya untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa tidak hanya tertuju kepada kurikulum berbasis kompetensi seperti yang digalakkan di sekolah sekarang ini, bahkan dalam rangka mengatasi rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika, sekarang ini tengah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju. Seperti pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas.
Menurut Howey (2001: 105), di Amerika Serikat juga tengah dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang disebut contextual teaching and learning. Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam menyelesaikan tugas matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan masalahmasalah contextual. Pendekatan seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa dalam merespons setiap masalah dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut.
Pendidikan nasional antara lain bertujuan mewujudkan learning society dimana setiap anggota masyarakat berhak mendapatkan pendidikan (education for all) dan menjadi pembelajar seumur hidup (longlife education). Empat pilar pendidikan dari UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Impelementasi dalam pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together (cooperative learning in mathematics).
II. Kajian Pendekatan Kontekstual Dan Realistic Mathematics Education
A. Pendekatan Kontekstual
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika ‘anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Pembelajaran yang berorieritasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkm persoalan dalam kehidupm.jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi pada kebanyakan sekolah-sekolah di Indonesia.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses penibelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam konteks itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Dalam buku ringkas ini dibahas persoalan yang berkenaan dengan pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya.
1. Kecenderungan Pemikiran Tentang Belajar yang Mendasari Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut :
a. Proses Belajar
• Belajar tidak hanya sekedar menghafal. siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
• Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
• Pra ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
• Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
• Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
• Siswa perlu dibiasakan memmecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
• Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajangkan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
b. Transfer Belajar
• Siswa belajar dari mengalami sendiri bukan dari pemberian orang lain.
• Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit-demi sedikit.
• Penting bagi siswa tahu "untuk apa" ia belajar, dan "bagaimana" ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
c. Siswa sebagai Pembelajar
• Manusia mempunyai kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak menpunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
• Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru.
• Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
• Peran orang dewasa (guru) mebantu menghubungkan antara "yang baru" dan yang sudah diketahui.
• Tugas guru "memfasilitasi" agar informasi baru bermakna memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
d. Pentingnya Lingkungan Belajar
• Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton" ke "siswa bekerja dan berkarya, guru mengarahkan".
• Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibanding hasilnya.
• Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.
• Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
2. Teori yang Melandasi CTL
a. Knowledge-Based Constructivism, menekankan kepada pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar.
b. Effort-Based Learning/Incremental Theory of Intellegence, bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar akan memotivasi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan dengan komitmen untuk belajar.
c. Socialization, menekankan bahwa belajar merupakan proses sosial yang menentukan tujuan belajar. Oleh karenanya, faktor sosial dan budaya perlu diperhatikan selama perencanaan pengajaran.
d. Situated Learning, pengetahuan dan pembelajaran harus dikondisikan dalam fisik tertentu dan konteks sosial(masyarakat, rumah, dsb) dalam mencapai tujuan belajar.
3. Ciri Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
• Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah faktual sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar perpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah, sehingga mereka memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep yang esensial dari materi pembelajaran.
• Pengajaran otentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk mempelajari konsteks bermakna terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi.
• Belajar berbasis inkuiri (inquiry based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
• Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (project based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran yang komprehensif. Lingkungan belajar siswa dirancang agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah otentik, termasuk pendalaman materi dan pelaksanaan tugas bermakna yang lain.
• Belajar berbasis kerja (work based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pembelajaran, serta menerapkan kembali materi pembelajaran tersebut di dalam tempat kerja tersebut.
• Belajar jasa-layanan (service learning), yaitu belajar yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan struktur berbasis sekolah, atau menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Penerapan pendekatan ini akan menuntun terjadinya penerapan praktis dari pengetahuan baru dan keterampilan siswa untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui tugas terstruktur dan kegiatan lain.
• Belajar kooperatif (cooperative learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
4. Prinsip Pendekatan Kontekstual
Ada tujuh prinsip(komponen) yang sekurang-kurangnya terdapat dalam pendekatan kontekstual.
a. Konstruktivis
Konstruktivisme (constructivisvism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar, itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses "menkonstruksi" bukan "menerima" pengetahuan. dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, straegi "memperoleh" lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan :
(1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
(2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
(3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengelaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara , yaitu asimilasi atau akomodasi. asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.
b. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
Siklus inkuiri :
o Obsevasi (Observation)
o Bertanya (questioning)
o Mengajukan dugaan (Hyphotesis)
o Pengumpulan data (Data gathering)
o Penyimpulan (Conclussion)
Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri) :
(1). Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
(2). Mengamati atau observasi
(3). Menganalsis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan
karya lainnya
(4). Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru,
atau audien yang lain
c. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari "bertanya". Questioning merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya,
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk :
(1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
(2) mengecek pemahaman siswa
(3) membangkitkan respon kepada siswa
(4) mengetahui sejauh mana keinginantahuan siswa
(5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
(6) menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
(7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
(8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa

Pada semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan; antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dsb. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dsb. Kegiatan itu akan menumbuhkan dorongan untuk "bertanya".

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar meraut pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada temannya "Bagaimana caranya? tolong bantu aku!" Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang anak itu sudah membentuk masyarakat belajar (learning community).

Hasil belajar diperoleh dari "sharing" antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat-belajar.

Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya hiterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang "ahli' ke kelas. Misalnya tukang sablon, petani jagung, peternak susu. teknisi komputer, tukang cat mobil, tukang reparasi kunci, dan sebagainya.

"Masyarakat-belajar" bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, "Seorang guru yang mengajari siswanya" bukan contoh masyarakat-belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa bukan guru. dalam masyarakat-belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.

Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik "learning community" sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terujud dalam:
 Pembentukan kelompok kecil
 Pembentukan kelompok besar
 Mendatangkan "ahli' ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu, dsb.)
 Bekerja dengan kelas sederajat
 Bekerja kelompok dengan kelas diatasnya
 Bekerja dengan masyarakat
e. Pemodelan (Modelling)

Komponen CTL selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggris, dan sebaginya. Atau, guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model tentang "bagaimana cara belajar"

Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara menemukan kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat dengan memanfaatkan gerak mata (scanning). Ketika guru mendemonstrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa menagamati guru membaca dan membolak balik teks. Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scanning. Kata kunci yang ditemukan guru disampaikan kepada siswa sebagai hasil kegiatan pembelajran menemukan kata kunci secar cepat. Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci, guru menjadi model.

Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberikan contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa "contoh" tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai "standar" kompetensi yang harus dicapainya.

Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur asli berbahasa Inggris sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi "model" cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya.

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi juga bagian penting dalam pembelejaran dengan pendekatan CTL. Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.

Kunci dari semua adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.

Pada akhir prmbrlajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa :
 pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu
 catatan atau jurnal di buku siswa
 kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu
 diskusi
 hasil karya
g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesment))
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir priode (cawu/semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti) EBTA/EBTANAS, tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
Data dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa gar mampu mempelajari (learning how to learn) bukan ditekan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.

Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. di luar kelas itulah yang disebut data autentik.

Kemudian belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil.
Adapun karakteristik autentic assessment antara lain :
 Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
 Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif
 Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.
 Berkesinambungan
 Terintrgrasi
 Dapat digunakan sebagai feed back
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa :
(1) Proyek/kegiatan dan laporannya
(2) PR
(3) Kuis
(4) Karya Tulis
(5) Presentasi atau penampilan siswa
(6) Demonstrasi
(7) Laporan
(8) Jurnal
(9) Hasil tes tulis
(10) Karya tulis


6. Karakteristik Pembelajaran Berpendekatan CTL
• Kerja sama
• Saling menunjang
• Menyenangkan dan tidak membosankan
• Belajar dengan penuh gairah
• Pembelajaran terintegrasi
• Menggunakan berbagai sumber
• Siswa aktif
• Sharing dengan teman
• Siswa kritis guru kreatif
• Dinding kelas dan lorong-lorong penuh hasil karya siswa, peta-peta, gambar-gambar, artikel, humor dan lain-lain.
• Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dll.
7. Langkah-langkah Penerapan CTL
Penerapan CTL dalam kelas secara garis besar, langkahnya adalah berikut ini.
(1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkostruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
(2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
(3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
(4) Ciptakan 'masyarakat belajar' (belajar dalam kelompok-kelompok).
(5) Hadirkan 'model' sebagai contoh pembelajaran.
(6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
(7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara !.

B. Pendekatan Realistic Mathematic Education
1. Kecenderungan Pemikiran Tentang Belajar yang Mendasari Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran matematika oleh sekolah di Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh pembelajaran konvensional dengan paradigma mengajarnya.
Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memosisikan diri sebagai yang mempunyai pengetahuan. Guru ceramah dan menggurui, otoritas tertinggi adalah guru. Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah-pisah. Materi pembelajaran matematika diberikan dalam bentuk jadi. Dan, semua itu terbukti tidak berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka pelajari.
Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika lemah karena tidak mendalam. Akibatnya, prestasi belajar matematika siswa rendah.
Hampir setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian besar siswa. Selain itu, pengetahuan yang diterima siswa secara pasif menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa.
Menurut Marpaung (2003), paradigma mengajar seperti di atas tidak dapat lagi dipertahankan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar. Paradigma belajar ini sejalan dengan teori konstruktivisme. Dalam paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tapi suatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksi siswa, tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima secara pasif.
Dengan demikian, siswa sendirilah yang harus aktif. Paradigma belajar juga seturut dengan teori Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan Freudenthal bahwa pengetahuan matematika dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi.
Oleh karena itu, siswa harus secara aktif mengkreasi (mengkreasi kembali) pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan, tetapi menciptakan kondisi belajar dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan materi yang sesuai dan representatif serta realistik bagi siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal.
2. Landasan Teori RME
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan matakognisi).
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan operasionalisasi dari suatu pendekatan pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Belanda dengan nama Realistic Mathematics Education (RME) yang artinya pendidikan matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual (contextual problems) sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Perlu dicermati bahwa suatu hal yang bersifat kontekstual dalam lingkungan siswa di suatu daerah, belum tentu bersifat konteks bagi siswa di daerah lain. Contoh berbicara tentang kereta api, merupakan hal yang konteks bagi siswa yang ada di pulau Jawa, namun belum tentu bersifat konteks bagi siswa di luar Jawa. Oleh karena itu pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik harus disesuaikan dengan keadaan daerah tempat siswa berada.
Msalah dalam pembelajaran matematika merupakan suatu “keharusan” dalam menghadapi dunia yang tidak menentu. Siswa perlu dipersiapkan bagaimana mendapatkan dan menyelesaikan masalah. Masalah yang disajikan ke siswa adalah masalah kontekstual yakni masalah yang memang semestinya dapat diselesaikan siswa sesuai dengan pengalaman siswa dalam kehidupannya.
2. Ciri PMR
PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).
3. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Ada tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu: a) guided reinvention and progressive mathematizing, b) didactical phenomenology, dan c) self-developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
a. Guided reinvention/progressive mathematizing (penemuan kembali terbimbing/ pematematikaan progresif)
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam PMR, dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru di awal pembelajaran, kemudian dalam menyelesaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan. Sebagai sumber inspirasi untuk merancang pembelajaran dengan pendekatan PMR yang menekankan prinsip penemuan kembali (re-invention), dapat digunakan sejarah penemuan konsep/prinsip/rumus matematika.
Menurut penulis, prinsip penemuan ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.
b. Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran)
Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu masalah kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses pematematikaan progresif.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip ke-2 PMR ini menekankan pada pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan: (1) topik-topik matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran.
c. Self - developed models (model-model dibangun sendiri).
Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.
Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari re-invention dan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan pengembangan model belajar yang bottom up.
Selain di atas terdapat prinsip-prinsip RME lainnya seperti aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal dalam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-interkoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).
4. Karakteristik Pembelajaran Metematika Realistik
Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, PMR memiliki lima karakteristik, yaitu: a) the use of context (menggunakan masalah kontekstual), b) the use models (menggunakan berbagai model), c) student contributions (kontribusi siswa), d) interactivity (interaktivitas) dan e) intertwining (terintegrasi). Penjelasan secara singkat dari kelima karakteristik tersebut, secara singkat adalah sebagai berikut.
a. Menggunakan masalah kontekstual.
Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual, sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung. Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan kembali matematika. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran, hendaknya masalah sederhana yang dikenali oleh siswa. Masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika dan (4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata (realitas).
b. Menggunakan berbagai model.
Istilah model berkaitan dengan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa dalam mengaktualisasikan masalah kontekstual ke dalam bahasa matematika, yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal.
c.Kontribusi siswa.
Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
d. Interaktif.
Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa.
e. Keterkaitan.
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Dalam tesis ini karakteristik ini tidak muncul.
Dari prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik di atas maka dapat dikatakan bahwa permulaan pembelajaran harus dialami secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret sesuai realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan siswa. Sehingga mereka dengan segera tertarik secara pribadi terhadap aktivitas matematika yang bermakna. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pada pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa.
5. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
a. Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
Siswa diberi masalah/soal kontekstual, guru meminta siswa memahami masalah tersebut secara individual. Guru memberi kesempatan kepada siswa menanyakan masalah/soal yang belum dipahami, dan guru hanya memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian situasi dan kondisi masalah/soal yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
b. Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
c. Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.
d. Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan.
Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.
e. Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.
III. Kajian Kesetarapan Dua Pendekatan
Untuk menentukan bahwa kedua pendekatan memiliki kesetarapan atau tidak, maka diperlukan kajian kesetarapan dengan membandingkan aspek-aspek pada kedua pendekatan tersebut. Aspek-aspek yang dimaksud adalah(i) dasar pemikiran, (ii) landasan teori, (iii)ciri-ciri pendekatan, (iv) prinsip-prinsip, (v) karakteristik dan (vi) langkah-langkah. Adapun kajian kesetarapan pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR dapat ditunjukkan dalam table 1 berikut ini:
Tabel 1 Kajian Kesetarapan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan RME/PMR
Aspek Kajian
Kesetarapan Pendekatan Kontekstual Realistik Matematic Education/PMR Nilai Kesetarapan
Dasar Pemikiran Proses pembelajaran menghendaki mengkonstruksi pengetahuan sendiri, mengalami sendiri, belajar dengan cepat hal-hal baru,memerlukan lingungan, membutuhkan komunitas belajar Paradigma mengacu pada siswa belajar bukan guru mengajar, proses belajar digeluti, dipikirkan dan dikonstruksi siswa, memanfaatkan realitas dan lingkungan, mempelajari masalah kontekstual Pada kedua pendekatan, pembelajaran terjadi ketika siswa mengkonstruksi pengetahuan, mengalami sendiri, membutuhkan masalah kontekstual(hal-hal baru dalam realitas), dan memanfaatkan lingkungan
Landasan Teori - Knowledge-Based Constructivism, Effort-Based Learning, Socialization, Situated Learning
Dikembangkan oleh Howey, Amerika Serikat
- Belajar dengan pola guided reinvention, pemanfaatkan realitas dan lingkungan, mempelajari masalah kontekstual
Dikembangkan oleh Hans Freudenthal, Belanda Keduanya beraliran konstruktivis, mangadopsi masalah sosial(realitas,socialization, situated, dsb) dan berkaitan erat dengan lingkungan
Ciri-ciri Pendekatan -Belajar berbasis masalah, inquiri, proyek, kerja, jasa layanan, dan kooperatif.
- Pengajaran outhentic Terdapat proses menemukan kembali(to reinvention, dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia riil Sama-sama mengedepankan proses menemukan dalam kaitannya dengan situasi(outhencic) dan dunia riil (masalah kontekstual)
Prinsip Konstruktivis, inquiry,Questioning, Learning community,modelling,reflecting Guided reinvention/progresif mathematizing,didactical phenomenology,self-developed models Konstruktivis, inquiry dan questioning adalah bagian dari proses reinvention dan didactical phenomenology serta developed models. Sedang learning community dan reflecting adalah sesuatu yang mungkin dibutuhkan ketika menguji hasil penemuan.
Karakteristik Kerja sama, saling menunjang, menyenangkan,belajar penuh gairah, pembelajaran terintregasi, menggunakan berbagai sumber, sharing, dsb. Menggunakan masalah kontekstual dan berbagai model, kontribusi siswa, interaktif, dan keterkaitan dengan dunia nyata siswa Kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, dan belajar penuh gairah mendukung optimalisasi konstribusi siswa. Keduanya berkaitan dengan dunia riil(realitas) siswa
Langkah-langkah Terstruktur secara Fleksibel dan demokratik mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan Terstruktur secara Fleksibel mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan Sama-sama fleksibel dalam strukturisasi sintaks pembelajaran, yang penting mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan.
Dengan memperhatikan hasil kajian kesetarapan di atas, maka dapatlah di sampaikan beberapa hal antara lain:
1. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut di bawah bimbingan guru yang bertindak sebagai fasilitator.
4. Pendekatan kontekstual dan pendekatan RME/PMR sama-sama memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
IV. Penutup
Dengan melihat nilai-nilai kesetarapan pada tiap-tiap aspek kajian, maka dapat diperoleh hasil kajian kesetarapan pendekatan kontekstual dengan pendekaran Realistic Mathematic Education Kajian. Mudah-mudahan hasil kesetarapan ini sangat bermanfaat bagi para pembaca. Utamanya dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran di Indonesia yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pula prestasi akademik baik dalam mata pelajaran matematika khususnya maupun mata pelajaran lainnya pada umumnya.

V. Daftar Pustaka
Areds Richards I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-Hill
De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.

Gravemeijer, K.P.E. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.

Nur, M., Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press-UNESA.
Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan (1999). Kompas. [On-line]. Tersedia: http://kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1634.html

Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Zamzani, 2008. Hanout, Model-model Pembelajaran yang Relevan. Yogjakarta: UNY

1 comment:

Unknown said...

pak karso, perkenalkan nama sy mita, mhsiswa pasca uns yg nembe tesis ttg RME

dari tulisan bpk di atas, ada acuanny buku "developing realistic mathematics education" nya gravemeijer. saya cari di perpus dan internet tdk ada pak. mugkin bpk punya bukunya?

klo boleh sy pinjam (dan klo mau ada jaminanny sy bsedia) utk referensi tesis sy. matur nuwun sebelumny

salam kenal,
mita hapsari, s.si

Lencana Facebook